Monday, June 20, 2016

Cinderella dan Pengagum Misterius

            Dua bulan lalu …
Aku berlari tergesa-gesa sambil memeluk buku-buku diktatku. Hari kuliah yang tak kunantikan. Semalam aku menghabiskan waktu menyusun bahan pelajaran untuk Edi, anak tetanggaku yang sudah tiga bulan kuajari Bahasa Inggris. Aku berusaha tak memikirkan keletihan yang sering menyergapku. Kehampaan dalam hatiku yang lebih meracuniku.
            Napasku terengah-engah saat berhasil memasuki bus kampus yang cukup sesak dengan beberapa mahasiswa. Aku berdiri, hampir menyenggol lengan seorang cowok yang sibuk mendengarkan musik dari ponselnya.
            “Maaf.”
            Belum sempat menemukan keseimbangan kakiku, bus kampus mengerem mendadak karena ada motor yang mendadak melintas di depan. Aku terdorong ke depan hingga buku-buku diktatku berhamburan jatuh. Aku menubruk lengan kiri cowok yang berdiri di sebelahku. Sesaat dia spontan menahan tubuhku hingga aku tak perlu terkapar sambil menahan malu.
            Aku tertunduk meminta maaf berkali-kali. Aku nyaris meluncurkan umpatan kasar. Tak seharusnya pengendara motor ugal-ugalan tanpa peduli keselamatan orang lain. Sementara dalam kamus kehidupanku, kesopanan dan kebaikan hati telah mengikat tubuh dan jiwaku. Aku adalah Emi, si Putri Baik Hati. Tak ada yang istimewa dariku dibandingkan Mae, si Putri Jenius dan Emma, si Putri Cantik.
            Aku memeluk diktatku sambil melamun sedih. Ingin rasanya aku menghilang dari rutinitas membosankan yang melelahkan. Meski orangtuaku terkenal baik hati, namun sikap keduanya seolah mengabaikan sosokku. Selama 19 tahun, rasanya menyesakkan dibayangi sosok kedua kakak perempuanku yang sempurna. Aku berusaha menahan luka yang terpendam. Berpura-pura tersenyum seakan tak satu pun beban yang menghantuiku. Bagiku jam-jam yang kuhabiskan di perpustakaan kampus berhasil menjauhkanku dari kekosongan yang menghantuiku hari demi hari.
            Aku meneriakkan suara sekencang mungkin saat bus kampus melewati ruang fakultas Sastra Inggris. Jantungku berdetak kian cepat. Napasku memburu. Terasa risau dan rasa takut saling berkejaran menekan otakku. Mengirimkan sinyal yang semakin melumpuhkan hatiku.
            Aku menerobos sebuah ruangan yang senyap hingga bunyi napas pun terdengar tertahan. Pak Indra, Dosen Pengantar Sastra berdiri di depan kelas sambil menatap dingin. Aku cepat-cepat membungkuk sambil melontarkan maaf berkali-kali. Rasanya kata “maaf” telah terukir dalam otakku dari kecil. Betapa melelahkannya terus meminta maaf. Di rumah, aku paling sering meminta maaf bila Ayah atau Bunda terlihat ingin menyalahkan seseorang untuk segala hal yang merisaukan hati keduanya. Hanya Mae dan Emma yang selalu menuai pujian. Bila keduanya mengalami kekecewaan atau kekalahan, Ayah atau Bunda akan berlomba-lomba menghibur dan menghadiahi macam-macam. Sebaliknya, aku si Tak Terlihat harus berjuang meraih perhatian keduanya, meski selalu berujung kecewa.
            Entah mengapa setiap kelulusanku, Ayah maupun Bunda seolah sibuk. Ayah adalah Profesor Matematika yang kesohor, sedangkan Bunda bekerja di perusahaan percetakan terbesar di Bandung. Mae mewarisi kepintaran yang tak terhingga dari Ayah, sementara Emma dianugerahi kecantikan luar biasa dari Bunda. Aku, si bungsu tak menuruni gen cerdas maupun cantik. Aku bahkan harus mati-matian belajar ilmu eksakta meski membencinya seumur hidup. Hanya Lala, sahabatku sejak SMP yang selalu menyemangatiku agar menekan rasa minder yang tak kunjung berhenti mematikan harapanku. Meski berbeda jurusan, Lala sering menghabiskan waktunya bersamaku.
            Sebulan lalu …
Usai kuliah, seperti biasa, aku tergesa-gesa menyusuri lorong kampus. Dari kejauhan, Lala melambaikan tangannya. Kami janjian bertemu di depan “markas” abadi kami, perpustakaan kampus.
            Di dalam perpustakaan yang lengang, kami pun duduk di pojok ruangan dekat lemari bertuliskan “Filsafat”. Lala, sambil menatap serius, setengah berbisik, “Em, si Aldi barusan putus dengan pacarnya. Gimana kalau kamu mendekati dia duluan sebelum orang lain merebutnya?Dia kan pengagum rahasiamu.”
            Aku menghela napas panjang. Lalu memutar bola mataku dengan gaya dramatis. Seraya membalas tatapan Lala, aku menggeleng tak percaya. Aldi, si Pangeran Kampus begitu julukannya. Wajahnya ganteng dengan postur kurus tinggi dan senyuman maut yang mampu melelehkan para cewek. Belum lagi orang tuanya Direktur bank swasta dan pemilik butik terkenal. Tak dapat dibayangkan Aldi, si sosok sempurna yang diidamkan siapa pun menghujaniku dengan puisi-puisi cinta.
            “Jangan bercanda dengan tampang serius begitu, La.”Kataku sambil tersenyum masam.
Lala terkikik geli. Beberapa orang mendelik ke arahnya. Spontan Lala menutup mulutnya. “Bulan depan kan UKM PA mau rapat tentang liburan akhir semester. Pokoknya kamu harus ikut acara kemping.”
Lagi-lagi aku menghela napas panjang. Honor mengajarku belum cair. Iuran acara kemping lumayan menguras kantong. Tak mungkin aku memelas pada Ayah Bunda. Seperti biasa, mereka pasti tampak enggan sambil melontarkan sejuta pertanyaan. Pada akhirnya mereka akan beralasan kemping hanya membuang waktu. Sejak dulu Ayah Bunda tak pernah tertarik dengan semua kegiatanku. Sikap keduanya berubah seratus delapan puluh derajat bila Mae atau Emma yang membujuk. Terkadang kurasa akulah Cinderella versi modern, meski tak memiliki Ibu tiri atau saudara tiri. Sebenarnya Tante Devi pernah membocorkan rahasia saat aku menangis memohon-mohon. Ketika aku lahir, Ayah Bunda merasakan kekecewaan yang pahit. Mereka mengharapkan kehadiran anak laki-laki. Sejak umur 14 tahun, aku berhenti memprotes Ayah Bunda. Aku mematikan jiwa pemberontak yang menggelora sejak sosoknya seperti dianggap bayangan.
Lala menatap simpatik. Dia membuang napas seirama denganku. “Oke, nanti aku pinjamkan uangnya. Tidak mau tahu. Kamu harus ikut.”
Perasaan bersalah seketika menyesakkan dadaku. Terbayang sosok memelas Lala yang kesekian kalinya membujuk orangtuanya, terutama ibunya yang suka menceramahinya soal betapa langkanya uang dan perlunya mewaspadai pemborosan uang. Meski berusaha menolak, nyatanya Lala keras kepala. Pelototan mautnya membuatku menyerah kalah.

Image : Google
* * * * *
            Di hari rapat UKM PA (Pecinta Alam), aku dan Lala memilih duduk paling pojok. Menyepi dari hiruk pikuk anggota lain. Kami sibuk menyusun rencana. Saat ingin mencatatnya dalam agenda harian, aku tiba-tiba tersadar. Agendaku sudah dua bulan menghilang.  Meski aku berusaha mencarinya hingga putus asa, agenda itu tak terlihat dimana pun. Lala mengomeli memoriku yang setara dengan Pentium Satu. Entah sudah berapa macam barang yang hilang secara misterius dari kehidupanku. Ralat, sebenarnya jaringan memori di otakku berkapasitas terbatas hingga tak ada memori yang awet tersimpan.
            Saat kami sedang berdebat dalam setengah bisikan, seseorang menepuk puncak kepala kami dengan buku. Kami pun meringis kompak dan mengangkat kepala. Aku tertegun. Sosok Davi, si Ketua PA sedang meluncurkan tatapan laser. Sejak pertama kali bertemu, si senior itu bersikap dingin. Tak salah dia dijuluki Pangeran Es. Meski tampan dan jangkung, dia jarang tersenyum. Tatapan matanya agak sinis dan tajam membara.
Sialnya, aku pernah tidak sengaja menyiram wajah dan seluruh tubuhnya saat acara Ospek UKM PA. Salahnya sendiri, tiba-tiba melintas saat aku mengira tak ada orang dan langsung membuang air beras yang kutampung. Sejak itu, aku jadi gugup ketakutan bila bertemu muka. Tak kusalahkan bila dia dendam. Aku juga pernah menyodok hidungnya dengan gagang sapu ijuk saat acara baksos kampus. Dia bahkan pernah terhantam pintu saat aku membuka ruangan UKM PA.  
Aku benar-benar menyesali deretan “dosa” yang tak sengaja itu. Kalau bukan karena Aldi, sosok yang membuatku jatuh cinta sejak pertama kali ikut Ospek kampus, aku akan mencoret UKM PA dari daftarku. Aldi yang menyapaku saat aku kebingungan menyusuri kampus untuk menemukan gedung auditorium. Senyumnya benar-benar menghipnotisku. Menghancurkan gumpalan beban yang menghimpitku bertahun-tahun.
Lamunanku mendadak buyar saat Lala menyikut lenganku. Memori manis saat bersama Aldi pun berhamburan. Aku memandang Lala yang mengedipkan sebelah matanya ke arah depan. Kuikuti tatapannya. Aku meneguk ludah. Si Mata Laser, Davi memanggil gemas namaku. Seketika semua pasang mata menoleh ke arahku. Bahkan tatapan Aldi membuatku sesak napas. Wajahku memerah. Aku pun meminta maaf sambil menunduk.
Kesedihanku perlahan mencair saat memandang sepucuk surat yang tersimpan di dalam tasku. Sudah dua bulan aku menerima surat misterius yang selalu menghiasi hari-hariku. Awalnya, surat itu kutemukan di atas tasku saat ketiduran di ruang perpustakaan kampus. Aku memandang Aldi, yang sejurus kemudian seakan sadar ditatap. Dia melirik ke arahku sambil tersenyum. Aku jadi grogi. Buru-buru kumasukkan surat itu ke dalam tas. Aku mencurigai dialah pengagum rahasiaku sejak tiga minggu lalu. Saat di perpustakaan kampus, aku tak sengaja mengintip sosoknya yang serius menulis sesuatu di atas secarik kertas. Setelah itu beranjak pergi ke arah lemari perpustakaan. Penasaran, aku pun mengintip tulisannya. Syok campur tak percaya saat membaca deretan puisi yang isinya persis dengan puisi yang dialamatkan padaku.
Terbayang semua kejadian yang menghadirkan sosoknya. Saat aku ketiduran dengan sepucuk surat yang ditinggalkan, hanya dia yang membaca buku di perpustakaan. Ketika aku kelelahan sehabis uji coba pendakian, kulihat dia berjalan ke arahku sambil tersenyum. Setelah aku mengambil tasku yang tergeletak di ruang UKM, sepucuk surat melayang jatuh. Baru-baru ini, Lala menangkap sosoknya yang menyelipkan surat saat aku ketiduran dalam ruang kelas yang sepi.
“Em, acara kemping akhir semester ini bisa jadi takdir. Jangan sampai kesempatan langka itu lolos. Sudah dua bulan si Pangeran Aldi bersembunyi dalam label Pengagum Rahasia.”Bisik Lala dengan semangat berapi-api.
Aku pun mengangguk mantap. Dua minggu lagi acara kemping akhir semester. Pada puncak acara, akan ada sesi “Pengakuan”. Semua anggota bebas menumpahkan unek-uneknya. Bahkan rumor beredar, lima tahun berturut-turut, selalu ada pasangan yang tercipta gara-gara pengakuan cinta. Aku bertekad akan mengukir sejarah. Akan kunyatakan perasaanku pada si Pangeran Kampus. Aku tak ingin seperti “Putri Duyung” yang mengharapkan si Pangeran datang atau Cinderella yang menunggu pangeran yang menjemputnya.
Di hari kemping, dua jam sebelum sesi “Pengakuan”, aku berusaha menenangkan debaran jantungku yang berloncatan kacau. Kami sedang menyantap makan malam. Lala sekali lagi berbisik meyakinkanku. Aku bahkan sudah menghapal puisi yang semalaman kutulis. Tak seorang pun yang akan menyangka kalau sosok yang mengetuk hatiku adalah si Pangeran Aldi. Hanya dia yang akan tahu karena dialah yang menulis puisi untukku. Aku hanya membalik kata-katanya.
Setelah satu per satu mengungkapkan perasaan, aku meringis kesal saat sebagian besar cewek anggota UKM PA menyatakan cinta pada Aldi. Si Aldi hanya melempar senyum sopan. Saat tiba giliranku, jantungku makin bertalu-talu. Seakan-akan aku lari marathon berkilo-kilo meter. Aku berdeham sejenak sebelum membacakan puisi.
“Untuk si Pujangga, yang mengukir sejuta cinta di atas hati tak berjiwa. Dia adalah Cinderella, yang melukis horizon di atas kanvas. Dia adalah si Putri Tak Terlihat, yang dibayangi jiwa perih tak terperi. Dia tak kan ragu berlari, menyongsong si Pujangga meski hatinya terkoyak. Hanya padamu wahai Pangeran Pujangga, serpihan hatinya menyatu utuh. Dia tak lagi Cinderella yang malang, Dia adalah Cinderella yang penuh kemilau. Saat Pangeran menyelimutinya dengan asa harapan yang berkilau.”
Sesaat sunyi senyap. Aku membisu gugup. Tak seharusnya semua terdiam hening. Tiba-tiba sebuah tepukan memecah keheningan malam. Akhirnya semua bertepuk tangan. Aku memandang sekeliling dengan takjub. Belum pernah aku mendapatkan tepuk tangan massal yang paling antusias. Terdengar teriakan penuh kekaguman. Rasanya aku seperti menggenggam kemenangan.
“Puisi yang luar biasa, Emi.”Sebuah suara lembut menyentakku disusul tepukan pelan di pundak.
Aku melongo tak percaya. Davi, si Pangeran Es menyunggingkan senyum paling menawan. Dia bahkan terlihat lebih tampan daripada si Pangeran Aldi. Seketika itu aku menunduk malu. Entah mengapa aku merasakan sesuatu menggelitik perutku. Sensasinya membanjiriku dengan kebahagiaan. Efeknya lebih dahsyat dari kekagumanku pada Aldi.
“Wahai, Cinderella yang mengukir senyum tulus. Jangan pernah meragu, Pangeranmu menyambut sungguh. Jiwanya hanya tertuju padamu.”
Aku menoleh kaget saat bisikan itu mengalun merdu. Si senior Davi mengulum senyum jahil.
“Ada agenda warna kelam tertinggal di bus. Kurasa agenda itu terlalu berat dengan curahan hati seseorang selama bertahun-tahun.”

Aku membelalakkan mata saat kepingan puzzle itu tersusun utuh. Sosoknya terlihat jelas. Astaga, ternyata dialah si cowok bus. Aku memutar memoriku saat aku menoleh sekilas padanya. Sebuah senyum terbentuk. Senyum yang sama dengan sosok tak terlihat itu. Akhirnya aku menyadari, selama ini sosok yang mencairkan keresahan hatiku bukanlah Aldi. Cinderella hanya terlalu sibuk tenggelam dalam kesedihannya dan menyesali kemalangan hidupnya. Cinta tak selamanya seperti yang terlihat, hanya perlu dirasakan keping demi keping agar mencairkan kesedihan.

@ElfryantyNovita, Dongeng Masa Kini, Mei 2016