Sunday, February 28, 2016

My Dream

Aku berusaha mengumpulkan keberanian sementara menanti vonis yang meluncur dari bibir ortuku. Kesunyian total menyelimuti kami. Aku mengawasi ekspresi Papa dan Mama. Wajah Mama masih menyisakan perasaan seakan ditampar bercampur putus asa. Sementara Papa tampak berpikir keras. Keningnya berkerut luar biasa. Rupanya Papa benar-benar serius.Aku tegang setengah mati. Kubulatkan tekad agar tak satu pun kata-kata Papa nanti yang mengoyahkanku. Aku makin gelisah dalam duduk. Tanganku dingin. Keringat mengalir setes demi setetes.
Akhirnya seolah seabad telah berlalu, Papa berdeham. Menarik napas perlahan-lahan, sebelum menatapku tajam.
“Sayang, kenapa harus Papua Barat?”
Aku menelan ludah. Bukannya aku sudah mengatakan alasannya?Mengapa Papa perlu bertanya lagi?Sia-sia usahaku berceloteh panjang lebar.
“Papa, tadi kan aku sudah menjelaskannya. Apa Papa mau aku mengulang kembali semuanya dari awal?”
“Oh, lupakan saja.”Papa tampak gelisah. Membisu lagi. Oh, aku benar-benar tersiksa.
Kualihkan tatapanku ke arah Mama. Mama lebih parah. Airmata seakan siap jebol kapan saja. Aku mendesah lega saat Beliau berusaha menahan diri. Hatiku seketika akan luluh menyaksikan Mama meneteskan airmata.
“Pa, maafkan Rena. Rena …”
Aku ikut diam. Sepertinya ketularan diamnya Papa. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam. Aku memandang taplak meja berukir bunga. Hening sejenak.
“Pa …”
“Papa tahu, sayang. Tolong beri waktu Papa dan Mama memikirkannya dulu. Rasanya … sulit. Kamu tahu. Papua Barat … hmm …tempat yang cukup jauh. Terlalu jauh malah. Seperti di ujung bumi. Jadi … ya … Papa bukannya melarang. Hanya … Papa rasa Mama juga perlu waktu.”
Oh, rasa bersalah menghujam dadaku keras. Belum pernah Papa segugup itu. Papa yang kukenal selalu tenang, bijak dan bisa diandalkan.
“Oke, Pa. Rena mengerti kalau Papa dan Mama butuh waktu mempertimbangkannya. Tapi Rena mohon. Rena amat menginginkannya.” Aku menatap Papa pasrah.
Papa tersenyum menenangkan. Sinar matanya tampak suram. Mama masih terisak. Aku pun pamit pergi. Bagaimana pun percuma membujuk ortuku saat ini. Mereka terlihat lelah dan shock.
Mungkin kalian akan mencelaku habis-habisan. Aku telah mengecewakan ortuku. Lebih dari sekedar kecewa malah. Bahkan teman-teman dekatku ikut heboh. Mereka kompak menyuarakan protes. Mengapa harus ke Papua Barat?Kan masih ada tempat lain yang lebih baik!Demikian alasan mereka. Astaga!Kayak itu tempat terkutuk saja. Seolah-olah kau akan mati pada kesempatan pertama saat menginjakkan kaki di sana.
Aku tahu siapa pun akan menentang. Aku tahu, banyak cerita mengerikan tentang provinsi paling ujung timur itu. Gempa bumi, wabah malaria, epidemik AIDS, bahkan perang antar suku. Namun apa daya. Aku terlanjur jatuh cinta dan terlalu ingin mencurahkan hatiku ke sana. Dan kesempatan sekali seumur hidup itu ditawarkan dosen pembimbingku, Dr. Rahardi Baskoro, spesialis penyakit dalam. Beliau sangat memuji skripsiku berjudul “Penanganan Malaria Epidemik di Daerah Tropis Indonesia yang Minim dan Potensial Wabah-Studi Empirik Lima Kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat”. Bahkan Dr. Reinaldi Hariawan, dosen pengujiku yang terkenal pelit nilai di kampus memberi aplaus kelewat heboh. Beliau menawarkan posisi ko-as di Papua Barat. Koleganya, dokter spesialis malaria sudah 3 tahun menghabiskan hari-hari di sana.
Sejak mengerjakan proyek skripsiku, aku pernah sambil lalu mengutarakan kemungkinan aku ingin mengabdi ke Papua Barat. Namun Papa hanya tergelak, candaanku benar-benar lucu baginya. Sementara Mama terbelalak sejenak, lalu beliau menganggapku main-main. Aku jadi tak tega berkata jujur. Bisa-bisa sakit jantung Papa kumat.
Aku pun memendamnya dalam hati. Menyimpan rapat di suatu sudut terdalam. Berharap mampu meluapkannya suatu hari. Maka aku pun memilih hari itu. Tepat seminggu setelah euforia kelulusanku usai.
* * * * *
“Kakak sudah dengar, Re. Yang benar saja!Kau cuma bercanda, kan. Kau cuma emosi sesaat, kan.” Suara Kak Rado tajam menusuk. Sinar matanya menyelidik.
Aku diserang keletihan luar biasa. Kakak sulungku sengaja pulang sehari dari pamerannya di Jakarta. Sudah 2 tahun dia menenggelamkan diri di dunia melukis. Dia juga suka mendesain interior. Usia kami terpaut 5 tahun.
“Sudahlah, Kak. Apa kakak juga akan menentang Rena?Rena capek kalau terus dibombardir dengan protes.”
Pasti Papa menelepon dan memohon Kak Rado untuk membujukku. Dasar Papa licik!Aku tahu Beliau takkan menyakitiku. Namun Papa terlalu cerdik, tahu kelemahan terbesarku. Aku mampu menolak argumen siapa pun. Cuma Kak Rado yang kucemaskan.
Kak Rado menatapku iba. Di sinar matanya memancar sayang. Aku meringis dalam hati. Keterlaluan benar Papa!Kak Rado itu logis, cerdas dan anehnya berbakat menaklukkan hati siapa pun, termasuk sedingin es sekali pun.
“Re, kamu tahu banget kalau Papa dan Mama sangat mencemaskanmu. Sejak kecil mereka selalu melindungimu. Kamu pun tak pernah jauh dari mereka. Kamu tahu, mereka mencintaimu karena kamu anak perempuan satu-satunya. Mereka pasti nggak mau sesuatu apa pun menimpamu. Kakak pun begitu.”
“Sejak awal, kamu sudah memilih fakultas kedokteran dan menjalaninya selama 5 tahun sampai akhirnya tahun ini kamu lulus. Mereka memintamu jadi dokter seperti mereka. Kamu pun menurut dengan senang hati. Prestasimu bagus dan yakinlah, Papa Mama sangat bangga. Mereka sudah berharap kau akan mengikuti jejak mereka. Bekerja di tempat bagus, gaji tinggi, penuh pengabdian dan karir sukses. Mengapa tiba-tiba kau tidak bertanggung jawab sampai akhir?Kau malah ingin menjauh. Ke Papua Barat lagi.”
Aku menggigit bibir. Gugup. Tatapan Kak Rado tepat menghujam jantungku. Aku kian gusar berdiri di sebelahnya. Angin sepoi membelai lembut pipiku. Perlahan aku menarik napas. Gazebo itu, pemandangan indah taman belakang dan rumah dari sudut belakang mematri memoriku. Kak Rado benar. Sejak kecil ortuku mendekap erat dan menjagaku ketat. Tidak seprotektif itu pada Kak Rado dan Kak Rangga. Aku amat dimanja, disayang dengan berlebihan. Di antara kami bertiga, cuma aku yang setuju jadi dokter. Kak Rado memberontak, gigih memperjuangkan impiannya jadi pelukis. Kak Rangga berkeras kuliah jurusan bisnis dan setahun ini bekerja di Singapura.
“Maafkan aku, Kak. Rena tak mau mundur. Sekali ini Rena ingin bersikap egois.”
“Astaga!Coba pikirkan perasaan Mama Papa. Mereka sangat mencemaskanmu. Terlalu beresiko ke sana. Pikirkan dulu, Re.”
“Sudah kupikirkan selama setahun.”Timpalku ketus. Maaf saja Kak Rado. Aku takkan goyah. Tekadku sekuat baja dan sedingin es.
Kak Rado memicingkan mata, seakan belum pernah menatapku. Sekelebat syok melintas di wajahnya. Meski begitu dia tersenyum kalem.
“Re, please. Tolong pikirkan kembali. Jangan kecewakan Mama Papa. Suatu hari kamu akan menyesalinya.”
“Dan apa Kak Rado pernah menyesali keputusan kakak?Saat menentang keinginan Mama Papa. Aku pun begitu. Untuk sekali ini aku memutuskan sesuatu. Bukan orang yang memilihkannya untuk hidupku.”
Kak Rado membisu lama. Dia tertegun tadi. Kata-kataku menembus dinding pertahanannya. Tampak sinar mata mengalah. Aku pun menyunggingkan senyum. Aku menang.
* * * * *
Ternyata Papa Mama masih berjuang keras. Kali ini Kak Rangga membujukku, disusul Nenekku dari Mama, Om dan Tante Wiryawan yang kusukai, Paman dan Bibi Jonar yang jauh-jauh dari Siantar (aku amat sayang mereka), bahkan keluarga besar kami, siapa pun yang bersedia, mengepung dan memojokkanku. Awalnya aku mampu meladeninya. Namun sebulan berlalu tanpa persetujuan ortuku. Kesabaranku kehilangan batas. Dr. Baskoro bolak balik bertanya. Bulan depan akan ada perjalanan tim medisnya ke Manokwari. Beliau tak memaksa bila aku masih ragu. Rupanya Papa sudah campur tangan hingga Beliau tak enak hati menjerumuskanku dalam bahaya. Ya ampun, Papa!Beliau memang salah seorang dokter bedah terkenal Indonesia dan Mama adalah dokter spesialis anak yang top. Namun ini sudah kelewatan!
Aku memilih mengkonfrontasi ortuku. Terbuka, aku memprotes mereka di ruang keluarga, empat hari menjelang tenggat waktu keberangkatan tim dokter Baskoro.
Bermenit-menit aku menumpahkan unek-unek. Aku benar-benar frustasi.“Pa, berapa kali kukatakan. Bukankah kita sudah sepakat sebelumnya?Waktu itu aku sudah bilang pada Papa. Papa berkata, “terserah kau mau kemana, Na. Yang penting kau lulus dan jadi dokter”. Apa Papa mau melanggarnya?Bukankah Papa sendiri yang mengajar kami agar taat pada peraturan, disiplin pada aturan dan memegang teguh janji serta bertanggung jawab?Dimana Papa yang selalu memegang prinsip itu?!”
“Jangan sekali-kali menguliahi Papa, Re!”Kata Kak Rado menahan geram. Wajahnya gusar. Papa mengangkat tangan. Kak Rado mendesah putus asa. Masa bodoh!
“Na, Papa mohon. Ini demi kebaikanmu. Lupakanlah Papua Barat. Papa bisa membantu. Papa punya banyak kolega. Tak ada hal bagus yang bisa kamu dapatkan di sana. Pokoknya kamu tidak boleh pergi!Kamu mengerti?!”
Rahang Papa mendadak mengeras. Sikapnya berubah berwibawa. Tegas dan mematikan. Mama duduk di sebelah dengan sikap serupa. Tekadnya meruntuhkan sikap kerasku terpancar. Kak Rangga lebih lunak. Dia tersenyum menyemangati. Dari dulu selalu begitu. Mendukung dan memberiku kebebasan secara tepat.
Aku menghela napas panjang. “Baik, apa pendapat Papa kalau aku punya mimpi?Dari dulu aku selalu menuruti apa pun kemauan dan kata-kata Papa Mama. Tak pernah sekali pun aku membantah. Tak pernah. Papa Mama mengaturku sekolah dimana, les apa, bahkan akan jadi apa. Kak Rado dan Kak Rangga bisa memilih hidup mereka sendiri. Tapi aku tidak. Lalu apa bedanya aku dengan mereka?Untuk pertama kalinya, aku benar-benar punya keinginan. Hanya sekali saja, Pa, Ma. Lebih baik aku memilih hidupku untuk sekali ini dan kalau menyesalinya, itu salahku sendiri. Daripada orang lain yang memilihnya, lalu saat menyesalinya, aku jadi menyalahkan orang lain.”
Lalu tiba-tiba, tanpa peringatan, tanpa tanda-tanda, di tengah usaha Papa membalasku berapi-api, serangan itu memukul jantungnya. Beliau kehabisan napas dan tersungkur kesakitan menghujam lantai. Mama kaget, berteriak histeris. Kak Rangga dan lainnya menghampiri Papa. Untung Kak Rado tanggap menelepon ambulans. Sementara aku terpaku ngeri. Membeku hingga sekujur tubuh. Oh, Tuhan!Tuhan!Tuhan!
Ketegangan itu berlanjut di rumah sakit. Papa dilarikan ke ruang UGD dan hampir berjam-jam di sana tanpa irama kehidupan. Mama terisak, tubuhnya berguncang hebat. Kak Rangga merangkul lembut, menenangkannya. Sejak dulu dia ahli dalam hal itu. Tangis Mama agak reda, menyisakan wajah letih. Paman, Bibi, Om, Tante, sepupu-sepupuku menyusul kemudian. Ruang tunggu itu jadi sesak. Aku menangis kencang, menyesali semuanya. Apalagi Kak Rado sempat murka. Membuat rasa bersalahku menjadi-jadi. Namun Kak Rangga menengahi. Sedikit membelaku tepatnya. Padahal aku layak ditampar keras.
Untunglah Papa sempat diselamatkan. Untuk sementara Beliau harus istirahat total di rumah sakit. Aku sengaja menghindar, tak mendekati Beliau. Takut memompa jantungnya lagi. Susah payah, aku bertahan mengintip Papa yang dibaringkan selama seminggu ini. Yang mengejutkanku, Papa sendiri yang ingin berbicara dan mendengar suaraku. Aku teramat merindukan Beliau. Ternyata Papa juga kelewat sayang dan kangen padaku.
Kata-katanya membuat kegembiraanku meluap. “Na, Papa pikir … Ternyata Papa begitu egois padamu dan kakak-kakakmu. Papa dan Mama selalu menuntut kalian seperti kami. Kami hanya ingin melindungi kalian dari kerasnya hidup. Tidak aneh kalau Kak Rado dan Kak Rangga memberontak. Sungguh tak bijaksana. Bagaimana pun kuatnya, kerasnya perlindungan ortu, tak berarti anak akan aman. Hidup anak bukan ditentukan oleh ortu. Ortu seharusnya mendukung apa pun keputusan anak, karena yang akan menjalaninya bukan mereka. Sampai kapan pun anak takkan bertumbuh dewasa bila ortu selalu protektif dan mengatur anak. Jadi, Na. Pergilah, Sayang. Bertumbuh dewasalah, raihlah cita-citamu. Dan ingatlah, kami, Papa Mama, akan selalu menunggumu kembali.”
Airmataku meleleh tak henti. Aku memeluk lembut Papa, lalu mendekap hangat Mama. Aku benar-benar bahagia, dicintai begitu hebat oleh Papa dan Mama. Aku pun sangat mencintai mereka.
* * * * *
Sebulan lamanya aku tenggelam dalam merawat orang-orang yang terserang malaria. Wabah malaria sedemikian hebat hingga aku dan tim dokter Baskoro berjuang keras. Perlahan-lahan aku menganggap Manokwari itu sebagai rumah keduaku. Orang-orang di sini begitu hangat dan luar biasa. Seperti keluargaku di Bandung. Aku mulai fasih berbahasa setempat. Mereka menyambut kami dengan keramahan indah. Agak sulit menelepon atau mengirim surat di sini. Daerahnya cukup terisolir dan sepi dari dunia luar. Namun perjuangan dan kegigihan mereka membuatku meneteskan air mata haru tiap hari.
Aku menuliskan surat pada Papa dan Mama sebelum mereka sangat rindu dan berpikir aku lenyap. Aku tersenyum membacanya terakhir kali, sebelum menyerahkannya pada Dr. Baskoro yang akan kembali ke Jakarta.

“Untuk Papa dan Mama, Rena baik-baik saja di sini. Orang-orangnya benar-benar hangat dan baik hati seperti Papa Mama. Ini bagai rumah keduaku. Terima kasih sudah mengijinkanku ke sini. Aku sayang kalian.”
(Catatan Harian, 2 Juni 2009)

Potret Sektor Perikanan Papua Barat : Menyongsong Paradigma Ekonomi Biru

           Provinsi Papua Barat dikenal memiliki kekayaan alam bahari sama seperti Provinsi Papua. Kedua provinsi yang berada di ujung timur Indonesia ini berlimpah hasil perikanan dan keanekaragaman ekosistem air. Kekayaan ekosistem air ini yang terkenal hingga ke luar negeri adalah Raja Ampat yang bahkan mendapat julukan The Lost Paradise. Kekayaan ekosistem lain yang tidak kalah dengan pesona Raja Ampat juga dimiliki oleh Kaimana yang terkenal dengan dan Teluk Wondama yang memiliki kawasan konservasi alam berupa terumbu karang dan karang laut yang indah, dikenal dengan nama Taman Nasional Teluk Cenderawasih.


            Berdasarkan data PDRB dengan migas (minyak bumi dan gas bumi), subsektor perikanan menyumbangkan sekitar 4,36 persen terhadap penciptaan PDRB pada tahun 2012. Bahkan selama tahun 2002, pada awal pemekaran Papua Barat subsektor ini memiliki sumbangan sebesar 11,64 persen. Meskipun selama tahun 2003-2012, sumbangan subsektor perikanan cenderung menurun, namun tetap menjadi yang tertinggi dibandingkan keempat subsektor lainnya dalam sektor pertanian. Sedangkan bila dalam PDRB tanpa migas, maka sumbangan subsektor ini jauh lebih tinggi, yaitu sebesar 9,93 persen pada tahun 2012. Meski sumbangan terhadap PDRB cukup baik, justru kinerja pertumbuhan subsektor ini cenderung naik turun selama tahun 2003-2012. Pada tahun 2012 subsektor perikanan justru mengalami kontraksi menjadi minus 0,22 persen. Artinya produksi subsektor perikanan mengalami penurunan drastis bila dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini kemungkinan dipicu oleh musim angin yang berubah-ubah tiap tahun, peralihan kegiatan ekonomi oleh nelayan dikarenakan ketidakpastian cuaca dan resiko keselamatan yang cukup tinggi ketika melaut sehingga nelayan mengurangi frekuensinya dalam penangkapan ikan dan justru beralih profesi misalnya bertani atau menjadi buruh pertanian.


            Sementara jumlah rumah tangga yang mengelola budidaya ikan di Papua Barat baik ikan air tawar maupun ikan air laut termasuk cukup sedikit. Hal ini mungkin karena jumlah orang yang memiliki pengetahuan dalam budidaya ikan tergolong cukup sedikit. Berdasarkan data Statistik Indonesia Tahun 2011, jumlah rumah tangga perikanan untuk budidaya laut sebanyak 2.008 rumah tangga, budidaya tambak sebanyak 202 rumah tangga, budidaya kolam sebanyak 2.444 rumah tangga, budidaya sawah sebanyak 27 rumah tangga. Jumlah rumah tangga perikanan budidaya meningkat sekitar 1,6 kali lipat dibandingkan tahun 2010, atau secara persentase terjadi peningkatan sebesar 59,54 persen. Namun untuk kawasan Sulampua (Sulawesi, Maluku dan Papua), jumlah rumah tangga yang berusaha di sektor perikanan budidaya di Papua Barat tahun 2011 berada di urutan ke 9 setelah Gorontalo dan sedikit lebih baik daripada Maluku Utara. Bandingkan dengan Papua yang memiliki rumah tangga perikanan budidaya sebanyak 7.165 rumah tangga meski secara persentase hanya mengalami kenaikan sekitar 20,44 persen dibandingkan tahun 2010 (tahun 2010 rumah tangga perikanan budidaya sebanyak 5.949 rumah tangga). Meskipun jumlah rumah tangga budidaya jauh lebih sedikit, namun bila terjadi peningkatan signifikan setiap tahunnya, maka kemungkinan perikanan Papua Barat akan mampu mendongkrak perekonomian di sektor pertanian karena nilai tambah perikanan budidaya lebih besar dan hasilnya berkelanjutan dengan pembiayaan lebih minim daripada perikanan tangkap. Secara ekonomis, membudidayakan ikan memerlukan waktu yang lama dibandingkan penangkapan ikan baik di perairan laut maupun perairan umum. Namun penangkapan ikan memerlukan pembiayaan yang cukup besar, biasanya mencakup biaya BBM, balas jasa tenaga yang dipekerjakan dan sewa perahu. Budidaya ikan akan lebih menguntungkan dari sisi ekonomi karena tidak terpengaruh musim seperti halnya penangkapan ikan.


            Secara sumber daya sebenarnya Papua Barat memiliki kekayaan laut yang melimpah karena dikelilingi oleh perairan laut bebas, terutama Kabupaten Raja Ampat. Bahkan Papua Barat memiliki pulau terbanyak di kawasan Sulampua (sebanyak 1.945 pulau) yang tentunya dikelilingi oleh perairan. Sementara Papua hanya memiliki pulau sebanyak 598 pulau. Ini berarti Papua Barat memiliki potensi perikanan yang besar. Namun berdasarkan data Dirjen Perikanan Tangkap Indonesia, jumlah produksi perikanan tangkap Papua Barat sebanyak 117.299 ton pada tahun 2011 atau sekitar 2,05 persen terhadap produksi perikanan Indonesia. Sementara produksi perikanan Papua sekitar 4,84 persen terhadap Indonesia dan jumlahnya 2,4 kali lipat dibandingkan Papua Barat. Artinya perikanan tangkap di Papua lebih produktif karena jumlah rumah tangga yang berusaha di sektor perikanan tangkap 3 kali lipat lebih banyak daripada Papua Barat. Sementara untuk produksi perikanan budidaya Papua Barat sebanyak 29.784 ton pada tahun 2011. Jumlah ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2010 yaitu sebesar 36,94 persen. Bahkan produksi perikanan budidaya Papua Barat sekitar 7,16 kali lipat lebih banyak daripada Papua. Artinya meski jumlah rumah tangga perikanan budidaya di Papua Barat lebih sedikit namun lebih produktif dalam menghasilkan komoditas perikanan.


            Nilai tambah subsektor perikanan dalam PDRB tertinggi dibandingkan subsektor lain untuk sektor pertanian. Subsektor ini dapat menginput bahan baku ke sektor industri pengolahan hasil-hasil perikanan, misalnya dalam pembuatan ikan kaleng atau udang beku. Nilai tambahnya akan mengalami peningkatan dibandingkan jika tidak diolah lebih lanjut. Upaya industrialisasi sektor perikanan ini diprediksi mampu menggerakkan perekonomian Papua Barat karena bahan baku tidak perlu diimpor sehingga keberadaan sektor ini akan memberikan efek terhadap sektor-sektor lain. Industrialisasi tersebut dikenal dengan istilah ekonomi biru (blue economy) yang merupakan sebuah paradigma (konsep) baru yang bertujuan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi dari sektor kelautan dan perikanan, sekaligus menjamin kelestarian sumberdaya serta lingkungan pesisir dan lautan. Pendekatan pembangunan industrialisasi kelautan dan perikanan melalui blue economy merupakan model pendekatan pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang berlebihan. Artinya meski terjadi proses industrialisasi yang dituding dapat merusak lingkungan, namun konsep ekonomi biru tetap memperhatikan aspek ekosistem perairan.


            Industrialisasi perikanan merupakan upaya untuk menjadikan sektor perikanan menjadi sebuah kegiatan industri dan berorientasi pada skala industri. Industrialisasi perikanan mengembangkan sektor perikanan secara terintegrasi dari hulu ke hilir. Integrasi ini akan menciptakan kesetaraan usaha perikanan hulu dan hilir. Konsep industrialisasi perikanan yang akan dikembangkan yaitu program industrialisasi perikanan yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk perikanan (value added), sekaligus meningkatkan daya saing yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Kementrian Kelautan dan Perikanan memperkenalkan konsep ekonomi biru pada tahun 2012. Program industrialisasi kelautan dan perikanan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan, sekaligus meningkatkan daya saing yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi.  Ada tujuh hal yang ingin dicapai dalam industrialisasi perikanan yaitu peningkatan nilai tambah, peningkatan daya saing, modernisasi sistem produksi hulu dan hilir, penguatan pelaku industri perikanan, berbasis komoditas, wilayah dan sistem manajemen, berkelanjutan serta transformasi sosial.   
     

            Konsep industrialisasi perikanan sebenarnya akan memberi manfaat yang tepat bila sasaran jelas dan programnya memiliki fokus serta berkelanjutan. Salah satu masalah dalam pengembangan sektor perikanan di Papua Barat adalah minimnya daerah pemasaran, terutama karena nelayan tidak memiliki posisi tawar-menawar harga yang seimbang dengan pedagang besar ikan. Musim cuaca yang berubah-ubah turut berdampak pada turunnya produksi ikan pada perikanan tangkap. Pemerintah daerah seharusnya juga lebih giat dalam mendorong pengembangan perikanan budidaya khususnya budidaya ikan laut. Nasib nelayan perlu mendapat perhatian, tidak hanya terbatas pada pemberian bantuan alat tangkap ikan saja, namun juga dalam hal penyediaan daerah pemasaran ikan. Meningkatnya produksi perikanan tidak serta merta berdampak pada kesejahteraan nelayan. Nilai tambah yang lebih tinggi adalah produk perikanan hasil olahan industri karena selain dapat memenuhi kebutuhan domestik di Papua Barat, juga akan memberi sumbangan terhadap peningkatan pendapatan asli daerah melalui ekspor. Jauh lebih tinggi nilai ekspor produk pertanian hasil olahan industri daripada komoditas perikanan mentah.



            Konsep ekonomi biru dirasa tepat untuk pengembangan ekonomi kerakyatan yang berbasis subsektor perikanan di Papua Barat bila pemerintah daerah dan pihak-pihak yang terkait serius dalam mengembangkannya. Fokus dalam konsep ini bukan pada hasil yaitu peningkatan produksi subsektor pertanian setiap tahun tetapi pada bagaimana mengoptimalkan potensi perikanan di wilayah dengan program yang bersinergi, berkelanjutan serta berwawasan lingkungan. Industrialisasi perikanan perlu tanpa harus mengeksploitasi ekosistem laut secara berlebihan. Utamanya adalah peningkatan kesejahteraan nelayan terutama di daerah pesisir pantai. Pemerintah daerah perlu menyusun suatu masterplan ekonomi biru yang terarah dan berorientasi pada peningkatan subsektor perikanan sebagai penggerak perekonomian. Sektor perikanan khususnya perikanan budidaya tidak bisa lepas dari dukungan pemerintah karena sebagian besar rumah tangga perikanan memiliki skala usaha menengah ke bawah. Konsep ekonomi biru perlu diterapkan dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah, pengusaha, investor dan pihak terkait lainnya demi masa depan subsektor perikanan di Papua Barat yang lebih baik demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan. Diharapkan perikanan akan mampu menjadi salah satu sektor penggerak perekonomian wilayah dan memberi dampak terhadap sektor lain dalam perekonomian melalui proses industrialisasi perikanan.

Pembangunan Papua Barat : Kerangka Model Perencanaan Berbasis Ekonomi Kerakyatan

               Papua Barat merupakan provinsi termuda di Indonesia yang sedang giat-giatnya menggenjot pembangunan terutama pembangunan fisik yang mencakup sarana dan prasarana transportasi dan gedung-gedung pemerintahan. Untuk kepentingan pemerataan pembangunan, agar Provinsi Papua Barat dapat mengejar ketertinggalan dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia maka pemerintah pusat menggulirkan data hingga triliunan rupiah yang dikemas dalam Otsus (Otonomi Khusus), UP4B dan MP3EI. Semua dana itu ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat Papua yang dinilai masih hidup dalam kemiskinan, serba kekurangan dan tertinggal dari segi ekonomi, kesehatan dan pendidikan yang layak.


             Dengan adanya program pemberian dana yang mengalir ke Papua Barat diharapkan dapat menggenjot pembangunan di wilayah tersebut hingga mampu berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) untuk mencapai kemakmuran. Pembangunan yang dilaksanakan seharusnya dilandasi koordinasi dan komunikasi yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Tujuan pembangunan adalah untuk mencapai kemakmuran bagi penduduk di wilayah tersebut termasuk pemerataan pendapatan sehingga ketimpangan yang terjadi antara kaum kaya dan kaum miskin semakin kecil. Selain itu pembangunan juga seharusnya melibatkan peran serta masyarakat karena yang menjadi sasaran pembangunan adalah masyarakat sendiri.


            Pembangunan tidak akan berjalan dengan baik bila tidak dilandasi model perencanaan pembangunan yang sesuai dengan potensi wilayah yang ada. Pemanfaatan dana entah itu dari Otsus, UP4B atau MP3EI harusnya tepat sasaran baik itu untuk program maupun peruntukannya karena kesemuanya ditujukan untuk membantu ketertinggalan pembangunan di Papua Barat. Salah satu contoh, dalam amanat Otsus mengharuskan program pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan pembangunan infrastruktur dasar sebagai prioritas dalam program pembangunan yang dicanangkan pemerintah daaerah.


            Salah satu poin dalam amanat Otsus adalah ekonomi kerakyatan yang berarti perekonomian yang bertumpu pada kekuatan usaha mikro kecil dan rumah tangga. Hal ini dikarenakan basis SDM (Sumber Daya Manusia) di Papua Barat yang masih terbatas dan berpendidikan SLTA ke bawah. Ekonomi kerakyatan berarti berkaitan dengan kebijakan pembangunan ekonomi regional karena perlu dikaji landasan/pijakan sektor ekonomi mana yang menguatkan pembangunan ekonomi di Papua Barat namun tetap diutamakan berbasis kerakyatan. Salah satu metode/cara untuk mendapatkan gambaran tersebut adalah melalui Penyusunan Tabel Input Output (Tabel I-O) yang merupakan model perencanaan sederhana namun secara teoritis terbukti efektif dan dalam kenyataannya telah dirasakan manfaatnya oleh provinsi-provinsi yang telah menyusun Tabel I-O dalam membuat kebijakan pembangunan ekonomi yang terarah, tepat sasaran dan tepat guna. Kerangka model Tabel I-O mampu memperlihatkan interaksi yang terjadi antara sektor-sektor ekonomi di dalam  suatu struktur perekonomian. Artinya Tabel I-O dapat menggambarkan sektor-sektor ekonomi mana yang menjadi keunggulan komparatif wilayah. Keunggulan komparatif yang dimaksud adalah sektor ekonomi yang menjadi penggerak perekonomian wilayah yang berarti potensi ekonomi yang dimiliki oleh suatu wilayah bila bersaing dengan wilayah lainnya.


Secara umum, tabel I-O merupakan matriks yang menggambarkan keterkaitan antar sektor dan keterkaitan sektor dengan pengguna akhir (rumah tangga, pemerintah, perusahaan, dan ekspor-impor) di sebuah perekonomian dalam satu wilayah pada kurun waktu satu tahun. Tabel I-O dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis hubungan antar sektor dalam sebuah perekonomian, menilai pengaruh sebuah sektor terhadap sektor lain, melihat pengaruh sebuah kebijakan yang akan atau telah diambil oleh pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah dapat mengantisipasi dampak yang akan terjadi akibat sebuah kebijakan tersebut. Secara spefifik, tabel I-O dapat mengestimasi jumlah total output, pendapatan, tenaga kerja, dan efek pengganda lainnya yang biasa digunakan dalam analisis ekonomi suatu wilayah.


Sederhananya melalui Tabel I-O pemerintah daerah dapat melihat/mengidentifikasi sektor-sektor mana yang merupakan penggerak pembangunan, sektor-sektor mana yang berkaitan dalam suplai kebutuhan domestik atau barang impor serta manfaat lainnya yang luas. Pmerintah daerah, dalam hal ini pimpinan daerah, tidak perlu memikirkan cara untuk menciptakan lapangan pekerjaan melainkan fokus pada master plan perencanaan sektor-sektor yang dominan menggerakkan perekonomian daerah. Selain itu pemerintah daerah juga perlu menciptakan iklim keamanan yang kondusif, iklim investasi yang bersaing dan pasar persaingan sehat. Dengan demikian, aktivitas perekonomian sendiri yang akan menciptakan arus barang dan jasa untuk mencapai kestabilan perekonomian yang pada akhirnya mendatangkan pendapatan berupa uang yang berputar di wilayah tersebut dengan meminimalisasi arus uang ke luar daerah.


Tanpa adanya model perencanaan yang terarah, intensif, kontinu dan berkesinambungan, pemerintah daerah akan kesulitan dalam memahami perilaku para pelaku perekonomian dan mengendalikan stabilitas ekonomi makro (perekonomian wilayah). Tersusunnya Tabel I-O dapat memberi arahan yang jelas tentang kebijakan setiap bidang usaha atau sektor di Papua Barat, sehingga diperoleh perencanaan yang optimal. Setiap model perencanaan termasuk Tabel I-O juga memiliki kekurangan, yaitu analisis I-O bersifat statis, artinya hanya mengukur struktur perekonomian daerah untuk tahun tertentu saja dan asumsi (syarat) yang digunakan adalah perekonomian selalu dalam kondisi seimbang meskipun dalam kenyataannya perekonomian tidak selalu dalam kondisi seimbang.


            Model perencanaan pembangunan yang ideal dikembangkan di Papua Barat adalah perekonomian berbasis ekonomi kerakyatan. Artinya sektor-sektor yang perlu dikembangkan merupakan sektor primer yang banyak diusahakan oleh rakyat seperti sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian rakyat, serta sektor industri mikro kecil dan rumah tangga. Berdasarkan data PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) tanpa migas (minyak bumi dan gas) tahun 2002-2012, sektor pertanian merupakan penggerak utama dalam perekonomian Papua Barat dengan sumbangan sebesar 30-40 persen terhadap penciptaan PDRB. Sektor pertanian menyumbangkan produk-produk pertanian terhadap keberadaan sektor lain. Salah satunya sektor industri, perdagangan, hotel dan restoran.


            Pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota perlu menyusun suatu model perencanaan berbasis ekonomi kerakyatan untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi yaitu kemakamuran penduduk. Pembangunan yang hanya terfokus pada pembangunan fisik dengan mengabaikan aspek ekonomi akan menyebabkan tujuan pembangunan berhasil secara fisik. Sementara kemiskinan yang makin meningkat, konflik sosial yang terjadi akibat kemiskinan serta angka kriminalitas yang memprihatinkan merupakan buah dari ketidakberhasilan pembangunan ekonomi tanpa model perencanaan yang jelas. Rakyat kecil terutama penduduk asli Papua akan terus menuntut hak mereka agar terbebas dari lilitan kemiskinan dan distribusi (pembagian) pendapatan yang tidak merata.



            Dampak dari tiadanya model perencanaan yang jelas hanya akan menyebabkan ketidakpuasan rakyat sehingga berimbas pada konflik sosial yang berkepanjangan. Pemerintah daerah perlu menyusun suatu kerangka model perencanaan untuk melihat sektor mana saja yang memiliki potensi atau menjadi penggerak aktivitas perekonomian di Papua Barat. Model perencanaan ini seharusnya lebih menitikberatkan pada ekonomi kerakyatan karena berdasarkan penciptaan PDRB, sektor primer memegang peranan dominan dalam menggerakkan pembangunan ekonomi regional sehingga di masa mendatang, sasaran hasil-hasil pembangunan seharusnya dinikmati oleh masyarakat terutama penduduk asli Papua sebagai tuan rumah di negeri Bumi Cenderawasih.

Thursday, February 25, 2016

Resensi Buku : Mengukur Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan



IDENTITAS BUKU

Judul Buku      :  Mengukur Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan
Penulis             :  Indra Maipita
Editor              :  Fitrawaty, S.E., M.Si.
Penerbit           :  UPP STIM YKPN
Tahun Terbit    :  2014
Cetakan           :  Edisi I, Yogyakarta Maret 2014
Tebal               :  xv + 262 Halaman
ISBN               :  978-979-3532-90-5
Kategori Buku            :  Ekonomi


ULASAN BUKU

            Kemiskinan adalah isu yang tidak pernah habis untuk dibahas dikarenakan kemiskinan adalah sebuah fenomena dan realitas yang terjadi di sekitar kita. Banyak buku yang gencar membahas isu kemiskinan sebagai topik utama. Tak terkecuali buku yang berjudul “Mengukur Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan”. Meski konteks kemiskinan tergolong kompleks, namun buku ini mampu menyita perhatian siapa pun yang membacanya karena disusun secara sistematik, mulai dari konsep kemiskinan hingga membahas berbagai kebijakan untuk memerangi kemiskinan. Pembaca tidak digiring dengan konsep dan definisi kemiskinan yang rumit, namun berorientasi pada pengetahuan umum seputar kemiskinan. Buku ini menjabarkan jenis-jenis kemiskinan ditinjau dari berbagai perspektif sehingga akan membuka wawasan dan pengetahuan bagi siapa pun yang membaca, meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan sarjana ekonomi. Secara keseluruhan buku termasuk lengkap, mulai dari konsep dan pengertian, penetapan garis kemiskinan dan jenisnya, penyebab dan dampak kemiskinan, perangkap kemiskinan, cara mengukur, hunbungan pembangunan ekonomi terhadap kemiskinan dan ketimpangan distribusi, serta kapan suatu pertumbuhan ekonomi disebut pro-poor.

Buku diawali dengan Bab I Pendahuluan yang menggiring pembaca pada polemik seputar kemiskinan, pertanyaan atau isu-isu penting terkait kemiskinan serta penjelasan per bab yang berisi ringkasan materi yang ditulis dalam bab-bab tersebut. Buku ini ditulis dalam 10 bab yang saling berkaitan satu dengan yang lain sehingga pembaca disarankan untuk membaca keseluruhan bab agar memperoleh pemahaman komprehensif mengenai kemiskinan. Rumus atau formula yang disajikan bertujuan untuk membuktikan konsep dan teori yang dijabarkan.
 
            Ide dasar dari buku ini berasal dari hasil-hasil penelitian Strategis Nasional (STRANAS) yang telah dimenangkan oleh sang penulis semenjak tahun 2009 hingga tahun 2013 dari DP2M Dikti. Penulis adalah dosen pada Universitas Negeri Medan dan mengajar pada Fakultas Ekonomi dan Program Pascasarjana. Beberapa kali penulis menjadi dosen berprestasi dan dosen sebagai peneliti terbaik di universitas tersebut, yang berarti bahwa penulis telah teruji kompetensinya dari segi penguasaan teori dan terapannya. Selain itu, penulis juga  menjadi anggota masyarakat bidang ilmu, seperti Royal Economics Society-RES, pernah menjadi Short Term Consultant di Bank Dunia cabang Jakarta dan menulis di beberapa jurnal dan surat kabar serta mengelola beberapa jurnal. Pengalaman mengajar penulis sekaligus keaktifannya dalam melakukan berbagai penelitian seperti penelitian Strategi nasional (Stranas) rupanya sangat membantu dalam menjabarkan contoh-contoh kasus dan pola kemiskinan yang terjadi serta cara optimal untuk mengatasinya.

Meski buku ini menggunakan istilah-istilah ilmiah, namun penulis mampu menjabarkannya dengan kata-kata menarik, lugas dan jelas. Buku ini memiliki bahasa yang bersifat koheren, efektif dan sesuai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Bahkan tata bahasa dalam buku tidak terkesan kaku atau formal karena penulis menyusunnya dengan paragraf demi paragraf. Setiap topik terkait kemiskinan disusun per bab sehingga tidak akan membingungkan serta dilengkapi gambar dan tabel yang sangat mendukung materi setiap bab. Data-data yang disajikan menggunakan grafik yang saya rasa tepat penggunaannya dan informatif. Selain itu, berbagai metode kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan ditulis dengan detail dan mutakhir (update) sekaligus dengan berbagai kajian pengurangan kemiskinan. Buku ini wajib dibaca sebagai referensi bagi mahasiswa tingkat sarjana (semester akhir) yang mendalami tentang kemiskinan, mahasiswa pascasarjana, seseorang yang tertarik dalam ilmu ekonomi maupun orang-orang yang berkecimpung dalam pemerintahan, termasuk decision maker atau pengambil kebijakan bidang kemiskinan.
           
            Fitrawaty yang menjadi editor buku ini sepertinya sangat memahami esensi yang ingin disampaikan oleh penulis sehingga hasil editing materi tergolong rapi dan menggunakan bahasa baku yang fleksibel dengan tidak menghilangkan “istilah-istilah keilmuan”. Penulis juga menyertakan teori kemiskinan dari berbagai pakar dan studi pustaka. Dari sisi cover buku dirasa menarik meski tidak berwarna-warni dan memiliki gambar. Untuk lay out tergolong sederhana, rapi, dan terdapat spasi untuk memisahkan narasi dari satu paragraf ke paragraf lainnya. Secara umum, tampilan buku cukup menarik.

            Hal yang paling menarik tentang konten dalam buku ini adalah keragaman sumber pustaka yang saling melengkapi dalam memperkuat teori dan konsep terkait kemiskinan. Semua teori yang termuat dalam buku-buku yang dijadikan sumber referensi oleh penulis memiliki sinergi dalam membangun pengertian lebih mendalam mengenai berbagai metode dalam mengukur kemiskinan dan distribusi pendapatan. Pada hakekatnya, teori-teori yang dimuat dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam penyusunan skripsi maupun tesis. Buku ini juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber kajian oleh peneliti, pengamat dan pemerhati kemiskinan. Menariknya lagi, penulis menampilkan simulasi kebijakan fiskal untuk mengukur sejauh mana dampak kebijakan tersebut terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan yang merupakan suatu kajian empiris yang dilakukan oleh penulis. Hasil kajian ini dapat diimplementasikan oleh pemerintah daerah sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja makro ekonomi yang bermuara pada penurunan kemiskinan.  

            Keunggulan utama buku ini terletak pada bahasa dan detail yang disusun cermat dan rapi. Topik kemiskinan yang “rumit” disuguhkan dengan komposisi kata-kata yang relatif dapat dimengerti dan terkesan jauh dari kompleksitas yang biasanya ditemukan pada buku-buku sejenis yang membahas kemiskinan. Nilai tambah buku ini tercermin juga dari sistematika penulisan yang memenuhi prinsip-prinsip keilmuan yang bersifat ilmiah. Kolaborasi yang apik antara penulis dan editor membuat eksistensi buku ini tetap terjaga dari bab awal hingga bab akhir. Sepertinya baik penulis maupun editor menyadari pentingnya menggugah minat baca bagi siapa pun sejak pertama kali membaca judul dan bab pendahuluan.

            Meskipun buku ini memiliki sejumlah keunggulan, namun terdapat juga sedikit kekurangan. Kekurangan dalam buku ini adalah beberapa bab memuat narasi yang cukup panjang, seharusnya dapat dipisah menjadi beberapa paragraf agar memberi keleluasaan bagi pembaca untuk menelaah kalimat demi kalimat. Sebagai contoh pada Bab 10 “Kebijakan Fiskal : Dampaknya Terhadap Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan” memiliki beberapa uraian yang disusun dalam satu paragraf sehingga hal tersebut akan membosankan pembaca, khususnya yang masih awam dengan “kemiskinan”. Selain itu grafik-grafik yang tersaji tidak berwarna dan cenderung monoton. Monoton dikarenakan grafik-grafik tersebut terbatas pada jenisnya. Pemberian warna perlu dilakukan agar pembaca tidak bosan atau kurang berminat untuk meneruskan bacaannya, mengingat istilah-istilah terkait topik kemiskinan sudah cukup “berat”.

            Kesimpulannya, buku ini dapat menjadi bacaan wajib yang tidak seharusnya dilewatkan begitu saja oleh mahasiswa yang menyusun skripsi tentang topik kemiskinan, mahasiswa pascasarjana yang melakukan penelitian terkait kemiskinan, dan seseorang yang ingin memperdalam ilmu dan pengetahuan tentang kemiskinan. Konsep dan definisi disajikan secara komprehensif sehingga akan membuka cakrawala berpikir khususnya bagi orang-orang yang awam akan pengertian sejati dari “kemiskinan” dipandang dari sisi teori serta beberapa metode yang dapat dipergunakan untuk mengurangi kemiskinan. Penulis buku memiliki segudang pengalaman dalam penelitian sehingga mampu menuangkan setiap ide dan gagasan dengan terstruktur, jelas dan informatif. Buku ini terutama sangat penting untuk membantu seluruh pemangku kepentingan untuk lebih memahami, mendiagnosis dan memberikan solusi untuk mengurangi kemiskinan.