Sunday, August 28, 2016

Elegi dan Wallpaper Senja

             
Aku merutuk kesal. Berkali-kali aku melirik jam tangan yang seolah menyuarakan ejekannya. Bisikan sisi jahat terus membujuk sambil memanas-manasi gumpalan kemarahan yang memang sejak tadi kutahan. Dua jam penantian sia-sia. Si Jabrik Tulen, julukanku pada Rio kalau sedang kesal, tak seharusnya menelan semua dopamin yang bersemayam dalam hatiku.
            Batinku berkecamuk. Dua suara berlawanan terus mengacaukan sistem otakku yang sedang berpikir keras. Aku pun meluapkan kekesalan, tak memedulikan tatapan kaget orang-orang yang sedang menunggu di halte bus.
            Satu, dua, tiga aku terus menghitung detik demi detik sebelum lima menit berlalu. Detik kesepuluh, sosok yang kunanti sejak jam sepuluh akhirnya muncul dari seberang sambil berlari-lari panik. Dia jangkung kurus, bermata sipit segaris, kulit yang putih pucat dengan rambut jabrik karena kelebihan gel rambut. Kadang aku aku mengejek rambutnya sampai wajahnya cemberut total.  
            Aku melipat tangan di dada. Rio berdiri di depan sambil mengatur napasnya, persis ikan mas koki yang minum air.
            “Maaf, Em. Tadi si Geng Berat minta tolong memeriksa kerusakan PC. Mereka mau main PS seharian tapi tiba-tiba PC troubleshooting.”
            “Jabrik, sudah berapa kali sih kamu dimanfaatkan mereka di hari Sabtu?Ini yang ke-49 kali sepanjang tahun ini, kamu hampir membatalkan rencana kita.” Pekikku histeris.
            Rio menatap memelas. Dia sampai menyatukan tangannya, meminta maaf sambil menundukkan kepala. Aku menghela napas kesal. Maklum, hari ini kami janjian mengunjungi Kakek Rustam di Panti Jompo. Sudah setahun terakhir, kami berteman dengan Beliau saat masih kerja sebagai sukarelawan. Aku ingin menumpahkan amarah, namun tampang memelas Rio selalu sukses membuatku goyah.
Sebenarnya Rio dihukum Tante Ira, mamanya menjadi sukarelawan gara-gara membohonginya. Aku menemaninya sebagai bentuk solidaritas sejati. Semua berawal dari sekitar setahun lalu, Rio berjanji akan mengunjungi Oma Sandra, neneknya di Cibubur dan menginap di sana selama libur semester. Ternyata dia justru berkelana ke Gunung Rakutak bersama teman Klub PA di hari kelima. Dia membohongi Oma. Naas, seminggu kemudian Oma terserang stroke dan meninggal dunia. Betapa terpukulnya Rio dan keluarganya. Padahal Tante Inggrid yang tinggal bersama Oma sedang dinas ke luar kota.
            Aku takkan pernah melupakan wajah Rio yang syok. Seharian dia hanya menatap kosong dan linglung, persis pasien Demensia yang dirawat Ayah. Selesai pemakaman, dia tak beranjak dari peristirahatan terakhir Oma. Bahkan saat aku menepuk-nepuk bahunya, dia tetap menahan tangis yang kuyakin nyaris melumpuhkan dadanya.
* * * * *
Lagi-lagi aku menunggu kehadiran Rio. Hari ini kami janjian akan ke peluncuran novel baru karya novelis favoritku. Tadi dia menelepon sedang berkutat dengan persiapan Pentas Seni Tahunan. Kebetulan Rio dipilih sebagai sekretaris BEM. Aku benar-benar kasihan padanya. Sejak SMP, Rio adalah orang paling populer sejagat. Tampangnya tergolong pas-pasan, pendapatku yang memang hanya tertarik bersahabat dengannya. Kami sudah bertetangga sejak kecil. Dari TK sampai kuliah, kebersamaan kami seolah abadi. Aku selalu melewati hari-hari penuh warna bersamanya hingga aku seakan mampu membaca perasaan yang terukir di hatinya.
Rio adalah sosok teman yang menyenangkan, humoris dan pintar bergaul. Berbeda denganku yang santai dan cuek, Rio tak pernah mengabaikan siapapun yang membutuhkannya. Dari Senin hingga Minggu, dia selalu memiliki jadwal padat. Aku bahkan harus memaksanya untuk menemaniku. Tante Ira saja sering mengeluhkan kesibukan Rio yang segudang. Tak hanya itu, entah sudah berapa banyak temannya yang berkunjung ke rumah. Dari teman main PS sampai kenalan dunia maya.
Sejujurnya, aku sedih sekaligus iba pada Rio. Hingga kini, aku lebih suka sosok Rio yang tumbuh dengan dua kakak perempuannya yang paling suka mengusilinya. Sementara aku tertekan dengan perlakuan protektif dua kakak laki-lakiku. Cuma Rio satu-satunya sahabat yang kuandalkan. Namun memasuki kuliah, Rio perlahan-lahan disibukkan dengan aktivitasnya yang seabrek. Pada akhirnya aku merasa ditinggalkan. Bunda sering berkelakar kalau aku adalah Wallpaper dan Rio sebagai Desktop-nya. Maklum, Bunda adalah pakar IT di kantornya sekaligus Master IT si Rio.
Dering ponsel membuyarkan lamunanku yang mengembara. Di layar terpampang nama “Jabrik Tulen”. Seperti dugaanku, janjian kami batal. Persiapan seni menguras waktunya seharian. Meski aku mengomelinya, dia hanya tertawa meminta maaf. Aku tak mampu membencinya tapi aku sangat tak menyukai kepopulerannya yang memuncak.
Sejurus kemudian, aku tergelak geli. Posisi kami telah tertukar. Dulu saat SD, akulah si Populer yang super aktif dalam semua kegiatan sekolah. Sedangkan Rio adalah si Penyendiri yang terhimpit dalam rubik ciptaannya. Dia tak pernah nyaman berteman dekat dengan siapa pun selain aku. Maklum, dia tumbuh kesepian saat orangtuanya sibuk bekerja. Akulah yang susah payah menyeretnya keluar dari dinding penjara imajinasinya. Aku juga menyemangatinya untuk aktif bergaul. Kini, siapa yang akan percaya, Rio si Introvert telah bertransformasi total menjadi si Populer Tulen.
Dua minggu kemudian, aku harus menelan keenggananku, menyambut perayaan ke-20 tahun aku dilahirkan ke dunia. Bunda tak menggubris pintaku untuk membatalkan acara ultah. Bahkan aku juga terpaksa ikut membantu Bunda memasak. Tante Ira amat antusias membantu kami seharian.
Aku menelan ludah saat bolu labu kukus, kesukaanku dan Rio menebar harum menggoda. Saat aku ingin mencolek kelembutannya, Bunda spontan melancarkan pelototan mautnya.
“Emi, kuenya baru bisa dimakan tiga jam lagi. Kamu sudah telepon Rio?Dia bisa datang nanti, kan?”
Aku cemberut. Ini sudah ketiga kalinya Bunda menanyakan Rio.
“Katanya dia masih rapat SEMA. Mereka mau membahas acara Perpisahan Alumni.”
Alis Bunda terangkat. Tante Ira muncul dari arah dapur.
“Jangan tanya lagi, Lia. Si Rio itu sudah lebih sibuk daripada pejabat daerah. Aku saja jarang ketemu dia. Setiap hari dia pergi pagi dan pulang malam.”
Aku mendesah resah. Kesibukan Rio sudah kelewat batas. Apa menjadi populer lebih bermakna daripada kebersamaan dengan keluarga dan sahabatnya?
Aku tersentak kaget saat dering ponsel memporak-porandakan lamunanku yang terajut. Bunda cepat mengangkat ponselnya dan bergegas ke arah depan. Aku menoleh ke arah Tante Ira yang sibuk menuang sup ke dalam mangkuk besar. Rona wajahnya membiaskan kesedihan.
Aku pun menekan nomor Rio. Berharap meski sia-sia, dia akan menjawab ponselnya.
“Ya, halo?”Suara seorang gadis. Aku mengernyit heran. Keraguan menyelimutiku.
“Ini bukannya ponsel Rio Dericko?”
“Ya, ini dengan Juni, temannya di SEMA. Tadi si Rio minta ijin pulang. Dia buru-buru sampai lupa ponselnya ketinggalan di atas meja ketua. Katanya hari ini ada acara spesial sahabatnya yang tidak boleh dilewatkan.”
Keharuan tiba-tiba menyeruak. Aku menahan perasaan bahagia bercampur bangga. Ternyata aku tak terlupakan sama sekali. Saking terharunya, tanpa sadar aku menyenggol piring kue yang tergeletak di ujung meja. Piring itu pun pecah berkeping-keping menghantam lantai. Bukan aku saja yang kaget, Tante Ira dan Bunda buru-buru masuk ke dapur disusul Bibi Inem yang latah melontarkan suara.
Bunda mengomeli pikiranku yang mengembara tak jelas. Tante Ira menatap prihatin sambil bergegas menyelamatkanku yang masih tak pulih dari kaget. Entah mengapa kecemasan menyerangku bertubi-tubi. Jantungku berdetak kencang seolah ingin berlompatan. Aku masih linglung dengan tatapan mata yang kian kabur. Bunda dan Tante Ira sampai cemas dan mengguncang badanku. Mendadak yang terlintas di benakku adalah sosok Rio.
Firasat aneh itu akhirnya melumpuhkan duniaku seketika. Telepon seseorang mengabarkan sosok Rio yang berpulang ke haribaan setelah menghembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan ke rumah sakit. Motornya bertabrakan dengan truk yang melaju kencang dari arah berlawanan. Supir truk itu mengantuk hingga truknya menghantam motor Rio. Kami bahkan kehilangan dirinya sebelum sempat mengucapkan kata-kata.
* * * * *
Aku terhenyak saat memandang wajah-wajah asing yang membanjiri pemakaman Rio. Kesedihan mereka nyata terpancar hingga membuat dadaku sesak. Aku telah kehilangan sahabat terbaik yang selalu menghiasi hari-hariku. Aku seakan tak mampu menopang sekujur tubuhku yang lunglai. Tak ada kata-kata terucap yang mampu melukiskan kesedihan yang melandaku.
Tangisku pecah saat seorang teman Rio mengucapkan kata-kata belasungkawa yang paling menyentuh. Kuakui, ternyata kehidupan super sibuk Rio membuahkan hasil. Rumah besar Rio bahkan penuh sesak orang-orang hingga ke halaman dan luar pagar rumahnya. Tak hanya aku yang sangat kehilangan dia. Benar kata Bunda, Rio adalah “pusat dunia”, Desktop yang terus memenuhi layar. Sementara aku si wallpaper yang dapat diganti kapan pun. Aku tak peduli. Aku tahu, Rio meraih kepopulerannya susah payah dan ketulusan tanpa henti.
Sayup-sayup aku meresapi elegi yang menenggelamkan kesedihanku. Kesedihan ini takkan sirna dalam beberapa hari. Aku akan mengenang si “Jabrik Tulen” yang mewarnai duniaku dengan kebaikan hatinya. Aku bahkan menyesali perdebatan kami yang memanas dalam tiga bulan terakhir hanya gara-gara kepopulerannya yang mengganggu.   
Sebulan lamanya aku berkubang dalam kesedihan. Hari-hariku terasa sepi tanpa tawa dan keusilan Rio. Aku seakan-akan membayangkan siulan dan teriakannya dari pintu pagar rumahku. Di kampus, aku menemukan beberapa orang yang masih mengenang sosok Rio. Bahkan Geng Berat, anak SEMA dan anggota BEM sering menyapa bila berpapasan denganku. Mendadak aku terkenal gara-gara Rio selalu membanggakan semua kelebihanku. Sedikit demi sedikit aku dapat berbagi kesedihan tentang Rio pada teman-temannya.
Tante Ira dan Om Budi akhirnya memutuskan pindah ke Jogja. Sehari sebelum pergi, Tante Ira menyerahkan sebuah diari. Diari itu ditemukan saat Tante Ira membereskan semua peninggalan Rio. Aku berjuang menahan air mata saat beradu tatap dengan sinar kesedihan yang terpancar di wajah Tante Ira yang tak bercahaya. Pelukan darinya terasa meremukkan hatiku.
Akhirnya aku menyepi di kamar untuk membaca diari coklat milik sahabatku. Untuk pertama kalinya, ketegaran yang kuperjuangkan selama beberapa hari runtuh oleh seuntaian ungkapan Rio sehari sebelum hari ultahku. Dia ternyata tak benar-benar mengabaikan aku, sahabatnya. Meski teman-teman yang tak terhitung banyaknya mengitari dan menyenangkan harinya, bagi Rio aku adalah sosok sahabatnya yang tak tergantikan.
Dear diari, besok adalah ultah si Emi yang Baik Hati. Aku sudah diam-diam menyiapkan kado untuknya. Aku juga ingin meminta maaf padanya. Kurasa aku terlalu sibuk padahal dulu aku berjanji akan menjadi sahabat terbaiknya. Tiga bulan ini terasa tidak nyaman karena kami berdebat terus. Dia pasti tidak tahu, kalau gara-gara dialah aku mau bergaul dengan orang-orang dan menjadi populer. Kurasa dia lupa kejadian saat kelas 6 SD. Dia yang memaksaku ikut Pramuka, klub bulutangkis, kelompok belajar dan entah apa lagi. Menurutnya, suatu hari nanti semua orang di dunia akan menyukai kehadiranku bila aku mau berteman dengan dunia.”
Dear diari, mungkin menyenangkan bila dunia menyukaiku dan aku menjadi orang tenar. Tapi mengapa aku masih merasakan kesepian yang hampa. Cuma Emi yang sepenuhnya memupuskan kekosongan itu dan menerimaku tanpa kepalsuan. Dia sahabat terbaik, bukan?Semoga dia akan tersenyum menyambut kadonya besok. Aku juga akan memikirkan prioritas hidupku, bukan lagi mengejar ketenaran yang sia-sia. Seperti kata-katanya waktu itu.”
Aku menggigit bibir. Tak mampu membendung air mataku yang mengalir lembut. Aku membiarkan kesedihan itu bergulir seakan tanpa batas. Untukku, Rio-lah si wallpaper yang memancarkan keindahan tiada akhir. Bahkan dia bak senja yang selalu membiaskan garis-garis cahaya yang memancar dan memesona siapa pun yang memandangnya hingga kegelapan malam perlahan-lahan menelannya. Akhirnya aku berdamai dengan kesedihan yang menyiksaku selama ini.

Terbayang wajah Rio yang mengedip jahil. Elegi dengan melodi indah mengalun.

@copyright 2016, Memori di Bulan Agustus, ElfryantyNLT