Monday, January 11, 2016

Senja di Kaimana

Perjalanan ini begitu melelahkan. Rasanya sekujur tubuhku diserang penat yang tak henti. Ingin rasanya aku merebahkan diri sesampainya di sana. Pikiranku seolah terkuras habis. Kosong. Tak kuduga perjalanan panjang ini terasa menyiksa. Lamunanku melayang ke masa tujuh bulan yang lalu. Saat itu keyakinanku goyah. Pendirianku runtuh sekejap. Tak kuduga Mami akan menelepon dan melontarkan permintaan yang seketika menyesakkan dadaku. “Apa tidak bisa kamu kembali ke Jakarta?Kamu harus berhenti menemuinya, Ditha.” Oh, astaga. Apa Mami benar-benar tak risau dengan anak perempuannya yang melajang?Apa ada yang lebih berharga daripada lamaran seorang laki-laki pada perempuan yang lebih sibuk melewati hari-harinya dalam dunianya? “Mami....”Lidahku tercekat. Seolah-olah ada yang menyumbat kerongkonganku. “Mami tidak akan keberatan kalau kalian hanya berteman. Tapi kalau sudah melangkah serius, lebih baik putuskan saja. Mami tidak akan menyetujui dia menjadi pasanganmu, Ditha.” Entah aku harus menjawabnya dengan amarah, atau lirihan. Hatiku mendadak sesak oleh kecewa. Aku tak mengharapkan reaksi Mami seperti itu. Suaranya tegas meminta. Sesuatu yang dulu dengan senang hati akan kuturuti. Tapi, ini sudah melampaui kesadaranku. Kenangan itu menghempasku keras. Tak terasa, tak dipaksa, air mata meleleh di pipiku. Aku memalingkan muka ke arah jendela agar tak seorangpun di sebelahku yang menyadari kegalauan yang melandaku. Latar langit begitu putih. Tampak gumpalan awan yang menghiasi horizon. Suara pramugari menyentak lamunanku yang mengembara. Tak lama lagi pesawat akan lepas landas di bandara Utarum, Kaimana. Aku menggeleng pelan. Entah mengapa aku menyesali keputusanku. Aku seharusnya membatalkannya sepuluh jam yang lalu. Oh, astaga. Aku benar-benar merindukan sosoknya. Kepergianku ke Jakarta tak mampu menghapus bayangannya. Deru pesawat bergemuruh. Ada sedikit guncangan, namun bukan kepanikan yang menyergapku. Malah ketakutan untuk keputusan yang kuambil tanpa pikir panjang yang menggangguku. Pesawat melaju mulus di landasan hingga pelan-pelan berhenti pada suatu titik. Aku terpaku. Nyaris sekujur tubuhku gemetaran. Mungkin tak seharusnya aku menginjakkan kaki di tempat ini. “Maaf, Mbak.”Suara pramugari mengagetkanku. Pelan-pelan aku menarik napas. Pramugari itu tersenyum. “Anda tidak apa-apa?” “Oh.”Aku menatapnya linglung. Lalu kualihkan tatapanku ke sekeliling. Seisi kabin nyaris kosong. Rupanya aku terlalu sibuk berkelana dengan pikiranku. Pramugari itu melempar senyum menenangkan. Aku mengembuskan napas. Kalah. Hatiku begitu lemah hingga tak mampu memutuskan pilihan yang tepat. Aku melangkah lunglai. Udara segar menyambutku. Tapi yang kurasakan justru kedinginan yang menusuk hatiku. Bandara ini begitu kecil, namun sekelilingnya menyajikan pemandangan alami yang serba hijau. Baru kali ini aku bersentuhan dengan alam yang tenang. Setengah bingung, aku membuntuti langkah orang-orang yang tersisa. Mereka berjalan ke sebuah gedung. Aku mengedarkan pandangan, menjelajahi sekitarku. Benar-benar menenangkan. “Dithaaaa, Dithaaaaa.....”Seseorang memanggil keras namaku. Terasa familiar. Aku pun melirik ke sana kemari. Tak perlu waktu lama untuk menyadari siapa yang memanggilku. Wajah itu begitu ceria dengan senyum hangat yang akrab. Di sebelahnya berdiri seorang laki-laki jangkung, kurus dan berkulit cokelat. Rika, sepupuku memelukku gembira. Seolah-olah aku telah lama menghilang dari pandangannya. Aku membalasnya dengan canggung. Padahal tujuh bulan lalu aku masih tinggal di kota ini. “Oh, gimana perjalanannya?Pasti kamu capek ya. Maaf, seharusnya kamu tidak perlu repot-repot datang. Tapi aku mau kamu hadir di pernikahanku nanti. Mama sudah merecokiku terus soal bridemaids.” Untuk pertama kalinya aku tersenyum. Rika memang selalu memancarkan kehangatan. Dia menepis semua keraguanku dengan sambutannya yang luar biasa. “Sayang, sudah to. Jangan terlalu bicara banyak. Dia pasti su lelah.” “Eh iya. Ditha, kenalkan calon suamiku, Daniel.” Aku tersenyum dan membalas uluran tangan Daniel yang terasa kasar namun mengalirkan kehangatan. Rika menyambar lenganku dan menarikku pergi. Daniel dengan sopan menawarkan diri untuk membawa koperku. Laki-laki itu menyunggingkan senyum sekilas, namun mampu mencairkan kekakuan antara kami. Kota Kaimana lebih sepi bila dibandingkan Jakarta. Dominasi pepohonan dan pegunungan menghiasi wajah kota itu. Wajah-wajah asing bertebaran, namun suasana penuh akrab begitu terasa. Aku selalu mengagumi setiap sudut kota yang menyajikan pemandangan yang sangat berbeda dengan Jakarta yang penat dan sesak. Daniel, pacar Rika sepertinya sengaja mengemudikan mobil perlahan hingga aku memuaskan nostalgia keindahan Kaimana. Tiba di rumah, Tante Inggrid dan Om Edi memelukku hangat. Tidak ada yang berubah. Rumah mungil dengan kesan hangat yang hampir memancar di setiap sudut. Interior rumah itu begitu sederhana, didominasi furnitur dan warna-warna alam seperti coklat, hijau dan biru. Rika membawaku ke kamar yang akan kutempati. Aku masih terpesona dengan kamar dengan pemandangan langsung kehijauan pepohonan. Ornamen kayu begitu dominan dengan perabotan seperlunya. Rasanya sudah lama aku merindukan kamar ini. Rika memperkenalkan para cewek yang menjadi pengiring pernikahannya. Beberapa sudah kukenal. Aku sempat tinggal dan bekerja di Kaimana dua tahun sebagai tenaga honor administrasi di rumah sakit. Meski sibuk dengan persiapan pernikahannya, Rika berusaha keras agar aku tidak merasa kesepian. Kehangatannya benar-benar membuatku merasa bersalah. Tak seharusnya aku merepotkannya. Aku nyaris tak berpikir saat dia meneleponku untuk memintaku mendampinginya dalam pernikahan sakral dengan Daniel. Mereka telah berpacaran tiga tahun. Saat itu, otakku jenuh dengan pekerjaan. Belum lagi sosok seseorang menyita seisi pikiran dan hatiku. Aku berjuang keras menahan perih yang menekan dada. Duniaku terasa sunyi. Tak ada lagi telepon penuh rindu setiap malam. Atau senyuman penuh kehangatan yang menyambutku. Aku benar-benar tak mampu menghapus sosoknya yang begitu melekat di hatiku. Susah payah akhirnya aku memutuskan pulang ke Jakarta tujuh bulan lalu. Entah sudah berjuta-juta kali upayaku untuk meraih sosoknya. Namun dia seolah mengabaikan kecemasanku. Dia memilih menjauh dengan sejuta alasan. Aku berusaha memberinya ruang. Berharap dia akan lelah dengan jarak di antara kami. Aku menunggu, menunggu dan terus menunggu dengan harapan yang makin membuncah. Entah mengapa penantian terasa lebih buruk daripada sikap dinginnya. “Ditaaa...”Lamunanku terputus. Aku terhempas ke masa kini. Rika menatapku dengan cemas. Aku tersadar kalau saat ini kami duduk dan di depan kami tersaji menu makan malam. “Kamu kenapa?”Tanya Rika terdengar lebih cemas. Mungkin reaksi bisuku memancing penasarannya. Orangtuanya dan kerabat dekat kami menatap penuh tanya. Aku tersenyum kecil lalu menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Mungkin hanya capek karena perjalanan jauh.” Rika memandang dengan tatapan penuh tanya. Sinar matanya masih terpancar tak percaya. Aku menyunggingkan senyum menenangkan. Om Doni mengalihkan perhatian Rika. Meski aku merasakan dia masih melirik terus dengan tatapan yang ingin kuhindari. Selama hampir lima hari menikmati udara segar dengan pemandangan kota di Kaimana, aku mulai resah. Ketakutanku makin nyata. Rasanya menyesakkan. Meski kehangatan Rika dan keluarganya terasa menyenangkan, namun aku masih tak mampu menghapus bayangan seseorang. Kata-kata Mami kembali menghantuiku. Suaranya yang menolak tegas kehadiran seseorang yang bermakna bagi hidupku yang membosankan. Terasa bagai pisau menghujam hatiku bertubi-tubi. “Ditha, tolong hentikan hubungan kalian. Percayalah sayang, dia akan menyakiti hatimu. Perasaan Mami tidak nyaman dan Mami tidak suka dia.” Aku merintih letih. Pernah aku membayangkan bayangannya memudar seiring waktu. Namun justru kerinduan menyerangku. Aku tak mampu membendung kepedihan yang perlahan mengurungku. Mami benar, tak seharusnya aku membiarkannya menembus bahkan menggapai hatiku. Aku menyesali sekaligus mensyukurinya. Mungkin otakku sudah korslet total. Susah payah aku membentengi diriku agar tidak terjerumus dengan sosoknya. Namun belakangan ini sosoknya makin merenggut kesadaranku. Tepukan pelan dan panggilan lembut menyentakku. Rika telah berdiri di sebelah dengan senyum manisnya. Matanya memancarkan sinar kecemasan. “Kamu tidak apa-apa, Dit?Kamu selalu melamun. Ada apa?” Aku memaksakan diri tersenyum. Rika menggenggam tanganku. Terasa hangat menjalari sekujur tubuhku. Aku baru menyadari sore mulai beranjak. “Tante menelepon, menanyakan apa kamu baik-baik saja. Aku bilang kamu tidak apa-apa. Tapi kelihatannya Tante mengkhawatirkan kamu. Tante meminta tolong padaku untuk menemanimu termasuk mendengarkan kalau kamu ingin curhat.” “Kapan Mami datang ke sini?” “Paling lambat lusa, sehari sebelum pernikahanku. Tante kelihatan cemas kalau kamu nanti ketemu sama …” Aku menggigit bibir. Rika terdiam. Dia menyadari sinar keresahan yang terpancar di setiap inci tubuhku. Kadang-kadang, aku bersyukur dia amat memahamiku. Aku masih enggan mengungkapkan keresahan yang seakan meracuniku hari demi hari. “Dit, besok kita pergi ke pantai ya. Kamu masih ingat nggak, kalau kita lagi banyak pikiran, kita pasti ke sana memandangi senja.” “Tidak usah, Ka. Kamu kan sudah capek mengurus persiapan pernikahanmu.” Rika berkacak pinggang dengan tatapan pura-pura marah. “Oh ayolah, Dit. Kamu harus menikmati keindahan Kaimana. Nanti kalau sudah di Jakarta, kamu harus cerita sama teman sekantormu.” Aku membisu. Ragu. Sebenarnya aku tak ingin mengacaukan cutiku, tapi perasaanku masih berantakan. Tak mampu untuk menjalani hari tanpa kesadaran penuh. Rika menatapku dengan sinar mata memelas. Aku mengerang. Dia menyatukan kedua telapak tangannya sambil memandangku penuh harap. Oh, sudahlah. Sejak dulu aku tahu dia keras kepala. Percuma mendebatnya. Aku pun mengangguk pasrah. Untuk kesekian kalinya, aku mendengarkan suara operator yang menyambut dari seberang. Entah sudah keberapa ratus kalinya suara itu bergaung di telingaku. Sekali lagi membunuh harapan yang membuncah di hatiku. Sepertinya dia mengganti nomornya. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan mencoba beberapa saat lagi.” Mengapa saat itu dia seolah menguji perasaanku?Padahal aku tak pernah menyerah pada hubungan kami. Meski peluangnya tipis untuk menyatukan kami dalam pernikahan. Apakah kata-kataku pada pertemuan terakhir kami telah menyakiti hatinya?Hingga dia butuh ruang untuk memikirkan kebersamaan kami?Atau dia ingin memberiku rasa sakit yang serupa? “Al, aku tahu pasti sulit menghadapi penolakan keluarga, terutama Mami. Sampai kapan pun dia tidak akan setuju dengan rencana kita. Tapi kita tidak boleh menyerah.” Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya meleleh di pipi. Oh, kata-kata itu pasti telah menohok hatinya. Padahal ketika itu dia ingin pamit, meninggalkanku sejenak untuk pulang kampung ke Tana Toraja. Keluarga besar di sana akan mengadakan pesta pemakaman Neneknya yang meninggal dua tahun lalu. Kehadirannya sangat diharapkan sejak dia merantau dan tak pernah kembali selama lima tahun. Setelah mendengar kata-kataku, dia sempat mengeluh marah namun kemarahannya perlahan mereda setelah menyaksikan reaksiku yang tampak terluka. Dia pun menarikku ke dalam pelukannya, memberiku dekapan yang menghangatkan. Kini sosoknya telah menjauh. Telah ribuan SMS kukirimkan ke nomor ponselnya, namun tak ada balasan. Bahkan kemudian saat aku mengirimkan SMS lagi, semuanya macet di udara. Begitupun dengan jutaan teleponku, yang semuanya berakhir dalam boks pesan. Aku terhempas dalam kekecewaan campur kesedihan. Rasanya begitu menyakitkan saat sosoknya pelan-pelan menghilang. Aku merasa kehilangan yang teramat perih. Ketakutanku telah menjelma nyata. Rasanya dia telah memilih menghapus sosok hingga bayang-bayangku. Bahkan ketika aku meninggalkan Kaimana, dia belum kembali. Sebuah tepukan lembut menyadarkanku. Aku terhempas ke masa kini, di suatu pantai dengan untaian pasir putih dan debur ombak yang lembut mengalun. Aku menoleh ke sebelah. Rika telah berdiri dengan senyumannya yang hangat. Dia melingkarkan lengannya di bahuku dan berbisik pelan. “Tunggu ya Dit. Aku berharap senja hari ini bisa menghapus semua kesedihan dan derita yang kamu tanggung.” Mataku berkaca-kaca. Rika memberiku tatapan penuh makna. Lama kami saling bertatapan dalam diam. Oh, tak sadarkah dia. Sejak kami kecil hingga kini, bahkan sampai jarak dan waktu memisahkan kami, dia selalu memberiku kehangatan yang melimpah ruah di hatiku. Dia menyayangiku lebih dari sekedar sepupu. Bahkan dia meneteskan air mata saat aku memilih meninggalkan Kaimana. “Oh, cepat lihat ke pantai, Dit.” Dia tersadar sesuatu. Aku pun melirik ke arah pantai. Aku terpaku. Seakan-akan aku tersedot dalam dunia asing yang indah. Warna kemerahan senja yang menghiasi cakrawala membuatku kehilangan kata-kata. Perlahan-lahan mentari turun seakan ingin tenggelam dalam pesona pantai yang membiaskan rona senja. Aku kehilangan kata-kata. Tak mampu melukiskan perasaan yang membanjiri hatiku. “Tetap indah ya kan, Dit. Sepertinya senja ingin menyedot semua kesedihan kita. Kuharap senja sudah menghapus derita di hatimu.” Air mataku panas. Dadaku terasa sesak. Seolah ada yang menghimpitnya hingga aku tercekik. Napasmu memburu. Tanpa mampu kutahan, kesedihan itu memaksaku menyerah. Aku kalah. Air mata perlahan-lahan menetes di pipiku. Aku terguncang. Aku pun menangis keras-keras. Pertahananku jebol. Susah payah aku memendamnya, namun kini tak tertahankan lagi. Aku sungguh mencintainya. Begitu mencintainya sampai perasaanku terluka terlalu dalam. Dia tidak akan kembali. Dia telah memutuskannya. Dia bak senja yang pelan-pelan akan menghilang dibalik gelombang pantai. Dia hanya akan memancarkan kehangatan sesaat sebelum sosoknya lenyap. Aku takkan bisa meraihnya. Dari kejauhan, senja itu telah memudar. Menyisakan setitik cahaya hingga lenyap sepenuhnya. Rika telah memelukku dengan lembut. Tanpa kata namun penuh makna. “Dia akan menikah, Dit.” Aku terguncang. Melepas pelukan Rika. Berusaha mencari kebohongan dari matanya. “Sabtu ini dia akan menikah di Tana Toraja.” “Kok kamu tahu?Itu pasti cuma gossip.”Sangkalku keras. Rika berteriak frustasi. “Sampai kapan kamu akan terus keras kepala, Dit?Dia itu tidak sungguh-sungguh mencintai kamu. Aku bisa merasakannya. Kalau tidak, kenapa dia tidak berjuang mempertahankanmu?Kalian sudah berencana menikah tujuh bulan lalu. Tapi sekarang apa.” Air mataku tumpah. Aku berjongkok sambil menumpahkan semuanya. Harapanku kosong. Selama dua puluh delapan tahun aku hidup di dunia ini, untuk pertama kalinya aku merasa hampa. Rika ikut berjongkok dan memelukku penuh sayang. “Kamu pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik, Dit. Kamu pasti akan menemukan kebahagiaan sama seperti aku.” Aku terus menangis. Menangisi cinta yang telah menjauh. Senja itu perlahan-lahan tenggelam.

No comments:

Post a Comment