Siapa yang tak kenal Raja Ampat?Pulau
tersohor yang diibaratkan “surga yang jatuh ke bumi”. Raja Ampat memiliki
kekayaan alam bawah laut dengan keindahan yang luar biasa, bahkan sekitar 75%
spesies karang dunia atau sekitar 537 spesies terumbu karang berada di Raja
Ampat. Raja Ampat sendiri merupakan gugusan pulau yang tersebar dengan empat
pulau besar, yaitu Pulau Waigeo, Pulau Misool, Pulau Salawati, dan Pulau
Batanta. Secara administrasi wilayah Raja Ampat tercakup dalam Provinsi Papua
Barat, berlokasi di barat bagian kepala burung dan Sorong merupakan penghubung
langsung ke kawasan ini. Masyarakat Kepulauan Raja Ampat umumnya nelayan
tradisional yang menyebar di berbagai pulau yang rata-rata berjauhan dan hanya
dapat ditempuh melalui transportasi laut seperti speed boat, perahu jonson dan kapal-kapal baik kapal besar maupun
kapal kecil. Meski demikian, belum ada transportasi laut yang bersifat reguler
untuk menyusuri pulau-pulau di Raja Ampat. Raja Ampat dikenal sebagai “surganya
diving” karena menurut berbagai
sumber, perairan di Raja Ampat merupakan salah satu dari 10 perairan terbaik di
dunia untuk diving site. Berdasarkan organisasi
Green Peace, Raja Ampat merupakan
surga bawah laut terbesar di Indonesia sehingga Pemerintah Indonesia
menargetkan sekitar 30 persen dari 34 juta hektar wilayah laut yang dijadikan
kawasan konservasi pada tahun 2020 berasal dari Raja Ampat.
Kepulauan
Raja Ampat ditetapkan sebagai kawasan konservasi untuk keanekaragaman kekayaan
hayati sejak tahun 2008 dan disempurnakan dengan landasan hukum Peraturan
Bupati Nomor 66 tahun 2007 serta perubahan nomor 05 tahun 2009 tentang
Penetapan Kawasan Konservasi Raja Ampat yang terdiri dari 7 kawasan (mencakup
Ayau-Asia, Teluk Mayalibit, Selat Dampier, Wayag-Sayang-Piay, Misool Selatan)
seluas 900.000 hektar. Hal ini berarti bahwa Raja Ampat dijadikan sebagai
wilayah yang dilindungi secara hukum dari unsur kerusakan lingkungan maupun
aktivitas manusia yang merugikan ekosistem laut di Raja Ampat. Raja Ampat
diistilahkan sebagai “marine protected
areas” sehingga keberadaannya berperan penting dalam pelestarian ekosistem
laut. Suatu wilayah yang ditetapkan menjadi kawasan konservasi yang berarti
bahwa hanya diperbolehkan aktivitas yang tidak merugikan keberadaan kekayaan
laut dan isinya selain untuk kepentingan penelitian kelautan, penangkapan ikan
yang tidak menggunakan pukat harimau (trawl)
atau bom, serta tujuan wisata yang tidak merusak ekosistem bawah laut. Untuk
tujuan konservasi, terdapat beberapa organisasi pelestarian lingkungan laut
seperti TNC (The Nature Conservatory)
yang salah satu programnya adalah Konservasi Laut di kawasan Misool dan Kofiau
serta CI (Conservation International) dengan berbagai program
perlindungan lingkungan laut, salah satunya konservasi spesies hiu manta di
Kepulauan Raja Ampat. Keberadaan kawasan konservasi berperan penting dalam
kelangsungan ekosistem laut maupun manusia. Berdasarkan obrolan santai dengan
para penduduk di Distrik Yenbuba, misalnya ketika penulis melakukan perjalanan
dalam rangka pengecekan monitoring Sensus Pertanian yang mencakup lima sektor
termasuk sektor perikanan pada bulan Mei 2013, menyampaikan bahwa mereka
mendukung adanya program konservasi dengan tidak mematikan matapencaharian
penduduk yang sebagian besar bergantung dengan hasil laut. Beberapa diantara
penduduk di Kepulauan Raja Ampat seperti di pulau Saonek, Distrik Teluk
Mayalibit dan Distrik Meosmansar, memiliki persepsi bahwa konservasi di Raja
Ampat merupakan upaya perlindungan terhadap ekosistem laut termasuk ikan-ikan
dan terumbu karang, namun tidak memberikan dampak berarti bagi perekonomian
penduduk di pesisir pantai. Sebagian besar dari mereka masih bingung dengan
istilah “konservasi” karena sejak zaman nenek moyang, mereka telah diingatkan
untuk tidak merusak laut atau melakukan penangkapan ikan secara berlebihan.
Warisan luhur dari nenek moyang itu terkenal dengan nama “sasi”. Sasi berarti
larangan untuk mengambil sumber daya alam tertentu dalam batas waktu dan
wilayah tertentu yang bertujuan untuk menjaga kelestarian alam agar
keseimbangan ekosistem tetap terjaga. Sasi dikenal luas oleh penduduk Kepulauan
Raja Ampat. Salah satunya seperti penduduk di Distrik Misool yang sejak lama
memegang teguh konservasi tradisional “sasi”. Menurut penuturan penduduk yang
bermukim di Waisai, hampir semua pulau memiliki pemahaman mengenai kearifan
lokal yang dikenal dengan nama “sasi” karena nenek moyang mereka telah
menanamkan wawasan tersebut untuk mencegah kerusakan kekayaan laut Kepulauan
Raja Ampat yang merupakan “surga” dunia.
Dokumentasi : Distrik Meos Mansar, salah satu distrik di Raja Ampat
Dokumentasi : Salah satu SD di Yenbuba, salah satu daerah dengan kearifan lokal, Sasi
Sasi
merupakan wujud kearifan lokal yang dikembangkan dan dipertahankan oleh
penduduk Kepulauan Raja Ampat di berbagai pulau. Sistem sasi bahkan telah
dikenal selama ratusan tahun karena diwariskan turun-temurun. Keberadaan kepala
suku sebagai pemimpin berperan penting dalam menjaga kultur budaya dan harmonisasi
manusia dan alam. Sasi sendiri didasarkan tidak hanya pada jenis komoditas,
namun juga batas wilayah tertentu. Sebagai contoh penerapan sasi Teripang pada
wilayah tertentu, yang berarti penduduk tidak boleh memburu atau mengambil
teripang hingga Sasi dibuka. Jangka waktu sasi ini berkisar 6 bulan hingga
bertahun-tahun. Lembaga adat atau gereja yang memiliki kewenangan untuk membuka
dan menutup Sasi. Secara umum, penduduk di pesisir pantai di beberapa pulau di
Raja Ampat seperti Pulau Waigeo, Pulau Misool dan beberapa wilayah sekitar
Waisai yang menjadi pusat ibukota sangat menjunjung tinggi Sasi karena bagi
mereka sektor perikanan merupakan penyangga kehidupan sehari-hari dan sumber
utama ekonomi. Apabila kekayaan laut menjadi rusak, maka berarti sumber
perekonomian mereka juga terancam hilang. Penduduk yang tinggal di pulau-pulau
di wilayah sekitar Pianemo, kawasan wisata yang terkenal di Raja Ampat selain
Pulau Wayag, misalnya menuturkan bahwa ribuan wisatawan yang mengunjungi
Pianemo setiap tahun sangat menguntungkan bagi pendapatan mereka. Meski demikian,
mereka tetap menekankan para wisatawan yang datang dan pergi agar tetap menjaga
kelestarian alam bawah laut dengan tidak melakukan aktivitas merusak seperti
membuang sampah plastik ke laut. Bagi penduduk lokal di pulau-pulau eksotis
Raja Ampat, laut merupakan sumber kehidupan mereka yang harus tetap dijaga
karena perekonomian mereka juga bergantung pada keberlangsungan ekosistem laut.
Contoh lainnya seperti subsuku Ambel yang mengenal adat tradisi yang disebut
Gabus. Gabus memiliki arti larangan adalah tradisi menjaga, mengatur, serta
memanfaatkan sumber daya alam baik di darat dan laut. Penerapan sasi kini lebih intensif dan
berbasis ilmu pengetahuan dikarenakan para penduduk lokal mulai menyadari
adanya ancaman kegiatan perikanan yang merusak, yaitu
perikanan Illegal, Unreported, and Uregulated (IUU). Hingga kini,
belum dapat diperkirakan nilai ekonomi yang hilang akibat aktivitas merusak
tersebut. Seperti misalnya aktivitas kapal-kapal asing penangkap ikan dari
nelayan-nelayan Filipina yang tidak saja melakukan penangkapan ikan secara
illegal, namun juga menggunakan peralatan yang dapat merusak ekosistem terumbu
karang di wilayah perbatasan Raja Ampat-Filipina, yaitu Kofiau yang merupakan
wilayah terluar dari Kepulauan Raja Ampat. Kearifan lokal yang dianut dan
diterapkan oleh sebagian besar penduduk lokal di Kepulauan Raja Ampat perlu
dipertahankan dan ditingkatkan ke level yang lebih tinggi sehingga pengelolaan
kekayaan laut dilakukan dengan prinsip keberkelanjutan.
Dokumentasi : Wawancara dengan penduduk lokal di salah satu desa di Raja Ampat
Dokumentasi : Wawancara dengan nelayan lokal di salah satu desa di Raja Ampat
Kepulauan
Raja Ampat memiliki bentang alam berupa kepulauan dengan berbagai tipe
pulau-pulau karst yang dibawahnya berhiaskan bentang terumbu (reefscape) dan habitat terumbu serta sea mounth (gunung laut). Bahkan spesies
ikan dan karang Raja Ampat bersifat endemik. Artinya spesies dan karang
tersebut hanya dapat ditemukan di satu tempat saja dan tidak terdapat di tempat
lainnya. Berdasarkan informasi dari E-Pariwisata, tercatat sekitar 600 spesies
karang, 57 spesies udang mantis, 13 spesies mamalia laut, 5 spesies penyu laut
langka, 700 spesies moluska dan 1.320 spesies ikan dimana sekitar 27 spesies
ikan hanya dapat ditemukan di Kepulauan Raja Ampat. Secara ekonomi, keindahan
bawah laut Raja Ampat sangat bernilai dan tiada duanya. Penduduk lokal dapat
meningkatkan pendapatan atau kesejahteraannya dengan mengembangkan perekonomian
berbasis pariwisata dengan memanfaatkan keindahan surga bawah laut.
Perekonomian Kabupaten Raja Ampat berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
Kabupaten Raja Ampat selama kurun waktu 2010-2014 (tanpa mencakup kategori
pertambangan migas) ditopang dari kategori pertanian dengan besaran 21% - 26%.
Bahkan sekitar 15%-19% dari total barang dan jasa yang dihasilkan di Raja Ampat
per sektor dihasilkan dari sektor perikanan selama tahun 2010-2014. Bahkan bila
dirinci terhadap total nilai barang dan jasa yang dihasilkan dari pertanian,
lebih dari 70 persen berasal dari kontribusi sektor perikanan. Hal ini berarti
bahwa sektor perikanan yang mencakup perikanan tangkap dan budidaya merupakan
urat nadi perekonomian masyarakat Kepulauan Raja Ampat. Keberadaan laut beserta
kekayaannya merupakan penyangga perekonomian wilayah. Sementara dilihat dari
sisi pariwisata, berdasarkan kontribusi dari sektor-sektor yang terkait dengan
pariwisata seperti sektor penyediaan akomodasi, sektor penyediaan makan minum,
sektor transportasi, sektor informasi dan komunikasi, sektor keuangan dan
sektor jasa-jasa lainnya, persentasenya masih rendah atau kurang dari satu
persen untuk masing-masing terhadap nilai total barang dan jasa yang dihasilkan
(Produk Domestik Regional Bruto). Hal ini berarti bahwa sektor-sektor terkait
pariwisata di Raja Ampat belum dikembangkan secara optimal. Kebijakan Kepulauan
Raja Ampat sebagai kawasan konservasi tidak memungkinkan adanya pengembangan
sarana pariwisata yang lebih modern seperti yang dikembangkan oleh pemerintah
daerah Bali karena hal tersebut justru dikhawatirkan akan menguntungkan dari
segi ekonomi, namun merugikan bagi kelangsungan ekosistem di laut. Pengembangan
pariwisata Raja Ampat bagi beberapa penduduk lokal di desa wisata Arborek
misalnya, mutlak diperlukan dengan tidak merusak alam. Penulis menyempatkan
diri untuk mengunjungi desa wisata ini pada awal Desember 2015 saat mengikuti
tur wisata di Raja Ampat. Para penduduk desa terkenal dengan kemampuan
konservasi warga terhadap lingkungan laut. Mereka memiliki kepedulian tinggi
dalam menjaga kelestarian laut baik di atas maupun di bawah. Daya tarik desa
wisata ini, sama seperti desa wisata lainnya, terletak pada spot diving dan snorkeling. Keindahan alam bawah laut dapat diekspos oleh wisatawan
menggunakan peralatan penyelaman. Meski demikian, perekonomian desa ini tidak
serta-merta meningkat dikarenakan sebagian besar wisatawan memilih tinggal di homestay milik orang asing, bukan
penduduk lokal dikarenakan fasilitas dan kenyamanannya. Bila ditelaah lebih
lanjut, homestay maupun resort di Kepulauan Raja Ampat lebih
banyak dikuasai oleh orang asing. Hal ini tentu tidak akan mendongkrak
perekonomian penduduk lokal.
Dokumentasi : pemandangan salah satu pulau dari atas perahu di Raja Ampat
Dokumentasi : salah satu desa wisata (Yenbuba) di Raja Ampat
Dokumentasi : pemandangan salah satu desa wisata di Raja Ampat
Dokumentasi : Wawancara dengan penduduk lokal di Raja Ampat (desa pesisir di Saonek)
Dokumentasi : Wawancara dengan penduduk lokal yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan
Dokumentasi : Kantor Distrik Teluk Mayalibit, Raja Ampat
Dokumentasi : Perjalanan keliling pulau dengan perahu jonson, salah satu transportasi populer
Sektor
pariwisata Raja Ampat memiliki keterkaitan dengan konservasi laut. Meski sisi
ekonomi perlu dikedepankan, namun kelestarian laut Kepulauan Raja Ampat jauh
lebih penting. Visi pemerintah daerah Kabupaten Raja Ampat adalah pengembangan
pariwisata sebagai sektor pendongkrak Penerimaan Asli Daerah (PAD). Secara
ekonomi, Kepulauan Raja Ampat memiliki potensi besar dalam pengembangan pariwisata
bahari untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal, namun perlu juga
diperhatikan apakah pengembangan tersebut akan berdampak sebagai ancaman bagi
kelangsungan ekosistem laut Raja Ampat. Kepulauan Raja Ampat merupakan “world heritage” yang perlu dijaga dan
diproteksi dari ancaman kerusakan sumber daya alam hayati baik dari pihak luar
maupun dari masyarakat sendiri yang masih belum memiliki kepedulian akan
keberlangsungan ekosistem bahari Raja Ampat. Sektor pariwisata merupakan sektor
unggulan Raja Ampat karena potensi bahari yang menjanjikan. Optimalisasi sektor
pariwisata bahari selama ini masih terkendala fasilitas dan sarana pendukung,
terutama sistem transportasi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa Kepulauan Raja
Ampat adalah kawasan konservasi sehingga pengembangan sektor pariwisata bahari
di Raja Ampat perlu kajian dan penelitian mendalam agar rencana tata kelola
sektor ini tidak menjadi bumerang bagi penduduk lokal yang secara langsung
berinteraksi dengan ekosistem laut. Setinggi apa pun nilai ekonomis suatu
kawasan laut berserta kekayaan sumber daya hayati yang terkandung di dalamnya,
tetap diperlukan prinsip keberlanjutan untuk generasi mendatang.
Dokumentasi : Salah satu pantai dengan pasir putih di Raja Ampat
Dokumentasi : Homestay sebagai tempat tinggal wisatawan di Raja Ampat
Dokumentasi : Salah satu homestay milik penduduk lokal di Raja Ampat
Dokumentasi : Waiwo Dive Resort, Raja Ampat
Kepala
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua Barat, Edi Sumarwanto menuturkan
dalam pertemuan di Kantor Gubernur Provinsi Papua Barat bahwa pemerintah
Provinsi Papua Barat akan memprioritaskan pengembangan Kepulauan Raja Ampat sebagai
destinasi utama di Papua Barat. Pemerintah daerah dikatakan oleh Edi Sumarwanto
akan sangat berhati-hati dalam mengembangkan kawasan wisata bahari Raja Ampat
dengan membuat perencanaan pembangunan secara arif dan bijaksana. Selama dua
tahun terakhir, Pemprov Papua Barat telah mendorong Pemkab Raja Ampat agar
memiliki rencana tata ruang pengembangan pariwisata bahari Raja Ampat yang
berorientasi pada lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat sehingga hal tersebut
akan membangun ekonomi kerakyatan penduduk lokal Raja Ampat sekaligus mempertahankan
status Kepulauan Raja Ampat sebagai kawasan konservasi. Dengan demikian, nilai
ekonomis keberadaan sektor pariwisata bahari Kepulauan Raja Ampat tetap
berlandaskan kearifan lokal penduduk secara turun-temurun, bukan semata demi mengejar
keuntungan pribadi dalam bentuk rupiah.
nice
ReplyDelete