Wednesday, April 13, 2016

Kau Adalah Lelakiku

Aku memandangi wajahnya yang bersimbah keringat. Aku tak kuasa mengalihkan tatapanku yang menelusuri setiap jengkal tubuhnya yang tercipta sempurna. Wajahnya setengah oval dengan bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar bibir, memberikan kesan jantan. Rambutnya yang dipotong rapi pada kedua sisi menjuntai tak mencapai leher. Tubuhnya jangkung kurus dengan otot bisep yang menonjol. Aku menahan napas setiap kali keluwesan tubuhnya menari-nari di depan mataku. Ingin rasanya aku menyentuh kulitnya yang terkesan kasar. Dia tampak serius memeriksa pekerjaannya.
            Asistenku menyela khayalanku yang kian melambung tinggi. Aku sempat terkejut, cepat-cepat aku menyembunyikan perasaan terlarang itu. Berkali-kali aku berhati-hati agar tidak terekspos siapa pun. Aku membayangkan media akan berjingkrak kegirangan bila berhasil mengendus kesalahanku. Aku sudah menjelma menjadi pengusaha furnitur kualitas ekspor yang pernah diwawancarai majalah bisnis yang cukup popular di kawasan metropolis Jakarta.
            Aku cepat-cepat membaca laporan yang diangsurkan asistenku. Order barang lumayan sepi dari luar negeri. Mungkin aku masih harus bersabar dengan kondisi pasar luar negeri yang lesu. Justru permintaan furnitur dari domestik meningkat tajam. Aku menyunggingkan senyum puas.
            “Maaf, AC-nya sudah selesai direparasi. Saya sudah memastikan compressornya berfungsi baik. Freonnya tidak mengalami kebocoran. Ada baiknya minimal tiga bulan sekali AC-nya dicuci.”
            Aku manggut-manggut. Diam-diam mataku menjelajahi setiap keringat yang menetes di wajah hingga dadanya. Dia telah melepas kemejanya, menyisakan kaus dalam yang melekat erat dan membentuk tubuhnya. Tampak menyembul otot-otot perut yang rata. Aku menelan ludah. Aku berusaha menepis kekagumanku yang menjelma menjadi perasaan mendamba yang cukup menyiksa.
            Aku baru bertemu dengannya setengah tahun lalu saat para karyawanku kelabakan mencari tukang servis yang ahli. Tukang servis AC yang lama tak terlalu memuaskan pekerjaannya. AC di toko malah lebih sering rusak. Aku melampiaskan kemarahanku karena terbebani untuk mengawasi tiga toko furnitur di kawasan yang berbeda di Jakarta. Wajah para karyawanku memucat, tak seorang pun berani bersuara. Selama ini aku tahu, mereka tak pernah menyaksikan letupan kemarahanku. Aku selalu bersikap hangat, akrab dan ramah. Aku bahkan mampu mengingat nama mereka termasuk keluarganya dan kebiasaan mereka yang terpatri di otakku. Sejak kecil aku jenius dalam mengingat.
            Orang tuaku amat bangga saat aku menyodorkan raporku yang selalu berprestasi. Mereka bahkan sering menangis terharu saat aku memenangkan sejumlah penghargaan. Aku memiliki tiga kakak perempuan yang ceriwis dan galak. Mereka terkadang mem-bully-ku meski tak parah. Bagi mereka, aku adalah sosok adik manis yang harus selalu menuruti keinginan mereka. Aku bertumbuh menjadi anak yang peka dan sensitive perasaannya.
            Diusiaku yang menginjak 30 tahun, untuk pertama kalinya ada seseorang yang mampu mengguncang hatiku. Aku tak pernah sehari pun melupakan saat pertemuan pertama dengan lelaki itu. Dia tampak tergesa-gesa memasuki toko kami dengan seorang pria. Dengan sorot meminta maaf, dia berbicara pada bawahanku, supervisor toko yang tak sabaran menanti kehadirannya. Ketika itu aku sedang menjelaskan furnitur model terbaru yang diukir pekerja kami pada calon konsumen yang rewel. Aku melirik sekilas dan terkesiap saat tatapan kami beradu. Dia mengangguk sopan. Harus kuakui, aku terkesan dengan aura yang menyelimuti lelaki itu.
            Dia bahkan lihai memperbaiki AC toko yang fatal kerusakannya. Di bulan ketiga, aku mencoba mengorek kesehariannya. Dia berbicara sambil sesekali tersenyum meski tak menghentikan kesibukan kerjanya.
            “Saya lulus sarjana Teknik Arsitektur tapi lebih tertarik mengutak-atik mesin dan elektronik. Jadi selesai kuliah, saya tak mendengarkan orang tua saya untuk mencari pekerjaan tetap. Saya malah membuka usaha reparasi elektronik dan AC dengan modal yang saya kumpulkan selama setahun bekerja di perusahaan konstruksi.”
            Dia mengulas senyum tipis, melirik sekilas lalu memusatkan perhatian pada komponen AC yang telah dibongkarnya. Dia mengerjakannya di gudang belakang toko furniturku. Tanpa sadar aku ikut tersenyum. Makin mengagumi keuletan dan sikap optimisnya yang tak pernah pudar. Dia telah menjadi tukang reparasi AC langganan kami. Bahkan aku terkadang memanggilnya bila ada alat elektronik yang rusak di rumahku. Dia memuji penuh antusias saat muncul di depan rumahku untuk memperbaiki TV LCD di kamar yang sengaja kurusakkan.
            Kesuksesanku makin menginspirasinya untuk menekuni usahanya. Dia memiliki cita-cita ingin sukses membangun usaha reparasi alat elektronik terbesar di Jakarta. Aku menyemangati impiannya. Dulu aku juga begitu bersemangat di masa muda. Mengenyahkan perasaan buruk yang menekan saat orang tuaku akhirnya mengetahui rahasia terbesarku. Ibu menangis terisak tanpa henti, sementara Ayah terdiam membisu beberapa lama di kursinya.
            “Maafkan aku, Ayah, Ibu. Aku sudah berusaha melawan sisi hatiku sejak dulu. Aku juga tak menginginkannya tapi sekeras apa pun aku menghindarinya, pada akhirnya aku menjadi putus asa.” Aku berusaha meredam luapan perasaanku yang diliputi keputusasaan.
            Ayah memandangku seolah menerawang jauh. Ibu makin menangis keras, tak mampu menanggung kekecewaan yang menghantamnya. Setelah membisu dengan pikirannya, Ayah pun menarik napas dan menghembuskannya panjang.
            “Baiklah, kalau memang itu keputusanmu, Nak. Tak ada lagi yang bias Ayah katakan. Ayah akan berusaha memahami isi hatimu.”
            Mau tak mau aku menghela napas lega. Ayah begitu bijaksana, tak pernah menghakimi kesalahanku di sepanjang memoriku. Aku merasa bersalah saat menatap gurat-gurat kelelahan yang menghiasi wajahnya. Seketika wajahnya bertambah tua beberapa tahun.
            Kini, aku tak lagi melarikan diri. Aku memutuskan untuk mengabaikan suara-suara sumbang yang menyangsikan keberadaanku. Aku berusaha hidup normal seperti orang lain. Sepuluh tahun bergulat dalam peperangan batin yang menyiksa cukup membuatku lelah luar biasa. Ketiga kakak perempuanku yang telah menikah sempat kaget tak percaya. Namun tak ada yang mencela atau mencemoohku. Sedikitnya aku masih bisa bersyukur Tuhan menghadiahi keluarga yang tetap menerimaku apa adanya.
 * * * * *
            Aku mematut-matut penampilanku di depan kaca. Kemeja semi formal dan celana skinny panjang berbahan katun. Sejak tadi aku gelisah menanti pertemuan dengan si lelaki tukang servis. Namanya Mas Doni Setyawan. Aku baru mengetahui namanya sebulan lalu. Biasanya aku hanya memanggilnya “Mas”. Aku mengusulkan pertemuan di kafe untuk membahas rencana ekspansi bisnis dari jasa reparasi alat elektronik dan AC miliknya. Aku bahkan akan menginvestasikan modal untuk membuka toko yang menjual alat-alat elektronik dan AC.
            Tadinya dia enggan mengungkapkan impian yang terus mengusik pikirannya. Setelah aku membujuk setengah memaksa, dia akhirnya mengatakannya dalam satu tarikan napas.
            Entah mengapa, dadaku selalu berdetak dua kali normal saat berhadapan dengannya. Aku canggung layaknya wanita yang jatuh cinta. Namun dia tak menyadari rona merah di wajahku setiap kali dia tersenyum. Dia juga tak tahu bila aku diam-diam suka memandangi wajahnya. Di luar pekerjaan, Doni tetap memancarkan kehangatan dan keramahan yang menyejukkan hatiku. Dia tak memerhatikan kekikukan yang menyergapku setiap kali dia menepuk pundak atau menyalami tanganku dengan semangat.
            Pertemuan itu terus berlanjut. Perasaanku kian tumbuh bak bunga-bunga yang bermekaran. Sia-sia saja aku menyingkirkannya. Akhirnya aku pun memasrahkan diri. Aku akan menyimpan rapat-rapat perasaan asing yang menyenangkan ini. Tak seorang pun boleh merampasnya atau mencela ketulusan hatiku.
            Setelah pertemuan-pertemuan yang intens, Doni mengajakku mengunjungi calon toko baru yang akan mewujudkan cita-citanya. Di sana aku bertemu dengan dua orang temannya. Seorang lelaki agak gempal dan seorang wanita manis yang mungil. Sempat terbersit rasa cemburu saat menyaksikan Doni berinteraksi dengan akrab kepada Reta, nama wanita itu. Katanya dia adalah teman kuliahnya dulu tapi berbeda jurusan. Mereka bertemu saat keduanya bergabung di organisasi PA (Pecinta Alam). Reta dan Doni saling tertawa-tawa dan bercanda. Aku berjuang keras menekan kejengkelan yang menyusup.
            Tak hanya sekali dua kali, bahkan Reta juga menyeruak di antara kami berdua saat pembicaraan strategi bisnis di kafe langganan kami. Dia melontarkan ide-ide dengan wajah sumringah. Beberapa kali aku menangkap pancaran sinar mata Doni yang menatap Reta lekat-lekat sambil menyunggingkan senyum geli. Dia bahkan sering mengacak-acak rambut Reta hingga wanita itu mengomel. Padahal aku menangkap basah senyum manis yang menghiasi wajahnya setelah diperlakukan begitu. Aku mengerang dalam hati. Sampai kapan aku akan sanggup menahan gejolak hatiku yang kacau.
            Setiap hari di kantor, aku melamun membayangkan hari-hari yang dilewati Doni dan Reta. Sepertinya mereka terikat oleh masa lalu dan takdir pertemuan yang abadi. Sudah sepuluh tahun kebersamaan mereka yang takkan dapat kutaklukkan. Mengapa bukan aku yang bertemu Doni sepuluh tahun yang lalu?Suatu saat aku merasa jantungku akan meledak bila terus memendam perasaan sakit dan cemburu ini.
            Doni tak pernah menyadari kegalauan hatiku yang dikacaukan oleh kehadirannya. Tak seharusnya perasaanku menjadi sesensitif ini. Sisi kewanitaanku kian menguasai jiwaku. Tak pernah aku begitu gelisah hingga tak mampu memejamkan mata di malam hari. Aku masih terus berharap dapat memandangi Doni selamanya. Aku ingin sosok Reta tak hadir di antara kami. Masih sisa dua bulan lagi sebelum aku kehabisan alasan untuk bertemu Doni.
            Percik-percik bahagia membanjiri seluruh rongga hatiku saat Doni berhasil membeli toko yang diidam-idamkannya dan mengisinya dengan berbagai merek barang elektronik. Aku sibuk mengkomando para pekerja yang hilir mudik membawa masuk barang-barang. Tak kutangkap sosok Doni di sekitar toko. Mungkin dia sibuk di belakang toko yang menjadi gudang reparasinya. Mataku berseri-seri saat sosoknya tampak dari kejauhan di sudut kiri gudang. Namun langkahku terhenti saat mendengar perdebatan Doni dengan Aris, si lelaki gempal sahabatnya. Reta berdiri tak jauh dari keduanya. Aku spontan menyembunyikan diri, menguping pembicaraan mereka.
            “Don, laki-laki yang membantumu itu pasti gay. Aku sudah sejak lama memerhatikan gerak-geriknya. Sebaiknya kau menjauh darinya sebelum keadaan lepas kendali. Bukannya aku ingin menjelek-jelekkannya. Dia memang baik, tapi orientasi seksualnya akan membahayakanmu. Dia pasti suka padamu.”
            “Yang benar saja, Ris. Jacky bukan gay. Jangan menuduhnya.”
            Aris menghela napas putus asa. Dia mengacak-acak rambutnya yang keriting dengan luapan frustasi.
            “Reta, coba katakan sesuatu. Katakan kalau bukan aku saja yang merasakannya. Laki-laki itu pasti gay tulen. Sudah berapa kali aku menangkap basah tatapannya yang tak biasa pada Doni. Kelelakian Doni pasti menarik hatinya. Aku benar-benar gila.”
            Reta menghembuskan napas. Dia mendekati Doni, menjejerinya, menatapnya dengan jenis tatapan yang pastinya akan meluluhkan hati Doni.
            “Aku juga merasakannya, Don. Dia menyukaimu. Aku tak kan menghakimi orientasi seksualnya karena aku tidak berhak menghina harga diri seseorang. Aku hanya ingin kau mengatakan perasaanmu padanya. Pasti sulit memendam perasaan sebesar itu.”
            Tiba-tiba jemari-jemariku gemetaran. Aku takut kejujurannya akan menghancurkan hatiku. Aku benar-benar ketakutan bila dia menyadari diriku yang abnormal. Aku sungguh kalut hingga cepat-cepat pergi meninggalkan mereka.
* * * * *
            “Maafkan aku.” Ketakutanku menjelma nyata saat dia mengucapkannya. Seakan itu vonis kematian yang menentukan napas kehidupanku.
            Aku dapat memahami sepenuhnya ketidaknyamanan dalam suaranya. Aku mencela diriku yang tak berdaya dengan perasaan ini. Namun segumpal kelegaan menyusup tatkala pikiran buruk yang sempat menghantuiku tak terjadi. Doni menghadapi kenyataan itu dengan tenang dan damai.
            “Aku takkan meminta kau untuk membuang jauh-jauh perasaan itu. Aku tak berhak untuk itu. Aku memikirkan ini cukup lama. Pada akhirnya aku harus berterima kasih karena kau telah banyak membantuku. Aku tak dapat membalas kebaikanmu. Tapi aku akan mengakui satu hal. Aku hanya mencintai Reta. Aku bahkan sudah melamarnya untuk menikahiku.”
            Doni memandangku penuh simpati. “Tolong mengertilah. Aku berharap kau tidak membenci hidup dan dirimu sendiri. Aku akan mencoba memahami apa yang anda alami selama ini.”

            Pertahananku runtuh. Aku menangis, meminta maaf berulang-ulang. Belum pernah aku bertemu dengan seseorang yang tak mencibir atau menghakimi anomali yang terjadi padaku kecuali keluarga sendiri. Dia sungguh lelaki yang baik yang tak pernah akan kutemukan lagi di dunia ini. Aku berharap akan ada lagi orang-orang yang sepenuhnya memahami dan tak memandangku dengan tatapan aneh yang menuduh. Bagaimana pun aku juga dilahirkan ke dunia dengan sempurna, seperti orang-orang normal yang lain. Hanya saja jiwaku bertentangan dengan identitas fisikku sehingga itu sungguh menyiksaku seumur hidup. Aku hanya butuh pengakuan tentang eksistensiku di dunia. Itu sudah lebih dari cukup.

(Penggalan kisah untuk sahabatku, Februari 2016)
Copyright @ElfryantyNovita

Sensus Ekonomi 2016 : Data Mencerdaskan Bangsa

           Sensus ekonomi 2016 adalah salah satu perhelatan nasional yang akan digelar pada bulan Mei 2016. Meski dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik sebagai penyelenggara yang ditunjuk oleh pemerintah, namun Sensus Ekonomi 2016 pada hakikatnya merupakan agenda nasional yang perlu didukung oleh seluruh pihak, tak hanya oleh pemerintah setempat namun juga para pelaku usaha dan masyarakat. Sensus ekonomi dilaksanakan untuk mendapatkan potret utuh perekonomian bangsa, sebagai landasan penyusunan kebijakan dan perencanan pembangunan nasional maupun regional.




            Ungkapan data mencerdaskan bangsa bukan hanya sekedar kata-kata karena didalamnya terkandung pengertian mendalam bahwa dalam membuat suatu perencanaan pembangunan memerlukan data sebagai landasan informasi yang pada akhirnya akan bermanfaat untuk kepentingan bangsa. Data diibaratkan pondasi sekaligus pilar pembangunan. Data tidak hanya sekedar berisi informasi, namun juga dapat digunakan sebagai pijakan untuk menyusun program pembangunan yang berorientasi kesejahteraan bangsa. Bila pemerintah nasional atau regional akan merencanakan suatu kebijakan misalnya dalam bidang ekonomi seperti bantuan beras untuk keluarga miskin atau pra sejahtera, maka pemerintah harus memiliki informasi data seperti jumlah penduduk miskin berdasarkan acuan tertentu, persebaran penduduk miskin berdasarkan wilayah, serta identitas penduduk miskin tersebut mencakup nama, alamat, jumlah pendapatan yang diterima dan jumlah anggota rumah tangga. Dengan demikian, pemerintah nasional maupun regional memiliki patokan jelas dalam mengalokasikan bantuan sekian rupiah dari anggaran APBN atau APBD untuk penduduk miskin yang berhak memperolehnya. Masih segar dalam ingatan bangsa Indonesia, pada saat Bantuan Tunai Langsung (BLT) pertama kali digulirkan pada tahun 2005, jumlah penduduk yang mengaku miskin seketika membludak. Protes terus dilayangkan pada pemerintah terkait mekanisme pendataan yang menghasilkan basis data penduduk miskin. Kini kegiatan pendataan apa pun menjadi sorotan publik bila tak sesuai dengan realita di lapangan.


            Memasuki tahun 2016, bangsa Indonesia akan bersiap menyambut pendataan skala nasional yaitu Sensus Ekonomi (SE) 2016. Agenda Sensus Ekonomi ini adalah pendataan seluruh sektor usaha secara menyeluruh (selain sektor pertanian) yang akan menghasilkan gambaran lengkap mengenai perekonomian Indonesia dari level nasional hingga regional meliputi level dan struktur ekonomi non-pertanian termasuk informasi dasar dan karakterisktiknya. Bahkan Sensus Ekonomi 2016 juga akan meghasilkan informasi untuk pengembangan usaha dan daya saing bangsa. Cakupan dalam SE 2016 yang menyeluruh tidak hanya terbatas pada skala usaha besar dan menengah saja (UMB), namun juga usaha yang bersifat skala UKM (Usaha Kecil Menengah) dan sektor informal. Dengan cakupannya yang luas, SE akan mampu menjaring usaha-usaha yang selama ini terpinggirkan atau luput dari perhatian pemerintah. Tidak akan ada lagi usaha-usaha kecil yang mengalami mati suri jika pemerintah memiliki landasan data dalam perencanaan pembangunan yang berbasis ekonomi kerakyatan. Pemerintah perlu menopang UKM terutama  yang berdomisili di tingkat kabupaten/kota agar mampu mandiri dan berdaya saing tinggi, terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas seperti MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN).


            Hasil pendataan SE 2016 akan menyediakan informasi pemetaan daya saing bisnis menurut wilayah. Manfaat terbesar lainnya adalah hasil pendataan SE 2016 dapat digunakan sebagai tinjauan prospek bisnis dan perencanaan investasi di Indonesia. Bila investor asing atau domestik memiliki ketertarikan untuk berinvestasi di Kota Sorong misalnya, maka mereka dapat melihat gambaran umum melalui hasil pendataan SE 2016 yang dipublikasikan sehingga publikasi SE 2016 dapat diibaratkan sebagai prospektus. Menurut Wikipedia, prospektus adalah gabungan antara profil perusahaan dan laporan tahunan yang menjadikannya sebuah dokumen resmi yang digunakan oleh suatu lembaga/perusahaan untuk memberikan gambaran mengenai saham yang ditawarkan untuk dijual kepada publik. Pertanyaan yang krusial adalah apakah SE 2016 sebagai basis data untuk potret ekonomi Indonesia akan mencerdaskan bangsa?



            Pada dasarnya data dapat mencerdaskan bangsa bila memberi informasi yang sahih atau valid tentang suatu indikator. Mahasiswa yang menggunakan data yang tepat dalam penyusunan skripsinya akan mampu menghasilkan analisis dan kesimpulan yang tepat pula sesuai tujuan yang dirumuskan. Demikian pula bila pemerintah nasional maupun daerah dalam menyusun program kebijakan pembangunan bila menggunakan data yang sesuai, maka tujuan program dan sasaran yang ditargetkan tersebut akan tercapai. Dalam menghasilkan data yang bersifat mencerdaskan bangsa perlu adanya dukungan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, akademisi, tokoh-tokoh masyarakat hingga masyarakat umum. Ayo sukseskan SE 2016!