Monday, October 31, 2016

Kebijakan Perpajakan : Tax Amnesty dan Reformasi Pajak

       
image : Google
      Tax Amnesty atau pengampunan pajak menjadi populer sejak Presiden RI Jokowi mencetuskannya pada awal tahun 2016 sebagai salah satu kebijakan agresif untuk menyelamatkan keuangan negara yang defisit. Pengertian Tax Amnesty adalah pengampunan atau pengurangan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan saksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak (www.lembagapajak.com). Secara umum, pengertian Tax Amnesty adalah kebijakan pemerintah yang diberikan kepada pembayar pajak tentang pengampunan pajak, dan sebagai ganti pengampunan tersebut pembayar pajak diharuskan untuk membayar uang tebusan. Dengan kata lain, semua denda keterlambatan atau utang pajak  akan dihapuskan. Adanya Tax Amnesty ini akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi karena pada dasarnya Tax Amnesty menghimpun dana dari masyarakat yang menjadi subjek pajak sehingga uang yang terkumpul akan dimasukkan sebagai kas negara dan digunakan untuk membiayai pembangunan ekonomi.
            Hingga September 2016, uang tebusan yang berhasil dihimpun pada Periode I Tax Amnesty sebesar Rp. 93 triliun dari target sebesar Rp. 165 triliun atau realisasinya mencapai sekitar 56,36 persen. Rendahnya uang tebusan ini menyebabkan pemerintah memperpanjang periode Tax Amnesty hingga Maret 2017. Sementara itu, repatriasi yang semula diperkirakan akan terkumpul sebesar Rp. 1.000 triliun, ternyata hanya mampu mendulang dana sebesar Rp. 137 triliun yang berarti masih sangat jauh dari target. Meskipun demikian, Tax Amnesty tetap sangat diharapkan karena program tersebut bagai “oase di tengah padang gurun”. Situasi fiskal negara sedang menghadapi defisit anggaran sehingga beban utang Indonesia meningkat sebesar 5,7 persen (dari tahun ke tahun) menjadi US$ 316 miliar pada akhir triwulan pertama 2016 dilansir dari Bank Indonesia. Hutang tersebut memiliki komposisi utang pemerintah sebesar 47,9 persen dan utang swasta mencapai 52,1 persen. Bila dilihat dari rasio utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir triwulan I 2016 tercatat 36,5 persen yang mengindikasikan bahwa utang luar negeri Indonesia masih tergolong aman karena berada pada kisaran 21 – 49 persen menurut Bank Dunia dan 26 – 58 persen berdasarkan IMF. Dengan adanya dana yang berhasil mengalir ke kas negara melalui program Tax Amnesty akan sangat membantu pemerintah dalam membiayai program-program pembangunan.
            Pada level regional, kas daerah masih ditopang suntikan dana dari pemerintah pusat hingga pemerintah pusat dibebani dengan kewajiban membantu anggaran pemerintah daerah. Penerimaan yang berasal dari pajak daerah masih tergolong cukup rendah, terutama wilayah-wilayah dai kawasan timur Indonesia. Sebagai contoh, Kota Sorong sebagai salah satu kawasan termaju di Provinsi Papua Barat pada tahun 2015 hanya mencatatkan penerimaan dari pajak daerah sekitar 25,33 persen dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sedangkan untuk retribusi daerah sebesar 17,11 persen. Secara keseluruhan, PAD Kota Sorong hanya sekitar 4,99 persen dari total pendapatan. Hal ini berarti APBD Kota Sorong sebagian besar bergantung dari dana luar, yaitu pemerintah pusat maupun hibah dari pihak ketiga. Pemerintah daerah perlu merumuskan kebijakan untuk meningkatkan PAD dan sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Salah satu sumber pendapatan yang memungkinkan adalah pajak daerah karena pajak tersebut dibebankan pada masyarakat di daerah itu sendiri dan tentu akan dikembalikan kepada masyarakat juga dalam wujud hasil pembangunan. Meski demikian, besarnya tarif pajak daerah seharusnya tidak memberatkan subjek pajak. Hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah daerah adalah sistem pajak daerah juga seharusnya direformasi agar bersifat adil dan akuntabel. Pajak daerah seperti pajak kendaraan bermotor, pajak hotel, bea balik nama, pajak reklame, pajak radio, pajak tontonan, pajak hiburan dan lain-lain menjadi kewenangan pemerintah daerah. Secara umum, tarif pajak yang diberlakukan biasanya bersifat progresif, artinya persentase tarif pajak semakin naik bila jumlah yang dikenakan pajak semakin besar. Besarnya tarif pajak daerah sendiri ditetapkan dengan PERDA (Peraturan Daerah).

Kebijakan Tax Amnesty berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Namun suatu kebijakan akan berhasil bila sistem perpajakan juga dibenahi. Mafia pajak harus diberantas hingga tuntas dan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak tepat waktu harus ditingkatkan. Penerimaan pajak yang tinggi merupakan bukti kemandirian suatu bangsa agar tak sepenuhnya dikendalikan oleh utang dalam bentuk apa pun. Boleh saja berutang, namun perlu diimbangi dengan kemampuan membayar yang tentu salah satunya sumber pendanaannya melalui pajak.

Pulang

Image : Google

         Dirga terdiam membisu. Dia menatap lama ponsel yang tergeletak di atas mejanya. Bunda memohon sambil menahan tangis yang menyesakkan dadanya. Dirga menyesali kesedihan yang mengguncang wanita yang melahirkannya itu. Meski ingin menghapusnya, Dirga justru merasakan kegalauan yang mengusik. Hati dan otaknya saling berperang.
            “Kakek akan meninggalkan kita semua. Tolong pulanglah segera.” Kata-kata Bunda terngiang lagi memenuhi kepalanya.
        Seminggu lagi Kakek akan merayakan ulang tahun ke-71. Beliau lahir tepat proklamasi kemerdekaan berkumandang ke seluruh negeri. Betapa bangganya Kakek buyut saat Kakek mengeluarkan tangisan pertamanya. Tanpa pikir panjang nama “Nusantara” pun disematkan pada diri Kakek. Nama yang justru memicu jiwa nasionalisme yang berakar kuat dalam sosok Kakek. Kakek tumbuh dengan pribadi konservatif yang keras dan disiplin pada anak-anaknya. Tak seorang pun yang berani menentangnya.
         Dirga menghembuskan napas panjang yang perlahan. Seakan keputusasaan telah menguasainya. Dia tak pernah menyukai bila berdekatan dengan Kakek. Beliau terlalu sering mengkritik setiap sikap dan keputusannya. Seperti saat dia lebih memilih bermain band daripada bertanding pencak silat. Atau mendengarkan musik Barat dibandingkan lagu-lagu dari penyanyi nasional. Kakek sering mencibirnya tak memendam rasa nasionalisme. Padahal dia satu-satunya cucu laki-laki yang akan mewarisi kehormatan keluarga. Kebanggaan gen nenek moyang yang menggariskan kecintaan tanah air dan sikap pahlawan.
            Dia sungguh tak menginginkan beban yang terasa menghimpitnya selama bertahun-tahun.
* * * * *
            Ruang bandara itu seakan menggempur otaknya. Dirga tampak enggan melangkah meski dering ponsel terus menerornya sejak menginjakkan kaki di Sorong. Bayangan masa kecil berkelebat, makin meresahkan hatinya. Sosok Kakek kian terbias jelas. Sosok pahlawan kecil yang dulu dielukannya.
            Langkahnya terhenti tiba-tiba saat menatap Bunda yang menghampirinya. Sorot matanya cemas bercampur gelisah. Ayah mengikuti dari belakang dengan senyum simpatik, sementara Rahayu, adik perempuannya yang sebulan lagi diwisuda melempar senyum cerah dengan binar semangat yang tak pernah padam.
            “Dirga, Kakek… Kakekmu…” Bunda susah payah menelan kecemasannya yang membuncah.
            Ayah mengusap bahunya lembut, berusaha menenangkan kepanikan Bunda yang akan meluap. Lalu ditatapnya Dirga penuh pengertian. Dirga menghela napas. Wajahnya letih setelah menempuh ribuan kilometer, perjalanan melintasi waktu ke kampung halaman yang telah ditinggalkannya selama lima tahun.
            Dirga memaksakan diri menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang terasa panjang. Terlihat wajah-wajah suram yang melirik kehadirannya. Lima hari lagi menjelang perayaan ulang tahun Kakek.
            Dirga menahan napas saat menyaksikan wajah Kakek yang terbaring pucat dengan selang infus di pergelangan tangan dan hidungnya. Napasnya berirama teratur. Meski kerutan menghiasi hampir seluruh wajahnya. Seketika kesedihan menghantam Dirga. Seolah Kakek Nusa telah terhisap dalam lingkaran waktu.
            “Aku sudah datang, Kakek.” Bisik Dirga lirih.
            Untuk pertama kalinya perasaan bersalah menyelimutinya. Kakek dalam memorinya takkan terlihat lemah dan terbujur tanpa daya. Kakek yang sering memarahinya bila dia berbohong atau lalai. Kakek yang selalu memaksanya ikut menyanyikan lagu-lagu nasional yang baginya terasa membosankan hingga Kakek tak segan menyindir pudarnya nasionalisme dalam nadinya. Kakek yang selalu bercerita tentang perang meraih kemerdekaan hingga pembebasan negeri dari ketidakadilan penjajah. Dirga sungguh berharap, suatu hari dia akan meraih mimpi, jauh dari Kakek dengan rasa nasionalisme dan idealismenya. Semua mulai menggelisahkannya.
            Melintas dalam bayangannya, Kakek berdiri dengan raut kemarahan yang memancar dan terasa membakar sekujur tubuhnya. Dirga hanya tertunduk sambil meremas-remari jemari kecilnya yang berkeringat. Hanya sekali dia melewatkan upacara tujuh belasan selama 13 tahun tumbuh dalam didikan Kakek yang semi militer. Kakek adalah mantan panglima yang pernah berjuang melawan kematian dalam pembebasan Irian Barat dari kekuasaan Belanda. Kakek yang mewarisi darah pahlawan dari Kakek buyut yang mengabdikan seluruh jiwa raganya demi kehormatan dan medali TNI. Sayangnya Kakek tak dianugerahi putra yang akan meneruskan jejak itu karena Om Panca meninggal dunia dalam kecelakaan motor ketika umurnya 17 tahun.
            Obsesi Kakek pada kehormatan dan kebanggaan bangsa membuat Dirga tertekan. Dia bahkan menolak mati-matian saat Kakek menginginkannya menjadi tentara atau perwira angkatan laut. Bunda, putri sulung Kakek bahkan memohon Dirga untuk mengiyakannya. Pada akhirnya Dirga kabur dari latihan pertama setelah lulus tes masuk tentara dan memilih kuliah jurusan informatika di Jakarta. Betapa kecewanya Kakek hingga memutuskan mengabaikan sosoknya selama tiga tahun pertama.
            Hingga kini, Dirga tak menyesali keputusannya. Dia bahkan sukses mendirikan perusahaan indie untuk networking dan arsitektur komputer setelah lulus kuliah. Namun saat memandang sosok Kakek dengan segala guratan masa lalu, perlahan kebekuan hatinya mencair. Tak terlihat lagi sosok gagah Kakek yang penuh semangat saat mengenang masa perjuangannya. Kakek yang telah melewati masa-masa penantian kebebasan total yang menggerogoti masa mudanya. Kakek yang akan selalu menjadi sosok pahlawan yang dibanggakannya.
            Tiga hari menjelang ulangtahun Kakek, Dirga termangu diam memandangi seisi kamar Kakek. Di dinding kamarnya tergantung foto-foto hitam putih yang telah dipulihkan dari sisa-sisa usia. Tampak lambang burung garuda membentang gagah di atas tumpukan foto. Peta Indonesia ukuran spanduk yang memenuhi dinding tepat di atas kasur. Sementara bendera merah putih terikat tegak di sudut kamar. Kakek juga memajang barisan gambar pahlawan yang berderet di dinding dekat pintu.
Dirga seolah menelusuri lorong waktu saat menjelajahi kamar Kakek. Dia tertegun lama di depan sebuah foto usang yang tampak berdebu di atas meja. Foto tawa bangga Kakek saat merangkul dirinya yang terpilih menjadi salah satu petugas Paskibraka tingkat provinsi dalam upacara perayaan 17 Agustus tepat 15 tahun lalu. Saat itu dia hanya remaja 16 tahun yang mengagungkan sosok Kakek. Kini sosok itu seakan memudar seiring waktu.
Kakek selalu menyalahkan zaman yang seolah kejam hingga mengikis kesadaran generasi muda seperti Dirga. Kakek sungguh tak menyukai selera Dirga dalam bermusik maupun dalam memandang kebebasan. Terkadang perdebatan mereka terasa menegangkan hingga Dirga memilih diam dan pergi. Sudah lima tahun dia enggan menelepon Kakek meski Bunda telah membujuknya mati-matian.
“Kakek sudah tua, Dirga dan kamu satu-satunya cucu yang sangat dibanggakannya. Tolong maafkan Kakek dan maklumi semua pandangannya. Kakek sudah melalui saat-saat berat dalam zamannya.”
Lagi-lagi helaan napas berat. Dirga merenungkan kata-kata Bunda. Sebuah tepukan halus menyentak kesadarannya. Ayah berdiri sambil menyunggingkan senyum lembut. Dirga membalas senyumnya.
“Kakek luar biasa, kan?” Ayah melipat tangan di dada. Tatapannya lurus.
“Dirga, Kakek lahir di masa-masa negara ini berusaha mempertahankan kemerdekaannya. Sisa-sisa ambisi Belanda, pemberontakan kaum separatis sampai pengkhianatan terhadap undang-undang. Bagi Ayah, Kakek adalah sosok yang luar biasa. Tak terhitung betapa banyak tangisan atau kesedihan yang telah disaksikannya. Mungkin itu yang membuat Kakek membenci zaman yang berubah drastis.”
“Ayah yakin, Kakek hanya tak ingin kamu kehilangan jati dirimu sebagai anak bangsa. Dia pasti berharap kamu akan mewarisi kecintaan dan kebanggaan akan tanah air kita. Kamu harus bangga dan itu tidak akan lekang oleh waktu. Generasi kalian seharusnya tetap mempertahankan kebanggaan itu. Bagaimana pun, nasionalisme adalah jati diri sejati. Itulah gambaran dirimu bagi Kakek.”
Dirga terdiam membisu. Berusaha meresapi setiap kata-kata Ayah. Di belakang Ayah, seolah-olah Kakek berdiri sambil menatapnya dalam. Dirga merasakan dirinya tersedot dalam sinar mata Kakek yang tajam dan menusuk. Tatapan yang selalu membuatnya seolah tertuduh. Perasaan bersalah membanjiri pikirannya.
Namun sejurus kemudian, perlahan-lahan senyum Kakek mengembang. Sinar tajam itu menghilang, berganti cahaya kebanggaan yang seketika membuat dadanya sesak oleh keharuan yang memuncak.
“Selamat pulang ke rumah. Kakek bangga padamu.”

Dirga susah payah membendung rasa haru yang melandanya. Dia terkenang tatapan Kakek yang bangga dan tawanya yang lebar bertahun-tahun lalu. Bila Kakek sudah bangun dari tidur panjangnya, dia akan meminta maaf akan keegoisannya dan berjanji akan membanggakan Kakek dengan caranya sendiri. Kakek yang amat mencintai dan bangga akan negeri dan tanah airnya.

Sunday, August 28, 2016

Elegi dan Wallpaper Senja

             
Aku merutuk kesal. Berkali-kali aku melirik jam tangan yang seolah menyuarakan ejekannya. Bisikan sisi jahat terus membujuk sambil memanas-manasi gumpalan kemarahan yang memang sejak tadi kutahan. Dua jam penantian sia-sia. Si Jabrik Tulen, julukanku pada Rio kalau sedang kesal, tak seharusnya menelan semua dopamin yang bersemayam dalam hatiku.
            Batinku berkecamuk. Dua suara berlawanan terus mengacaukan sistem otakku yang sedang berpikir keras. Aku pun meluapkan kekesalan, tak memedulikan tatapan kaget orang-orang yang sedang menunggu di halte bus.
            Satu, dua, tiga aku terus menghitung detik demi detik sebelum lima menit berlalu. Detik kesepuluh, sosok yang kunanti sejak jam sepuluh akhirnya muncul dari seberang sambil berlari-lari panik. Dia jangkung kurus, bermata sipit segaris, kulit yang putih pucat dengan rambut jabrik karena kelebihan gel rambut. Kadang aku aku mengejek rambutnya sampai wajahnya cemberut total.  
            Aku melipat tangan di dada. Rio berdiri di depan sambil mengatur napasnya, persis ikan mas koki yang minum air.
            “Maaf, Em. Tadi si Geng Berat minta tolong memeriksa kerusakan PC. Mereka mau main PS seharian tapi tiba-tiba PC troubleshooting.”
            “Jabrik, sudah berapa kali sih kamu dimanfaatkan mereka di hari Sabtu?Ini yang ke-49 kali sepanjang tahun ini, kamu hampir membatalkan rencana kita.” Pekikku histeris.
            Rio menatap memelas. Dia sampai menyatukan tangannya, meminta maaf sambil menundukkan kepala. Aku menghela napas kesal. Maklum, hari ini kami janjian mengunjungi Kakek Rustam di Panti Jompo. Sudah setahun terakhir, kami berteman dengan Beliau saat masih kerja sebagai sukarelawan. Aku ingin menumpahkan amarah, namun tampang memelas Rio selalu sukses membuatku goyah.
Sebenarnya Rio dihukum Tante Ira, mamanya menjadi sukarelawan gara-gara membohonginya. Aku menemaninya sebagai bentuk solidaritas sejati. Semua berawal dari sekitar setahun lalu, Rio berjanji akan mengunjungi Oma Sandra, neneknya di Cibubur dan menginap di sana selama libur semester. Ternyata dia justru berkelana ke Gunung Rakutak bersama teman Klub PA di hari kelima. Dia membohongi Oma. Naas, seminggu kemudian Oma terserang stroke dan meninggal dunia. Betapa terpukulnya Rio dan keluarganya. Padahal Tante Inggrid yang tinggal bersama Oma sedang dinas ke luar kota.
            Aku takkan pernah melupakan wajah Rio yang syok. Seharian dia hanya menatap kosong dan linglung, persis pasien Demensia yang dirawat Ayah. Selesai pemakaman, dia tak beranjak dari peristirahatan terakhir Oma. Bahkan saat aku menepuk-nepuk bahunya, dia tetap menahan tangis yang kuyakin nyaris melumpuhkan dadanya.
* * * * *
Lagi-lagi aku menunggu kehadiran Rio. Hari ini kami janjian akan ke peluncuran novel baru karya novelis favoritku. Tadi dia menelepon sedang berkutat dengan persiapan Pentas Seni Tahunan. Kebetulan Rio dipilih sebagai sekretaris BEM. Aku benar-benar kasihan padanya. Sejak SMP, Rio adalah orang paling populer sejagat. Tampangnya tergolong pas-pasan, pendapatku yang memang hanya tertarik bersahabat dengannya. Kami sudah bertetangga sejak kecil. Dari TK sampai kuliah, kebersamaan kami seolah abadi. Aku selalu melewati hari-hari penuh warna bersamanya hingga aku seakan mampu membaca perasaan yang terukir di hatinya.
Rio adalah sosok teman yang menyenangkan, humoris dan pintar bergaul. Berbeda denganku yang santai dan cuek, Rio tak pernah mengabaikan siapapun yang membutuhkannya. Dari Senin hingga Minggu, dia selalu memiliki jadwal padat. Aku bahkan harus memaksanya untuk menemaniku. Tante Ira saja sering mengeluhkan kesibukan Rio yang segudang. Tak hanya itu, entah sudah berapa banyak temannya yang berkunjung ke rumah. Dari teman main PS sampai kenalan dunia maya.
Sejujurnya, aku sedih sekaligus iba pada Rio. Hingga kini, aku lebih suka sosok Rio yang tumbuh dengan dua kakak perempuannya yang paling suka mengusilinya. Sementara aku tertekan dengan perlakuan protektif dua kakak laki-lakiku. Cuma Rio satu-satunya sahabat yang kuandalkan. Namun memasuki kuliah, Rio perlahan-lahan disibukkan dengan aktivitasnya yang seabrek. Pada akhirnya aku merasa ditinggalkan. Bunda sering berkelakar kalau aku adalah Wallpaper dan Rio sebagai Desktop-nya. Maklum, Bunda adalah pakar IT di kantornya sekaligus Master IT si Rio.
Dering ponsel membuyarkan lamunanku yang mengembara. Di layar terpampang nama “Jabrik Tulen”. Seperti dugaanku, janjian kami batal. Persiapan seni menguras waktunya seharian. Meski aku mengomelinya, dia hanya tertawa meminta maaf. Aku tak mampu membencinya tapi aku sangat tak menyukai kepopulerannya yang memuncak.
Sejurus kemudian, aku tergelak geli. Posisi kami telah tertukar. Dulu saat SD, akulah si Populer yang super aktif dalam semua kegiatan sekolah. Sedangkan Rio adalah si Penyendiri yang terhimpit dalam rubik ciptaannya. Dia tak pernah nyaman berteman dekat dengan siapa pun selain aku. Maklum, dia tumbuh kesepian saat orangtuanya sibuk bekerja. Akulah yang susah payah menyeretnya keluar dari dinding penjara imajinasinya. Aku juga menyemangatinya untuk aktif bergaul. Kini, siapa yang akan percaya, Rio si Introvert telah bertransformasi total menjadi si Populer Tulen.
Dua minggu kemudian, aku harus menelan keenggananku, menyambut perayaan ke-20 tahun aku dilahirkan ke dunia. Bunda tak menggubris pintaku untuk membatalkan acara ultah. Bahkan aku juga terpaksa ikut membantu Bunda memasak. Tante Ira amat antusias membantu kami seharian.
Aku menelan ludah saat bolu labu kukus, kesukaanku dan Rio menebar harum menggoda. Saat aku ingin mencolek kelembutannya, Bunda spontan melancarkan pelototan mautnya.
“Emi, kuenya baru bisa dimakan tiga jam lagi. Kamu sudah telepon Rio?Dia bisa datang nanti, kan?”
Aku cemberut. Ini sudah ketiga kalinya Bunda menanyakan Rio.
“Katanya dia masih rapat SEMA. Mereka mau membahas acara Perpisahan Alumni.”
Alis Bunda terangkat. Tante Ira muncul dari arah dapur.
“Jangan tanya lagi, Lia. Si Rio itu sudah lebih sibuk daripada pejabat daerah. Aku saja jarang ketemu dia. Setiap hari dia pergi pagi dan pulang malam.”
Aku mendesah resah. Kesibukan Rio sudah kelewat batas. Apa menjadi populer lebih bermakna daripada kebersamaan dengan keluarga dan sahabatnya?
Aku tersentak kaget saat dering ponsel memporak-porandakan lamunanku yang terajut. Bunda cepat mengangkat ponselnya dan bergegas ke arah depan. Aku menoleh ke arah Tante Ira yang sibuk menuang sup ke dalam mangkuk besar. Rona wajahnya membiaskan kesedihan.
Aku pun menekan nomor Rio. Berharap meski sia-sia, dia akan menjawab ponselnya.
“Ya, halo?”Suara seorang gadis. Aku mengernyit heran. Keraguan menyelimutiku.
“Ini bukannya ponsel Rio Dericko?”
“Ya, ini dengan Juni, temannya di SEMA. Tadi si Rio minta ijin pulang. Dia buru-buru sampai lupa ponselnya ketinggalan di atas meja ketua. Katanya hari ini ada acara spesial sahabatnya yang tidak boleh dilewatkan.”
Keharuan tiba-tiba menyeruak. Aku menahan perasaan bahagia bercampur bangga. Ternyata aku tak terlupakan sama sekali. Saking terharunya, tanpa sadar aku menyenggol piring kue yang tergeletak di ujung meja. Piring itu pun pecah berkeping-keping menghantam lantai. Bukan aku saja yang kaget, Tante Ira dan Bunda buru-buru masuk ke dapur disusul Bibi Inem yang latah melontarkan suara.
Bunda mengomeli pikiranku yang mengembara tak jelas. Tante Ira menatap prihatin sambil bergegas menyelamatkanku yang masih tak pulih dari kaget. Entah mengapa kecemasan menyerangku bertubi-tubi. Jantungku berdetak kencang seolah ingin berlompatan. Aku masih linglung dengan tatapan mata yang kian kabur. Bunda dan Tante Ira sampai cemas dan mengguncang badanku. Mendadak yang terlintas di benakku adalah sosok Rio.
Firasat aneh itu akhirnya melumpuhkan duniaku seketika. Telepon seseorang mengabarkan sosok Rio yang berpulang ke haribaan setelah menghembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan ke rumah sakit. Motornya bertabrakan dengan truk yang melaju kencang dari arah berlawanan. Supir truk itu mengantuk hingga truknya menghantam motor Rio. Kami bahkan kehilangan dirinya sebelum sempat mengucapkan kata-kata.
* * * * *
Aku terhenyak saat memandang wajah-wajah asing yang membanjiri pemakaman Rio. Kesedihan mereka nyata terpancar hingga membuat dadaku sesak. Aku telah kehilangan sahabat terbaik yang selalu menghiasi hari-hariku. Aku seakan tak mampu menopang sekujur tubuhku yang lunglai. Tak ada kata-kata terucap yang mampu melukiskan kesedihan yang melandaku.
Tangisku pecah saat seorang teman Rio mengucapkan kata-kata belasungkawa yang paling menyentuh. Kuakui, ternyata kehidupan super sibuk Rio membuahkan hasil. Rumah besar Rio bahkan penuh sesak orang-orang hingga ke halaman dan luar pagar rumahnya. Tak hanya aku yang sangat kehilangan dia. Benar kata Bunda, Rio adalah “pusat dunia”, Desktop yang terus memenuhi layar. Sementara aku si wallpaper yang dapat diganti kapan pun. Aku tak peduli. Aku tahu, Rio meraih kepopulerannya susah payah dan ketulusan tanpa henti.
Sayup-sayup aku meresapi elegi yang menenggelamkan kesedihanku. Kesedihan ini takkan sirna dalam beberapa hari. Aku akan mengenang si “Jabrik Tulen” yang mewarnai duniaku dengan kebaikan hatinya. Aku bahkan menyesali perdebatan kami yang memanas dalam tiga bulan terakhir hanya gara-gara kepopulerannya yang mengganggu.   
Sebulan lamanya aku berkubang dalam kesedihan. Hari-hariku terasa sepi tanpa tawa dan keusilan Rio. Aku seakan-akan membayangkan siulan dan teriakannya dari pintu pagar rumahku. Di kampus, aku menemukan beberapa orang yang masih mengenang sosok Rio. Bahkan Geng Berat, anak SEMA dan anggota BEM sering menyapa bila berpapasan denganku. Mendadak aku terkenal gara-gara Rio selalu membanggakan semua kelebihanku. Sedikit demi sedikit aku dapat berbagi kesedihan tentang Rio pada teman-temannya.
Tante Ira dan Om Budi akhirnya memutuskan pindah ke Jogja. Sehari sebelum pergi, Tante Ira menyerahkan sebuah diari. Diari itu ditemukan saat Tante Ira membereskan semua peninggalan Rio. Aku berjuang menahan air mata saat beradu tatap dengan sinar kesedihan yang terpancar di wajah Tante Ira yang tak bercahaya. Pelukan darinya terasa meremukkan hatiku.
Akhirnya aku menyepi di kamar untuk membaca diari coklat milik sahabatku. Untuk pertama kalinya, ketegaran yang kuperjuangkan selama beberapa hari runtuh oleh seuntaian ungkapan Rio sehari sebelum hari ultahku. Dia ternyata tak benar-benar mengabaikan aku, sahabatnya. Meski teman-teman yang tak terhitung banyaknya mengitari dan menyenangkan harinya, bagi Rio aku adalah sosok sahabatnya yang tak tergantikan.
Dear diari, besok adalah ultah si Emi yang Baik Hati. Aku sudah diam-diam menyiapkan kado untuknya. Aku juga ingin meminta maaf padanya. Kurasa aku terlalu sibuk padahal dulu aku berjanji akan menjadi sahabat terbaiknya. Tiga bulan ini terasa tidak nyaman karena kami berdebat terus. Dia pasti tidak tahu, kalau gara-gara dialah aku mau bergaul dengan orang-orang dan menjadi populer. Kurasa dia lupa kejadian saat kelas 6 SD. Dia yang memaksaku ikut Pramuka, klub bulutangkis, kelompok belajar dan entah apa lagi. Menurutnya, suatu hari nanti semua orang di dunia akan menyukai kehadiranku bila aku mau berteman dengan dunia.”
Dear diari, mungkin menyenangkan bila dunia menyukaiku dan aku menjadi orang tenar. Tapi mengapa aku masih merasakan kesepian yang hampa. Cuma Emi yang sepenuhnya memupuskan kekosongan itu dan menerimaku tanpa kepalsuan. Dia sahabat terbaik, bukan?Semoga dia akan tersenyum menyambut kadonya besok. Aku juga akan memikirkan prioritas hidupku, bukan lagi mengejar ketenaran yang sia-sia. Seperti kata-katanya waktu itu.”
Aku menggigit bibir. Tak mampu membendung air mataku yang mengalir lembut. Aku membiarkan kesedihan itu bergulir seakan tanpa batas. Untukku, Rio-lah si wallpaper yang memancarkan keindahan tiada akhir. Bahkan dia bak senja yang selalu membiaskan garis-garis cahaya yang memancar dan memesona siapa pun yang memandangnya hingga kegelapan malam perlahan-lahan menelannya. Akhirnya aku berdamai dengan kesedihan yang menyiksaku selama ini.

Terbayang wajah Rio yang mengedip jahil. Elegi dengan melodi indah mengalun.

@copyright 2016, Memori di Bulan Agustus, ElfryantyNLT

Monday, June 20, 2016

Cinderella dan Pengagum Misterius

            Dua bulan lalu …
Aku berlari tergesa-gesa sambil memeluk buku-buku diktatku. Hari kuliah yang tak kunantikan. Semalam aku menghabiskan waktu menyusun bahan pelajaran untuk Edi, anak tetanggaku yang sudah tiga bulan kuajari Bahasa Inggris. Aku berusaha tak memikirkan keletihan yang sering menyergapku. Kehampaan dalam hatiku yang lebih meracuniku.
            Napasku terengah-engah saat berhasil memasuki bus kampus yang cukup sesak dengan beberapa mahasiswa. Aku berdiri, hampir menyenggol lengan seorang cowok yang sibuk mendengarkan musik dari ponselnya.
            “Maaf.”
            Belum sempat menemukan keseimbangan kakiku, bus kampus mengerem mendadak karena ada motor yang mendadak melintas di depan. Aku terdorong ke depan hingga buku-buku diktatku berhamburan jatuh. Aku menubruk lengan kiri cowok yang berdiri di sebelahku. Sesaat dia spontan menahan tubuhku hingga aku tak perlu terkapar sambil menahan malu.
            Aku tertunduk meminta maaf berkali-kali. Aku nyaris meluncurkan umpatan kasar. Tak seharusnya pengendara motor ugal-ugalan tanpa peduli keselamatan orang lain. Sementara dalam kamus kehidupanku, kesopanan dan kebaikan hati telah mengikat tubuh dan jiwaku. Aku adalah Emi, si Putri Baik Hati. Tak ada yang istimewa dariku dibandingkan Mae, si Putri Jenius dan Emma, si Putri Cantik.
            Aku memeluk diktatku sambil melamun sedih. Ingin rasanya aku menghilang dari rutinitas membosankan yang melelahkan. Meski orangtuaku terkenal baik hati, namun sikap keduanya seolah mengabaikan sosokku. Selama 19 tahun, rasanya menyesakkan dibayangi sosok kedua kakak perempuanku yang sempurna. Aku berusaha menahan luka yang terpendam. Berpura-pura tersenyum seakan tak satu pun beban yang menghantuiku. Bagiku jam-jam yang kuhabiskan di perpustakaan kampus berhasil menjauhkanku dari kekosongan yang menghantuiku hari demi hari.
            Aku meneriakkan suara sekencang mungkin saat bus kampus melewati ruang fakultas Sastra Inggris. Jantungku berdetak kian cepat. Napasku memburu. Terasa risau dan rasa takut saling berkejaran menekan otakku. Mengirimkan sinyal yang semakin melumpuhkan hatiku.
            Aku menerobos sebuah ruangan yang senyap hingga bunyi napas pun terdengar tertahan. Pak Indra, Dosen Pengantar Sastra berdiri di depan kelas sambil menatap dingin. Aku cepat-cepat membungkuk sambil melontarkan maaf berkali-kali. Rasanya kata “maaf” telah terukir dalam otakku dari kecil. Betapa melelahkannya terus meminta maaf. Di rumah, aku paling sering meminta maaf bila Ayah atau Bunda terlihat ingin menyalahkan seseorang untuk segala hal yang merisaukan hati keduanya. Hanya Mae dan Emma yang selalu menuai pujian. Bila keduanya mengalami kekecewaan atau kekalahan, Ayah atau Bunda akan berlomba-lomba menghibur dan menghadiahi macam-macam. Sebaliknya, aku si Tak Terlihat harus berjuang meraih perhatian keduanya, meski selalu berujung kecewa.
            Entah mengapa setiap kelulusanku, Ayah maupun Bunda seolah sibuk. Ayah adalah Profesor Matematika yang kesohor, sedangkan Bunda bekerja di perusahaan percetakan terbesar di Bandung. Mae mewarisi kepintaran yang tak terhingga dari Ayah, sementara Emma dianugerahi kecantikan luar biasa dari Bunda. Aku, si bungsu tak menuruni gen cerdas maupun cantik. Aku bahkan harus mati-matian belajar ilmu eksakta meski membencinya seumur hidup. Hanya Lala, sahabatku sejak SMP yang selalu menyemangatiku agar menekan rasa minder yang tak kunjung berhenti mematikan harapanku. Meski berbeda jurusan, Lala sering menghabiskan waktunya bersamaku.
            Sebulan lalu …
Usai kuliah, seperti biasa, aku tergesa-gesa menyusuri lorong kampus. Dari kejauhan, Lala melambaikan tangannya. Kami janjian bertemu di depan “markas” abadi kami, perpustakaan kampus.
            Di dalam perpustakaan yang lengang, kami pun duduk di pojok ruangan dekat lemari bertuliskan “Filsafat”. Lala, sambil menatap serius, setengah berbisik, “Em, si Aldi barusan putus dengan pacarnya. Gimana kalau kamu mendekati dia duluan sebelum orang lain merebutnya?Dia kan pengagum rahasiamu.”
            Aku menghela napas panjang. Lalu memutar bola mataku dengan gaya dramatis. Seraya membalas tatapan Lala, aku menggeleng tak percaya. Aldi, si Pangeran Kampus begitu julukannya. Wajahnya ganteng dengan postur kurus tinggi dan senyuman maut yang mampu melelehkan para cewek. Belum lagi orang tuanya Direktur bank swasta dan pemilik butik terkenal. Tak dapat dibayangkan Aldi, si sosok sempurna yang diidamkan siapa pun menghujaniku dengan puisi-puisi cinta.
            “Jangan bercanda dengan tampang serius begitu, La.”Kataku sambil tersenyum masam.
Lala terkikik geli. Beberapa orang mendelik ke arahnya. Spontan Lala menutup mulutnya. “Bulan depan kan UKM PA mau rapat tentang liburan akhir semester. Pokoknya kamu harus ikut acara kemping.”
Lagi-lagi aku menghela napas panjang. Honor mengajarku belum cair. Iuran acara kemping lumayan menguras kantong. Tak mungkin aku memelas pada Ayah Bunda. Seperti biasa, mereka pasti tampak enggan sambil melontarkan sejuta pertanyaan. Pada akhirnya mereka akan beralasan kemping hanya membuang waktu. Sejak dulu Ayah Bunda tak pernah tertarik dengan semua kegiatanku. Sikap keduanya berubah seratus delapan puluh derajat bila Mae atau Emma yang membujuk. Terkadang kurasa akulah Cinderella versi modern, meski tak memiliki Ibu tiri atau saudara tiri. Sebenarnya Tante Devi pernah membocorkan rahasia saat aku menangis memohon-mohon. Ketika aku lahir, Ayah Bunda merasakan kekecewaan yang pahit. Mereka mengharapkan kehadiran anak laki-laki. Sejak umur 14 tahun, aku berhenti memprotes Ayah Bunda. Aku mematikan jiwa pemberontak yang menggelora sejak sosoknya seperti dianggap bayangan.
Lala menatap simpatik. Dia membuang napas seirama denganku. “Oke, nanti aku pinjamkan uangnya. Tidak mau tahu. Kamu harus ikut.”
Perasaan bersalah seketika menyesakkan dadaku. Terbayang sosok memelas Lala yang kesekian kalinya membujuk orangtuanya, terutama ibunya yang suka menceramahinya soal betapa langkanya uang dan perlunya mewaspadai pemborosan uang. Meski berusaha menolak, nyatanya Lala keras kepala. Pelototan mautnya membuatku menyerah kalah.

Image : Google
* * * * *
            Di hari rapat UKM PA (Pecinta Alam), aku dan Lala memilih duduk paling pojok. Menyepi dari hiruk pikuk anggota lain. Kami sibuk menyusun rencana. Saat ingin mencatatnya dalam agenda harian, aku tiba-tiba tersadar. Agendaku sudah dua bulan menghilang.  Meski aku berusaha mencarinya hingga putus asa, agenda itu tak terlihat dimana pun. Lala mengomeli memoriku yang setara dengan Pentium Satu. Entah sudah berapa macam barang yang hilang secara misterius dari kehidupanku. Ralat, sebenarnya jaringan memori di otakku berkapasitas terbatas hingga tak ada memori yang awet tersimpan.
            Saat kami sedang berdebat dalam setengah bisikan, seseorang menepuk puncak kepala kami dengan buku. Kami pun meringis kompak dan mengangkat kepala. Aku tertegun. Sosok Davi, si Ketua PA sedang meluncurkan tatapan laser. Sejak pertama kali bertemu, si senior itu bersikap dingin. Tak salah dia dijuluki Pangeran Es. Meski tampan dan jangkung, dia jarang tersenyum. Tatapan matanya agak sinis dan tajam membara.
Sialnya, aku pernah tidak sengaja menyiram wajah dan seluruh tubuhnya saat acara Ospek UKM PA. Salahnya sendiri, tiba-tiba melintas saat aku mengira tak ada orang dan langsung membuang air beras yang kutampung. Sejak itu, aku jadi gugup ketakutan bila bertemu muka. Tak kusalahkan bila dia dendam. Aku juga pernah menyodok hidungnya dengan gagang sapu ijuk saat acara baksos kampus. Dia bahkan pernah terhantam pintu saat aku membuka ruangan UKM PA.  
Aku benar-benar menyesali deretan “dosa” yang tak sengaja itu. Kalau bukan karena Aldi, sosok yang membuatku jatuh cinta sejak pertama kali ikut Ospek kampus, aku akan mencoret UKM PA dari daftarku. Aldi yang menyapaku saat aku kebingungan menyusuri kampus untuk menemukan gedung auditorium. Senyumnya benar-benar menghipnotisku. Menghancurkan gumpalan beban yang menghimpitku bertahun-tahun.
Lamunanku mendadak buyar saat Lala menyikut lenganku. Memori manis saat bersama Aldi pun berhamburan. Aku memandang Lala yang mengedipkan sebelah matanya ke arah depan. Kuikuti tatapannya. Aku meneguk ludah. Si Mata Laser, Davi memanggil gemas namaku. Seketika semua pasang mata menoleh ke arahku. Bahkan tatapan Aldi membuatku sesak napas. Wajahku memerah. Aku pun meminta maaf sambil menunduk.
Kesedihanku perlahan mencair saat memandang sepucuk surat yang tersimpan di dalam tasku. Sudah dua bulan aku menerima surat misterius yang selalu menghiasi hari-hariku. Awalnya, surat itu kutemukan di atas tasku saat ketiduran di ruang perpustakaan kampus. Aku memandang Aldi, yang sejurus kemudian seakan sadar ditatap. Dia melirik ke arahku sambil tersenyum. Aku jadi grogi. Buru-buru kumasukkan surat itu ke dalam tas. Aku mencurigai dialah pengagum rahasiaku sejak tiga minggu lalu. Saat di perpustakaan kampus, aku tak sengaja mengintip sosoknya yang serius menulis sesuatu di atas secarik kertas. Setelah itu beranjak pergi ke arah lemari perpustakaan. Penasaran, aku pun mengintip tulisannya. Syok campur tak percaya saat membaca deretan puisi yang isinya persis dengan puisi yang dialamatkan padaku.
Terbayang semua kejadian yang menghadirkan sosoknya. Saat aku ketiduran dengan sepucuk surat yang ditinggalkan, hanya dia yang membaca buku di perpustakaan. Ketika aku kelelahan sehabis uji coba pendakian, kulihat dia berjalan ke arahku sambil tersenyum. Setelah aku mengambil tasku yang tergeletak di ruang UKM, sepucuk surat melayang jatuh. Baru-baru ini, Lala menangkap sosoknya yang menyelipkan surat saat aku ketiduran dalam ruang kelas yang sepi.
“Em, acara kemping akhir semester ini bisa jadi takdir. Jangan sampai kesempatan langka itu lolos. Sudah dua bulan si Pangeran Aldi bersembunyi dalam label Pengagum Rahasia.”Bisik Lala dengan semangat berapi-api.
Aku pun mengangguk mantap. Dua minggu lagi acara kemping akhir semester. Pada puncak acara, akan ada sesi “Pengakuan”. Semua anggota bebas menumpahkan unek-uneknya. Bahkan rumor beredar, lima tahun berturut-turut, selalu ada pasangan yang tercipta gara-gara pengakuan cinta. Aku bertekad akan mengukir sejarah. Akan kunyatakan perasaanku pada si Pangeran Kampus. Aku tak ingin seperti “Putri Duyung” yang mengharapkan si Pangeran datang atau Cinderella yang menunggu pangeran yang menjemputnya.
Di hari kemping, dua jam sebelum sesi “Pengakuan”, aku berusaha menenangkan debaran jantungku yang berloncatan kacau. Kami sedang menyantap makan malam. Lala sekali lagi berbisik meyakinkanku. Aku bahkan sudah menghapal puisi yang semalaman kutulis. Tak seorang pun yang akan menyangka kalau sosok yang mengetuk hatiku adalah si Pangeran Aldi. Hanya dia yang akan tahu karena dialah yang menulis puisi untukku. Aku hanya membalik kata-katanya.
Setelah satu per satu mengungkapkan perasaan, aku meringis kesal saat sebagian besar cewek anggota UKM PA menyatakan cinta pada Aldi. Si Aldi hanya melempar senyum sopan. Saat tiba giliranku, jantungku makin bertalu-talu. Seakan-akan aku lari marathon berkilo-kilo meter. Aku berdeham sejenak sebelum membacakan puisi.
“Untuk si Pujangga, yang mengukir sejuta cinta di atas hati tak berjiwa. Dia adalah Cinderella, yang melukis horizon di atas kanvas. Dia adalah si Putri Tak Terlihat, yang dibayangi jiwa perih tak terperi. Dia tak kan ragu berlari, menyongsong si Pujangga meski hatinya terkoyak. Hanya padamu wahai Pangeran Pujangga, serpihan hatinya menyatu utuh. Dia tak lagi Cinderella yang malang, Dia adalah Cinderella yang penuh kemilau. Saat Pangeran menyelimutinya dengan asa harapan yang berkilau.”
Sesaat sunyi senyap. Aku membisu gugup. Tak seharusnya semua terdiam hening. Tiba-tiba sebuah tepukan memecah keheningan malam. Akhirnya semua bertepuk tangan. Aku memandang sekeliling dengan takjub. Belum pernah aku mendapatkan tepuk tangan massal yang paling antusias. Terdengar teriakan penuh kekaguman. Rasanya aku seperti menggenggam kemenangan.
“Puisi yang luar biasa, Emi.”Sebuah suara lembut menyentakku disusul tepukan pelan di pundak.
Aku melongo tak percaya. Davi, si Pangeran Es menyunggingkan senyum paling menawan. Dia bahkan terlihat lebih tampan daripada si Pangeran Aldi. Seketika itu aku menunduk malu. Entah mengapa aku merasakan sesuatu menggelitik perutku. Sensasinya membanjiriku dengan kebahagiaan. Efeknya lebih dahsyat dari kekagumanku pada Aldi.
“Wahai, Cinderella yang mengukir senyum tulus. Jangan pernah meragu, Pangeranmu menyambut sungguh. Jiwanya hanya tertuju padamu.”
Aku menoleh kaget saat bisikan itu mengalun merdu. Si senior Davi mengulum senyum jahil.
“Ada agenda warna kelam tertinggal di bus. Kurasa agenda itu terlalu berat dengan curahan hati seseorang selama bertahun-tahun.”

Aku membelalakkan mata saat kepingan puzzle itu tersusun utuh. Sosoknya terlihat jelas. Astaga, ternyata dialah si cowok bus. Aku memutar memoriku saat aku menoleh sekilas padanya. Sebuah senyum terbentuk. Senyum yang sama dengan sosok tak terlihat itu. Akhirnya aku menyadari, selama ini sosok yang mencairkan keresahan hatiku bukanlah Aldi. Cinderella hanya terlalu sibuk tenggelam dalam kesedihannya dan menyesali kemalangan hidupnya. Cinta tak selamanya seperti yang terlihat, hanya perlu dirasakan keping demi keping agar mencairkan kesedihan.

@ElfryantyNovita, Dongeng Masa Kini, Mei 2016

Wednesday, April 13, 2016

Kau Adalah Lelakiku

Aku memandangi wajahnya yang bersimbah keringat. Aku tak kuasa mengalihkan tatapanku yang menelusuri setiap jengkal tubuhnya yang tercipta sempurna. Wajahnya setengah oval dengan bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar bibir, memberikan kesan jantan. Rambutnya yang dipotong rapi pada kedua sisi menjuntai tak mencapai leher. Tubuhnya jangkung kurus dengan otot bisep yang menonjol. Aku menahan napas setiap kali keluwesan tubuhnya menari-nari di depan mataku. Ingin rasanya aku menyentuh kulitnya yang terkesan kasar. Dia tampak serius memeriksa pekerjaannya.
            Asistenku menyela khayalanku yang kian melambung tinggi. Aku sempat terkejut, cepat-cepat aku menyembunyikan perasaan terlarang itu. Berkali-kali aku berhati-hati agar tidak terekspos siapa pun. Aku membayangkan media akan berjingkrak kegirangan bila berhasil mengendus kesalahanku. Aku sudah menjelma menjadi pengusaha furnitur kualitas ekspor yang pernah diwawancarai majalah bisnis yang cukup popular di kawasan metropolis Jakarta.
            Aku cepat-cepat membaca laporan yang diangsurkan asistenku. Order barang lumayan sepi dari luar negeri. Mungkin aku masih harus bersabar dengan kondisi pasar luar negeri yang lesu. Justru permintaan furnitur dari domestik meningkat tajam. Aku menyunggingkan senyum puas.
            “Maaf, AC-nya sudah selesai direparasi. Saya sudah memastikan compressornya berfungsi baik. Freonnya tidak mengalami kebocoran. Ada baiknya minimal tiga bulan sekali AC-nya dicuci.”
            Aku manggut-manggut. Diam-diam mataku menjelajahi setiap keringat yang menetes di wajah hingga dadanya. Dia telah melepas kemejanya, menyisakan kaus dalam yang melekat erat dan membentuk tubuhnya. Tampak menyembul otot-otot perut yang rata. Aku menelan ludah. Aku berusaha menepis kekagumanku yang menjelma menjadi perasaan mendamba yang cukup menyiksa.
            Aku baru bertemu dengannya setengah tahun lalu saat para karyawanku kelabakan mencari tukang servis yang ahli. Tukang servis AC yang lama tak terlalu memuaskan pekerjaannya. AC di toko malah lebih sering rusak. Aku melampiaskan kemarahanku karena terbebani untuk mengawasi tiga toko furnitur di kawasan yang berbeda di Jakarta. Wajah para karyawanku memucat, tak seorang pun berani bersuara. Selama ini aku tahu, mereka tak pernah menyaksikan letupan kemarahanku. Aku selalu bersikap hangat, akrab dan ramah. Aku bahkan mampu mengingat nama mereka termasuk keluarganya dan kebiasaan mereka yang terpatri di otakku. Sejak kecil aku jenius dalam mengingat.
            Orang tuaku amat bangga saat aku menyodorkan raporku yang selalu berprestasi. Mereka bahkan sering menangis terharu saat aku memenangkan sejumlah penghargaan. Aku memiliki tiga kakak perempuan yang ceriwis dan galak. Mereka terkadang mem-bully-ku meski tak parah. Bagi mereka, aku adalah sosok adik manis yang harus selalu menuruti keinginan mereka. Aku bertumbuh menjadi anak yang peka dan sensitive perasaannya.
            Diusiaku yang menginjak 30 tahun, untuk pertama kalinya ada seseorang yang mampu mengguncang hatiku. Aku tak pernah sehari pun melupakan saat pertemuan pertama dengan lelaki itu. Dia tampak tergesa-gesa memasuki toko kami dengan seorang pria. Dengan sorot meminta maaf, dia berbicara pada bawahanku, supervisor toko yang tak sabaran menanti kehadirannya. Ketika itu aku sedang menjelaskan furnitur model terbaru yang diukir pekerja kami pada calon konsumen yang rewel. Aku melirik sekilas dan terkesiap saat tatapan kami beradu. Dia mengangguk sopan. Harus kuakui, aku terkesan dengan aura yang menyelimuti lelaki itu.
            Dia bahkan lihai memperbaiki AC toko yang fatal kerusakannya. Di bulan ketiga, aku mencoba mengorek kesehariannya. Dia berbicara sambil sesekali tersenyum meski tak menghentikan kesibukan kerjanya.
            “Saya lulus sarjana Teknik Arsitektur tapi lebih tertarik mengutak-atik mesin dan elektronik. Jadi selesai kuliah, saya tak mendengarkan orang tua saya untuk mencari pekerjaan tetap. Saya malah membuka usaha reparasi elektronik dan AC dengan modal yang saya kumpulkan selama setahun bekerja di perusahaan konstruksi.”
            Dia mengulas senyum tipis, melirik sekilas lalu memusatkan perhatian pada komponen AC yang telah dibongkarnya. Dia mengerjakannya di gudang belakang toko furniturku. Tanpa sadar aku ikut tersenyum. Makin mengagumi keuletan dan sikap optimisnya yang tak pernah pudar. Dia telah menjadi tukang reparasi AC langganan kami. Bahkan aku terkadang memanggilnya bila ada alat elektronik yang rusak di rumahku. Dia memuji penuh antusias saat muncul di depan rumahku untuk memperbaiki TV LCD di kamar yang sengaja kurusakkan.
            Kesuksesanku makin menginspirasinya untuk menekuni usahanya. Dia memiliki cita-cita ingin sukses membangun usaha reparasi alat elektronik terbesar di Jakarta. Aku menyemangati impiannya. Dulu aku juga begitu bersemangat di masa muda. Mengenyahkan perasaan buruk yang menekan saat orang tuaku akhirnya mengetahui rahasia terbesarku. Ibu menangis terisak tanpa henti, sementara Ayah terdiam membisu beberapa lama di kursinya.
            “Maafkan aku, Ayah, Ibu. Aku sudah berusaha melawan sisi hatiku sejak dulu. Aku juga tak menginginkannya tapi sekeras apa pun aku menghindarinya, pada akhirnya aku menjadi putus asa.” Aku berusaha meredam luapan perasaanku yang diliputi keputusasaan.
            Ayah memandangku seolah menerawang jauh. Ibu makin menangis keras, tak mampu menanggung kekecewaan yang menghantamnya. Setelah membisu dengan pikirannya, Ayah pun menarik napas dan menghembuskannya panjang.
            “Baiklah, kalau memang itu keputusanmu, Nak. Tak ada lagi yang bias Ayah katakan. Ayah akan berusaha memahami isi hatimu.”
            Mau tak mau aku menghela napas lega. Ayah begitu bijaksana, tak pernah menghakimi kesalahanku di sepanjang memoriku. Aku merasa bersalah saat menatap gurat-gurat kelelahan yang menghiasi wajahnya. Seketika wajahnya bertambah tua beberapa tahun.
            Kini, aku tak lagi melarikan diri. Aku memutuskan untuk mengabaikan suara-suara sumbang yang menyangsikan keberadaanku. Aku berusaha hidup normal seperti orang lain. Sepuluh tahun bergulat dalam peperangan batin yang menyiksa cukup membuatku lelah luar biasa. Ketiga kakak perempuanku yang telah menikah sempat kaget tak percaya. Namun tak ada yang mencela atau mencemoohku. Sedikitnya aku masih bisa bersyukur Tuhan menghadiahi keluarga yang tetap menerimaku apa adanya.
 * * * * *
            Aku mematut-matut penampilanku di depan kaca. Kemeja semi formal dan celana skinny panjang berbahan katun. Sejak tadi aku gelisah menanti pertemuan dengan si lelaki tukang servis. Namanya Mas Doni Setyawan. Aku baru mengetahui namanya sebulan lalu. Biasanya aku hanya memanggilnya “Mas”. Aku mengusulkan pertemuan di kafe untuk membahas rencana ekspansi bisnis dari jasa reparasi alat elektronik dan AC miliknya. Aku bahkan akan menginvestasikan modal untuk membuka toko yang menjual alat-alat elektronik dan AC.
            Tadinya dia enggan mengungkapkan impian yang terus mengusik pikirannya. Setelah aku membujuk setengah memaksa, dia akhirnya mengatakannya dalam satu tarikan napas.
            Entah mengapa, dadaku selalu berdetak dua kali normal saat berhadapan dengannya. Aku canggung layaknya wanita yang jatuh cinta. Namun dia tak menyadari rona merah di wajahku setiap kali dia tersenyum. Dia juga tak tahu bila aku diam-diam suka memandangi wajahnya. Di luar pekerjaan, Doni tetap memancarkan kehangatan dan keramahan yang menyejukkan hatiku. Dia tak memerhatikan kekikukan yang menyergapku setiap kali dia menepuk pundak atau menyalami tanganku dengan semangat.
            Pertemuan itu terus berlanjut. Perasaanku kian tumbuh bak bunga-bunga yang bermekaran. Sia-sia saja aku menyingkirkannya. Akhirnya aku pun memasrahkan diri. Aku akan menyimpan rapat-rapat perasaan asing yang menyenangkan ini. Tak seorang pun boleh merampasnya atau mencela ketulusan hatiku.
            Setelah pertemuan-pertemuan yang intens, Doni mengajakku mengunjungi calon toko baru yang akan mewujudkan cita-citanya. Di sana aku bertemu dengan dua orang temannya. Seorang lelaki agak gempal dan seorang wanita manis yang mungil. Sempat terbersit rasa cemburu saat menyaksikan Doni berinteraksi dengan akrab kepada Reta, nama wanita itu. Katanya dia adalah teman kuliahnya dulu tapi berbeda jurusan. Mereka bertemu saat keduanya bergabung di organisasi PA (Pecinta Alam). Reta dan Doni saling tertawa-tawa dan bercanda. Aku berjuang keras menekan kejengkelan yang menyusup.
            Tak hanya sekali dua kali, bahkan Reta juga menyeruak di antara kami berdua saat pembicaraan strategi bisnis di kafe langganan kami. Dia melontarkan ide-ide dengan wajah sumringah. Beberapa kali aku menangkap pancaran sinar mata Doni yang menatap Reta lekat-lekat sambil menyunggingkan senyum geli. Dia bahkan sering mengacak-acak rambut Reta hingga wanita itu mengomel. Padahal aku menangkap basah senyum manis yang menghiasi wajahnya setelah diperlakukan begitu. Aku mengerang dalam hati. Sampai kapan aku akan sanggup menahan gejolak hatiku yang kacau.
            Setiap hari di kantor, aku melamun membayangkan hari-hari yang dilewati Doni dan Reta. Sepertinya mereka terikat oleh masa lalu dan takdir pertemuan yang abadi. Sudah sepuluh tahun kebersamaan mereka yang takkan dapat kutaklukkan. Mengapa bukan aku yang bertemu Doni sepuluh tahun yang lalu?Suatu saat aku merasa jantungku akan meledak bila terus memendam perasaan sakit dan cemburu ini.
            Doni tak pernah menyadari kegalauan hatiku yang dikacaukan oleh kehadirannya. Tak seharusnya perasaanku menjadi sesensitif ini. Sisi kewanitaanku kian menguasai jiwaku. Tak pernah aku begitu gelisah hingga tak mampu memejamkan mata di malam hari. Aku masih terus berharap dapat memandangi Doni selamanya. Aku ingin sosok Reta tak hadir di antara kami. Masih sisa dua bulan lagi sebelum aku kehabisan alasan untuk bertemu Doni.
            Percik-percik bahagia membanjiri seluruh rongga hatiku saat Doni berhasil membeli toko yang diidam-idamkannya dan mengisinya dengan berbagai merek barang elektronik. Aku sibuk mengkomando para pekerja yang hilir mudik membawa masuk barang-barang. Tak kutangkap sosok Doni di sekitar toko. Mungkin dia sibuk di belakang toko yang menjadi gudang reparasinya. Mataku berseri-seri saat sosoknya tampak dari kejauhan di sudut kiri gudang. Namun langkahku terhenti saat mendengar perdebatan Doni dengan Aris, si lelaki gempal sahabatnya. Reta berdiri tak jauh dari keduanya. Aku spontan menyembunyikan diri, menguping pembicaraan mereka.
            “Don, laki-laki yang membantumu itu pasti gay. Aku sudah sejak lama memerhatikan gerak-geriknya. Sebaiknya kau menjauh darinya sebelum keadaan lepas kendali. Bukannya aku ingin menjelek-jelekkannya. Dia memang baik, tapi orientasi seksualnya akan membahayakanmu. Dia pasti suka padamu.”
            “Yang benar saja, Ris. Jacky bukan gay. Jangan menuduhnya.”
            Aris menghela napas putus asa. Dia mengacak-acak rambutnya yang keriting dengan luapan frustasi.
            “Reta, coba katakan sesuatu. Katakan kalau bukan aku saja yang merasakannya. Laki-laki itu pasti gay tulen. Sudah berapa kali aku menangkap basah tatapannya yang tak biasa pada Doni. Kelelakian Doni pasti menarik hatinya. Aku benar-benar gila.”
            Reta menghembuskan napas. Dia mendekati Doni, menjejerinya, menatapnya dengan jenis tatapan yang pastinya akan meluluhkan hati Doni.
            “Aku juga merasakannya, Don. Dia menyukaimu. Aku tak kan menghakimi orientasi seksualnya karena aku tidak berhak menghina harga diri seseorang. Aku hanya ingin kau mengatakan perasaanmu padanya. Pasti sulit memendam perasaan sebesar itu.”
            Tiba-tiba jemari-jemariku gemetaran. Aku takut kejujurannya akan menghancurkan hatiku. Aku benar-benar ketakutan bila dia menyadari diriku yang abnormal. Aku sungguh kalut hingga cepat-cepat pergi meninggalkan mereka.
* * * * *
            “Maafkan aku.” Ketakutanku menjelma nyata saat dia mengucapkannya. Seakan itu vonis kematian yang menentukan napas kehidupanku.
            Aku dapat memahami sepenuhnya ketidaknyamanan dalam suaranya. Aku mencela diriku yang tak berdaya dengan perasaan ini. Namun segumpal kelegaan menyusup tatkala pikiran buruk yang sempat menghantuiku tak terjadi. Doni menghadapi kenyataan itu dengan tenang dan damai.
            “Aku takkan meminta kau untuk membuang jauh-jauh perasaan itu. Aku tak berhak untuk itu. Aku memikirkan ini cukup lama. Pada akhirnya aku harus berterima kasih karena kau telah banyak membantuku. Aku tak dapat membalas kebaikanmu. Tapi aku akan mengakui satu hal. Aku hanya mencintai Reta. Aku bahkan sudah melamarnya untuk menikahiku.”
            Doni memandangku penuh simpati. “Tolong mengertilah. Aku berharap kau tidak membenci hidup dan dirimu sendiri. Aku akan mencoba memahami apa yang anda alami selama ini.”

            Pertahananku runtuh. Aku menangis, meminta maaf berulang-ulang. Belum pernah aku bertemu dengan seseorang yang tak mencibir atau menghakimi anomali yang terjadi padaku kecuali keluarga sendiri. Dia sungguh lelaki yang baik yang tak pernah akan kutemukan lagi di dunia ini. Aku berharap akan ada lagi orang-orang yang sepenuhnya memahami dan tak memandangku dengan tatapan aneh yang menuduh. Bagaimana pun aku juga dilahirkan ke dunia dengan sempurna, seperti orang-orang normal yang lain. Hanya saja jiwaku bertentangan dengan identitas fisikku sehingga itu sungguh menyiksaku seumur hidup. Aku hanya butuh pengakuan tentang eksistensiku di dunia. Itu sudah lebih dari cukup.

(Penggalan kisah untuk sahabatku, Februari 2016)
Copyright @ElfryantyNovita