Aku akan menikah tiga minggu lagi. Sungguh penantian panjang yang melelahkan. Namun aku akan
bersabar sampai momen membahagiakan itu tiba. Calon istriku adalah cewek paling
aneh dan menarik yang pernah kukenal. Tentu saja dia juga wanita tercantik dimataku. Tedi selalu menertawakanku setiap
aku memuji-mujinya. Debbie memang unik. Jujur saja, dia tak secantik
mantan-mantanku, namun seolah ada magnet dalam dirinya yang menarikku. Dia ramah, ekspresif, apa adanya dan menyenangkan.
Pertemuan pertama kami terjadi 3 tahun lalu, saat pertunangan sepupuku, Tedi
dengan pacarnya. Awalnya aku menolak hadir. Aku baru saja
putus dengan Nadya. Masalahnya sepele. Nadya menganggap aku terlalu cuek dan
lebih sering nongkrong dengan
teman-temanku daripada memerhatikannya. Susah payah aku membujuknya, namun dia
sudah lelah dengan hubungan satu arah. Akhirnya kami pun putus.
Sepanjang pesta itu, aku enggan
meladeni cewek yang berusaha menarik perhatianku. Tedi mati-matian
menjodohkanku dengan semua cewek kenalannya. Kami sudah bersahabat sepuluh tahun
sejak SMP, jadi aku memakluminya.
Di sana, saat aku
pura-pura ke toilet (aku menghindar dari incaran para cewek jomblo-sungguh menyebalkan), sosok
Debbie tampak berdebat dengan Lala, sahabatnya sejak TK. Tadinya aku cuek saat melintas
di depan mereka yang berdiri di sudut ruangan, namun langkahku terhenti
mendengar ucapan Debbie. Susah payah aku menahan tawa.
“Ya ampun, Deb. Susah
payah gue kenalkan elo sama sepupu gue yang super tampan, elo
malah sibuk makan di meja prasmanan.”
“Habis makanannya
enak-enak. Gue susah menahan diri kalo di depan gue ada makanan. Tenang saja. Sepupu elo nggak menganggur kok.
Tadi ada dua cewek yang mengajaknya kenalan.”
Lala menahan gemas. Dia
menjitak jidat Debbie dengan semangat menggelora. Debbie meringis kecut. “Elo itu pintar, tapi nggak peka. Masa elo malah memilih makanan daripada cowok sih?Mana ada cewek nggak
waras kayak elo.”
Debbie manyun. Bibirnya
lalu meliuk lucu. Aku benar-benar berusaha tak meledakkan tawa. Tampangnya
gabungan malas, sebal, dan kesal.
“Elo sih ngenalin gue dengan cowok cakep bertampang playboy.
Maaf kalo gue jujur. Dia bisa
mendapatkan cewek mana pun yang dia mau. Gue
nggak mau makan hati. Lebih baik gue
mundur sebelum itu terjadi. Sepupu loe
nggak rugi, kok. Justru gue yang rugi karena kehilangan
kesempatan mencicipi makanan enak.”
“Mencicipi makanan apaan?Dimata gue kelihatan elo makan
dengan rakus.”
“Berarti elo salah lihat. Mungkin seharusnya elo periksa mata ke dokter. Siapa tahu
minus. Gue cuma nyomot doank kok.”
Ampun
deh!Tawaku
meledak. Sumpah!Aku berjuang keras menahannya. Ucapannya itu sungguh menggelitik.
Keduanya menoleh. Tatapan mereka super heran.
Itulah awal pertemuan
kami. Tadinya kupikir kami tidak akan bertemu lagi. Ternyata takdir
mempertemukan kami lagi di pesta ulangtahun Arya, sepupu teman SMA-ku.
Kebetulan atau ini namanya takdir – entahlah - kakak Debbie adalah pacar Arya.
Maka, tanpa buang waktu, aku mendekati Debbie untuk mengajaknya ngobrol dengan modus menanyakan nomor
ponselnya.
Awalnya dia keberatan.
Alasannya membuatku tergelak. Sungguh. Itu alasan paling konyol yang pernah
kudengar.
“Loe serius mau minta nomor ponsel gue?”
Aku tersenyum mengangguk.
Debbie menghela napas berat. Rautnya seolah-olah mengatakan,”Nanti-elo-akan-menyesal-seumur hidup”.
“Memangnya kenapa?Tidak boleh, ya?Atau ada yang
marah?”
“Bukannya begitu. Elo kan belum tentu menelepon gue. Daripada nomor gue mubazir dalam phonebook
elo, lebih baik elo simpan nomor-nomor yang sudah pasti terpakai.”
Oke, wajahku jadi bengong
sejadi-jadinya. Percayakah kalian, bahwa nomor dialah yang pertama kali
kuhubungi setelah aku meninggalkan pesta ultah Arya. Reaksi Debbie?Tentu saja
kaget setengah mati. Tapi sumpah, kata-kata pembuka yang terlontar dari
bibirnya setelah ponsel tersambung dan aku mengucapkan hai adalah, “Maaf, nomor
anda tidak tercetak di phonebook
saya. Jadi pasti anda salah sambung.”
Aku menganga takjub
sebelum membalasnya. Entah mengapa, sejak mendengar kata-kata itu, mulai timbul
desiran aneh di dadaku. Aku bertekad ingin mengenalnya lebih dekat. Maka
mulailah aku gencar mendekatinya. Awalnya susah, apalagi dia tipe cuek dan selalu
meragukan keseriusanku. Coba tebak, apa katanya saat aku mengajaknya kencan?
“Kencan?Dengan elo?”
Aku mengangguk antusias.
Mata Debbie bersinar seolah tak percaya.
“Elo yakin?”
“Seratus persen.
Memangnya kenapa?”
“Lebih baik jangan. Elo pasti menyesal. Lagipula elo kan bisa mengajak siapa saja. Yang
ada juga gue yang rugi. Sepanjang
jalan dengan elo, gue bisa dimusuhi cewek-cewek. Wajah elo kan kelewatan gantengnya.”
Astaga!Aku tak bisa
menahan tawa. Perutku sampai sakit. Bisa-bisanya ada cewek seaneh dirinya.
Bahkan kencan dengannya juga unik. Serba makanan dan mainan. Kami selalu
berhenti di suatu tempat hanya untuk makan. Dan, jangan tertawa, ini benaran.
Sungguh. Belum pernah aku menyaksikan seorang cewek yang porsi makannya super
jumbo. Entah dia sengaja atau tidak membuatku il-fil. Aku justru makin penasaran.
Setelah 6 bulan - ya ampun - belum pernah selama itu aku
menaklukkan hati cewek, akhirnya dia setuju berpacaran denganku tapi ada syarat
dan ketentuan berlaku. Aku makin bengong saat dia menyodorkan surat perjanjian.
Masa pacaran saja perlu kontrak?
“Aku maunya, nanti kalaupun
putus, hubungan kita tetap baik. Aku malas bernasib seperti sepupu atau
temanku. Setelah putus, mereka malah saling benci. Bayangkan saja, ada yang
sampai menjelek-jelekkan pasangannya. Gila!Kemana rasa cinta mereka yang dulu
bersemi indah itu?”
Sekali lagi aku tertawa
terbahak-bahak. Entah sudah keberapa kalinya aku tertawa. Sepanjang bersamanya,
aku sering tertawa. Dia itu polos atau apa?Seolah-olah dia berasal dari planet
mana.
Setahun kebersamaan kami
juga tidak mulus. Beberapa kali keriki-kerikil tajam berusaha menggoyahkan
hubungan kami. Pernah dia cemburu karena ada cewek sekantorku yang
terang-terangan suka padaku. Dia mengabaikanku beberapa hari. Aku berusaha membujuknya
dengan menyodorkan sejuta alasan. Salahku juga sih memberi perhatian pada cewek itu, yang dianggapnya sebagai
bentuk cinta dalam hati. Di kala lain, gantian aku yang marah. Dia sering menomorduakan
aku dan lebih peduli pada sahabat-sahabatnya. Lucu juga. Kok aku malah cemburu sama wanita?
Ketika Debbie bertemu
pertama kali dengan orangtuaku, aku sempat ketar-ketir. Namun kecemasan itu seketika
mencair saat memandanginya akrab dengan orangtuaku. Mama dan Papa selalu sumringah
bila Debbie muncul. Anehnya, cuma aku yang sering diacuhkannya. Dia malah
sering melupakanku. Aku pernah curhat pada Lala, sahabatnya.
Lala malah terkikik geli.
“Itu tandanya elo orang yang paling
disayanginya lebih dari siapapun. Dari dulu sifatnya begitu. Mantan pacarnya
memutuskan dia karena itu. Tahu nggak,
dia mengalami kekosongan selama 2 bulan setelah diputusin.” Aku termangu, caranya aneh dalam mengungkapkan cinta.
Setiap perhatian kecil
darinya membuat hatiku melonjak kegirangan. Dia tak pernah absen mengirim SMS
setiap rindu menyergap hatiku, menitipkan bekal makan siang ke kantor melalui
kurir, memberi kejutan pesta ultahku dan kenangan manis yang lain.
Tanpa terasa tiga tahun
berlalu, aku menikmati setiap momen didekatnya. Keceriaannya, wajah
cemberutnya, tangis bahagianya, kecemburuannya, semua itu terpahat di hatiku.
Ketika tiba saat aku
melamarnya, aku susah payah merencanakannya seromantis adegan film-film. Lala
membantuku menipunya agar mampir ke kantor. Tedi tampak girang menghias
ruanganku dengan balon dan pernak-pernik. Dilla, kakak Debbie bersemangat
membuat kue dan memasang lilin. Orangtuaku dan orangtua Debbie bahkan luar
biasa bahagia dan menyemangatiku. Betapa aku bersyukur memiliki keluarga dan
teman-teman yang selalu mendukung kami.
Reaksi Debbie?Dia
terkejut sekaligus linglung. Dia meneteskan air mata haru sampai membuatku aku
kelabakan.
“Davi Pratama, sebelum
melamar, sebaiknya rundingkan dulu caranya denganku.”Katanya sambil terisak
tanpa henti.
Aku tersenyum geli. Lalu
merengkuhnya dalam dekapanku. Mana ada di dunia ini, dimana sang pria berunding
dulu dengan sang wanita tentang cara melamar?Kalau begitu, untuk apa
melamar?Sekalian saja tanya, mau pernikahan seperti apa.
Akhirnya, di sinilah aku.
Aku berdiri sambil mengamati persiapan untuk pernikahanku. Hampir rampung. Aku
tak menyangka kalau mempersiapkan pernikahan begitu luar biasa melelahkan.
Orangtuaku dan orangtua Debbie berkeras ingin pernikahan yang tak terlupakan.
Debbie setuju saja. Dia pernah berbisik pelan padaku setelah persiapan memasuki
minggu kedua.
“Gila, kenapa sih pernikahan harus ribet dan
melelahkan seperti ini?Tolol saja
kalau ada orang yang memilih bercerai lalu menikah lagi. Apa mereka nggak capek?Mengulangi kerepotan
pernikahan?”
Oke, aku cuma bisa
tertawa. Dalam hati bertekad, aku tidak akan membuatnya mengulangi ritual
pernikahan. Apalagi kalau sampai dia menikahi orang lain. Aku bergidik ngeri
memikirkannya.
Tedi menepuk pundakku,
membuyarkan lamunan yang membiusku. Rasanya aku sudah mengembara dari massa
lalu, masa kini dan masa depan.
“Orang yang elo puja setengah mati sudah datang.
Baru juga berpisah tiga hari, elo
sudah kangen berat. Elo punya penyakit cinta akut.”
Aku tergelak kecil. Sudah
tiga hari memang kami tak bertemu. Debbie mengunjungi neneknya di kampung
halaman. Dia berkeras ingin memboyong neneknya ke Jakarta. Namun, justru dia seolah
betah di sana, menghabiskan waktu sampai tiga hari. Aku terpaksa menelepon,
mengingatkannya. Dia malah cengengesan.
“Maaf, Dav. Sekedar
mengingat masa kecil dulu. Lumayan
buat refreshing dari persiapan
pernikahan.”
Yang benar saja. Dia
memang selalu mengejutkanku dengan cara-cara di luar normal. Kadang aku
merenung. Apa aku akan tahan kalau seumur hidup menghabiskan hari-hari
bersamanya?Dengan segala tingkah lakunya?Atau kebiasaannya?Termasuk segala
kekurangannya?Aku bisa saja mati tertawa. Atau malah suatu hari aku justru
sebal dengan sifatnya yang unik?
Namun saat aku melirik
sosoknya yang melintasi lantai ballroom
itu, aku tertegun. Dia tampak lebih cantik dan segar. Keceriaan tak pernah
lepas dari raut wajahnya. Aku meringis. Begitulah cinta. Tak peduli seaneh atau
seunik apa pun pasanganmu, perasaan itu tetap terpatri dihatimu. Aku ingin
lebih banyak lagi tertawa bersamanya. Melewatkan hari-hari sepanjang tahun
sampai usia kami mendekati senja. Musik di hatiku mengalun merdu.
Dia mengulum senyum
manis. Secercah sinar menyelimuti wajahnya. Menepis semua keraguan yang sempat
mengusik hatiku. Aku tersenyum lebar membalasnya. Daripada sejuta kecemasan
yang hinggap, ternyata keinginan untuk bersamanya jauh lebih menggelora. Toh selama ini, aku tahan-tahan saja dan
malah nyaman dengan keanehannya.
Aku meraih tangannya
setelah dia menghampiriku dan berdiri sambil menatap lurus mataku. Saat
menggenggam kehangatan jemarinya, aku diam-diam berdoa untuk kebahagiaan kami selamanya.
Tiga tahun berlalu, kami berhasil melewati masa-masa serba warna-warni. Masih
ada masa depan yang menanti kami di sana. Karena aku mencintainya sepenuh
hatiku. Dialah Love Raphsody-ku yang
menggema di hatiku.
No comments:
Post a Comment