Sunday, January 10, 2016

Love Raphsody

Aku akan menikah tiga minggu lagi. Sungguh penantian panjang yang melelahkan. Namun aku akan bersabar sampai momen membahagiakan itu tiba. Calon istriku adalah cewek paling aneh dan menarik yang pernah kukenal. Tentu saja dia juga wanita tercantik dimataku. Tedi selalu menertawakanku setiap aku memuji-mujinya. Debbie memang unik. Jujur saja, dia tak secantik mantan-mantanku, namun seolah ada magnet dalam dirinya yang menarikku. Dia ramah, ekspresif, apa adanya dan menyenangkan.
Pertemuan pertama kami terjadi 3 tahun lalu, saat pertunangan sepupuku, Tedi dengan pacarnya. Awalnya aku menolak hadir. Aku baru saja putus dengan Nadya. Masalahnya sepele. Nadya menganggap aku terlalu cuek dan lebih sering nongkrong dengan teman-temanku daripada memerhatikannya. Susah payah aku membujuknya, namun dia sudah lelah dengan hubungan satu arah. Akhirnya kami pun putus.
Sepanjang pesta itu, aku enggan meladeni cewek yang berusaha menarik perhatianku. Tedi mati-matian menjodohkanku dengan semua cewek kenalannya. Kami sudah bersahabat sepuluh tahun sejak SMP, jadi aku memakluminya.
Di sana, saat aku pura-pura ke toilet (aku menghindar dari incaran para cewek jomblo-sungguh menyebalkan), sosok Debbie tampak berdebat dengan Lala, sahabatnya sejak TK. Tadinya aku cuek saat melintas di depan mereka yang berdiri di sudut ruangan, namun langkahku terhenti mendengar ucapan Debbie. Susah payah aku menahan tawa.
“Ya ampun, Deb. Susah payah gue kenalkan elo sama sepupu gue yang super tampan, elo malah sibuk makan di meja prasmanan.”
“Habis makanannya enak-enak. Gue susah menahan diri kalo di depan gue ada makanan. Tenang saja. Sepupu elo nggak menganggur kok. Tadi ada dua cewek yang mengajaknya kenalan.”
Lala menahan gemas. Dia menjitak jidat Debbie dengan semangat menggelora. Debbie meringis kecut. “Elo itu pintar, tapi nggak peka. Masa elo malah memilih makanan daripada cowok sih?Mana ada cewek nggak waras kayak elo.”
Debbie manyun. Bibirnya lalu meliuk lucu. Aku benar-benar berusaha tak meledakkan tawa. Tampangnya gabungan malas, sebal, dan kesal.
Elo sih ngenalin gue dengan cowok cakep bertampang playboy. Maaf kalo gue jujur. Dia bisa mendapatkan cewek mana pun yang dia mau. Gue nggak mau makan hati. Lebih baik gue mundur sebelum itu terjadi. Sepupu loe nggak rugi, kok. Justru gue yang rugi karena kehilangan kesempatan mencicipi makanan enak.”
“Mencicipi makanan apaan?Dimata gue kelihatan elo makan dengan rakus.”
“Berarti elo salah lihat. Mungkin seharusnya elo periksa mata ke dokter. Siapa tahu minus. Gue cuma nyomot doank kok.”
Ampun deh!Tawaku meledak. Sumpah!Aku berjuang keras menahannya. Ucapannya itu sungguh menggelitik. Keduanya menoleh. Tatapan mereka super heran.
Itulah awal pertemuan kami. Tadinya kupikir kami tidak akan bertemu lagi. Ternyata takdir mempertemukan kami lagi di pesta ulangtahun Arya, sepupu teman SMA-ku. Kebetulan atau ini namanya takdir – entahlah - kakak Debbie adalah pacar Arya. Maka, tanpa buang waktu, aku mendekati Debbie untuk mengajaknya ngobrol dengan modus menanyakan nomor ponselnya.  
Awalnya dia keberatan. Alasannya membuatku tergelak. Sungguh. Itu alasan paling konyol yang pernah kudengar.
Loe serius mau minta nomor ponsel gue?”
Aku tersenyum mengangguk. Debbie menghela napas berat. Rautnya seolah-olah mengatakan,”Nanti-elo-akan-menyesal-seumur hidup”.
“Memangnya kenapa?Tidak boleh, ya?Atau ada yang marah?”
“Bukannya begitu. Elo kan belum tentu menelepon gue. Daripada nomor gue mubazir dalam phonebook elo, lebih baik elo simpan nomor-nomor yang sudah pasti terpakai.”
Oke, wajahku jadi bengong sejadi-jadinya. Percayakah kalian, bahwa nomor dialah yang pertama kali kuhubungi setelah aku meninggalkan pesta ultah Arya. Reaksi Debbie?Tentu saja kaget setengah mati. Tapi sumpah, kata-kata pembuka yang terlontar dari bibirnya setelah ponsel tersambung dan aku mengucapkan hai adalah, “Maaf, nomor anda tidak tercetak di phonebook saya. Jadi pasti anda salah sambung.”
Aku menganga takjub sebelum membalasnya. Entah mengapa, sejak mendengar kata-kata itu, mulai timbul desiran aneh di dadaku. Aku bertekad ingin mengenalnya lebih dekat. Maka mulailah aku gencar mendekatinya. Awalnya susah, apalagi dia tipe cuek dan selalu meragukan keseriusanku. Coba tebak, apa katanya saat aku mengajaknya kencan?
“Kencan?Dengan elo?”
Aku mengangguk antusias. Mata Debbie bersinar seolah tak percaya.
Elo yakin?”
“Seratus persen. Memangnya kenapa?”
“Lebih baik jangan. Elo pasti menyesal. Lagipula elo kan bisa mengajak siapa saja. Yang ada juga gue yang rugi. Sepanjang jalan dengan elo, gue bisa dimusuhi cewek-cewek. Wajah elo kan kelewatan gantengnya.”
Astaga!Aku tak bisa menahan tawa. Perutku sampai sakit. Bisa-bisanya ada cewek seaneh dirinya. Bahkan kencan dengannya juga unik. Serba makanan dan mainan. Kami selalu berhenti di suatu tempat hanya untuk makan. Dan, jangan tertawa, ini benaran. Sungguh. Belum pernah aku menyaksikan seorang cewek yang porsi makannya super jumbo. Entah dia sengaja atau tidak membuatku il-fil. Aku justru makin penasaran.
Setelah 6 bulan - ya ampun - belum pernah selama itu aku menaklukkan hati cewek, akhirnya dia setuju berpacaran denganku tapi ada syarat dan ketentuan berlaku. Aku makin bengong saat dia menyodorkan surat perjanjian. Masa pacaran saja perlu kontrak?
“Aku maunya, nanti kalaupun putus, hubungan kita tetap baik. Aku malas bernasib seperti sepupu atau temanku. Setelah putus, mereka malah saling benci. Bayangkan saja, ada yang sampai menjelek-jelekkan pasangannya. Gila!Kemana rasa cinta mereka yang dulu bersemi indah itu?”
Sekali lagi aku tertawa terbahak-bahak. Entah sudah keberapa kalinya aku tertawa. Sepanjang bersamanya, aku sering tertawa. Dia itu polos atau apa?Seolah-olah dia berasal dari planet mana.
Setahun kebersamaan kami juga tidak mulus. Beberapa kali keriki-kerikil tajam berusaha menggoyahkan hubungan kami. Pernah dia cemburu karena ada cewek sekantorku yang terang-terangan suka padaku. Dia mengabaikanku beberapa hari. Aku berusaha membujuknya dengan menyodorkan sejuta alasan. Salahku juga sih memberi perhatian pada cewek itu, yang dianggapnya sebagai bentuk cinta dalam hati. Di kala lain, gantian aku yang marah. Dia sering menomorduakan aku dan lebih peduli pada sahabat-sahabatnya. Lucu juga. Kok aku malah cemburu sama wanita?
Ketika Debbie bertemu pertama kali dengan orangtuaku, aku sempat ketar-ketir. Namun kecemasan itu seketika mencair saat memandanginya akrab dengan orangtuaku. Mama dan Papa selalu sumringah bila Debbie muncul. Anehnya, cuma aku yang sering diacuhkannya. Dia malah sering melupakanku. Aku pernah curhat pada Lala, sahabatnya.
Lala malah terkikik geli. “Itu tandanya elo orang yang paling disayanginya lebih dari siapapun. Dari dulu sifatnya begitu. Mantan pacarnya memutuskan dia karena itu. Tahu nggak, dia mengalami kekosongan selama 2 bulan setelah diputusin.” Aku termangu, caranya aneh dalam mengungkapkan cinta.
Setiap perhatian kecil darinya membuat hatiku melonjak kegirangan. Dia tak pernah absen mengirim SMS setiap rindu menyergap hatiku, menitipkan bekal makan siang ke kantor melalui kurir, memberi kejutan pesta ultahku dan kenangan manis yang lain.
Tanpa terasa tiga tahun berlalu, aku menikmati setiap momen didekatnya. Keceriaannya, wajah cemberutnya, tangis bahagianya, kecemburuannya, semua itu terpahat di hatiku.
Ketika tiba saat aku melamarnya, aku susah payah merencanakannya seromantis adegan film-film. Lala membantuku menipunya agar mampir ke kantor. Tedi tampak girang menghias ruanganku dengan balon dan pernak-pernik. Dilla, kakak Debbie bersemangat membuat kue dan memasang lilin. Orangtuaku dan orangtua Debbie bahkan luar biasa bahagia dan menyemangatiku. Betapa aku bersyukur memiliki keluarga dan teman-teman yang selalu mendukung kami.
Reaksi Debbie?Dia terkejut sekaligus linglung. Dia meneteskan air mata haru sampai membuatku aku kelabakan.
“Davi Pratama, sebelum melamar, sebaiknya rundingkan dulu caranya denganku.”Katanya sambil terisak tanpa henti.
Aku tersenyum geli. Lalu merengkuhnya dalam dekapanku. Mana ada di dunia ini, dimana sang pria berunding dulu dengan sang wanita tentang cara melamar?Kalau begitu, untuk apa melamar?Sekalian saja tanya, mau pernikahan seperti apa.
Akhirnya, di sinilah aku. Aku berdiri sambil mengamati persiapan untuk pernikahanku. Hampir rampung. Aku tak menyangka kalau mempersiapkan pernikahan begitu luar biasa melelahkan. Orangtuaku dan orangtua Debbie berkeras ingin pernikahan yang tak terlupakan. Debbie setuju saja. Dia pernah berbisik pelan padaku setelah persiapan memasuki minggu kedua.
“Gila, kenapa sih pernikahan harus ribet dan melelahkan seperti ini?Tolol saja kalau ada orang yang memilih bercerai lalu menikah lagi. Apa mereka nggak capek?Mengulangi kerepotan pernikahan?”
Oke, aku cuma bisa tertawa. Dalam hati bertekad, aku tidak akan membuatnya mengulangi ritual pernikahan. Apalagi kalau sampai dia menikahi orang lain. Aku bergidik ngeri memikirkannya.
Tedi menepuk pundakku, membuyarkan lamunan yang membiusku. Rasanya aku sudah mengembara dari massa lalu, masa kini dan masa depan.
“Orang yang elo puja setengah mati sudah datang. Baru juga berpisah tiga hari, elo sudah kangen berat. Elo punya penyakit cinta akut.”
Aku tergelak kecil. Sudah tiga hari memang kami tak bertemu. Debbie mengunjungi neneknya di kampung halaman. Dia berkeras ingin memboyong neneknya ke Jakarta. Namun, justru dia seolah betah di sana, menghabiskan waktu sampai tiga hari. Aku terpaksa menelepon, mengingatkannya. Dia malah cengengesan.
“Maaf, Dav. Sekedar mengingat masa kecil dulu. Lumayan buat refreshing dari persiapan pernikahan.”
Yang benar saja. Dia memang selalu mengejutkanku dengan cara-cara di luar normal. Kadang aku merenung. Apa aku akan tahan kalau seumur hidup menghabiskan hari-hari bersamanya?Dengan segala tingkah lakunya?Atau kebiasaannya?Termasuk segala kekurangannya?Aku bisa saja mati tertawa. Atau malah suatu hari aku justru sebal dengan sifatnya yang unik?
Namun saat aku melirik sosoknya yang melintasi lantai ballroom itu, aku tertegun. Dia tampak lebih cantik dan segar. Keceriaan tak pernah lepas dari raut wajahnya. Aku meringis. Begitulah cinta. Tak peduli seaneh atau seunik apa pun pasanganmu, perasaan itu tetap terpatri dihatimu. Aku ingin lebih banyak lagi tertawa bersamanya. Melewatkan hari-hari sepanjang tahun sampai usia kami mendekati senja. Musik di hatiku mengalun merdu.
Dia mengulum senyum manis. Secercah sinar menyelimuti wajahnya. Menepis semua keraguan yang sempat mengusik hatiku. Aku tersenyum lebar membalasnya. Daripada sejuta kecemasan yang hinggap, ternyata keinginan untuk bersamanya jauh lebih menggelora. Toh selama ini, aku tahan-tahan saja dan malah nyaman dengan keanehannya.

Aku meraih tangannya setelah dia menghampiriku dan berdiri sambil menatap lurus mataku. Saat menggenggam kehangatan jemarinya, aku diam-diam berdoa untuk kebahagiaan kami selamanya. Tiga tahun berlalu, kami berhasil melewati masa-masa serba warna-warni. Masih ada masa depan yang menanti kami di sana. Karena aku mencintainya sepenuh hatiku. Dialah Love Raphsody-ku yang menggema di hatiku.

No comments:

Post a Comment