Aku
berusaha mengumpulkan keberanian sementara menanti vonis yang meluncur dari
bibir ortuku. Kesunyian total menyelimuti kami. Aku mengawasi ekspresi Papa dan
Mama. Wajah Mama masih menyisakan perasaan seakan ditampar bercampur putus asa.
Sementara Papa tampak berpikir keras. Keningnya berkerut luar biasa. Rupanya
Papa benar-benar serius.Aku tegang setengah mati. Kubulatkan tekad agar tak
satu pun kata-kata Papa nanti yang mengoyahkanku. Aku makin gelisah dalam
duduk. Tanganku dingin. Keringat mengalir setes demi setetes.
Akhirnya
seolah seabad telah berlalu, Papa berdeham. Menarik napas perlahan-lahan,
sebelum menatapku tajam.
“Sayang,
kenapa harus Papua Barat?”
Aku
menelan ludah. Bukannya aku sudah mengatakan alasannya?Mengapa Papa perlu bertanya
lagi?Sia-sia usahaku berceloteh panjang lebar.
“Papa,
tadi kan aku sudah menjelaskannya. Apa Papa mau aku mengulang kembali semuanya
dari awal?”
“Oh,
lupakan saja.”Papa tampak gelisah. Membisu lagi. Oh, aku benar-benar tersiksa.
Kualihkan
tatapanku ke arah Mama. Mama lebih parah. Airmata seakan siap jebol kapan saja.
Aku mendesah lega saat Beliau berusaha menahan diri. Hatiku seketika akan luluh
menyaksikan Mama meneteskan airmata.
“Pa,
maafkan Rena. Rena …”
Aku
ikut diam. Sepertinya ketularan diamnya Papa. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam.
Aku memandang taplak meja berukir bunga. Hening sejenak.
“Pa
…”
“Papa
tahu, sayang. Tolong beri waktu Papa dan Mama memikirkannya dulu. Rasanya …
sulit. Kamu tahu. Papua Barat … hmm …tempat yang cukup jauh. Terlalu jauh
malah. Seperti di ujung bumi. Jadi … ya … Papa bukannya melarang. Hanya … Papa
rasa Mama juga perlu waktu.”
Oh,
rasa bersalah menghujam dadaku keras. Belum pernah Papa segugup itu. Papa yang kukenal
selalu tenang, bijak dan bisa diandalkan.
“Oke,
Pa. Rena mengerti kalau Papa dan Mama butuh waktu mempertimbangkannya. Tapi
Rena mohon. Rena amat menginginkannya.” Aku menatap Papa pasrah.
Papa
tersenyum menenangkan. Sinar matanya tampak suram. Mama masih terisak. Aku pun
pamit pergi. Bagaimana pun percuma membujuk ortuku saat ini. Mereka terlihat
lelah dan shock.
Mungkin
kalian akan mencelaku habis-habisan. Aku telah mengecewakan ortuku. Lebih dari
sekedar kecewa malah. Bahkan teman-teman dekatku ikut heboh. Mereka kompak menyuarakan
protes. Mengapa harus ke Papua Barat?Kan masih ada tempat lain yang lebih baik!Demikian
alasan mereka. Astaga!Kayak itu tempat terkutuk saja. Seolah-olah kau akan mati
pada kesempatan pertama saat menginjakkan kaki di sana.
Aku
tahu siapa pun akan menentang. Aku tahu, banyak cerita mengerikan tentang
provinsi paling ujung timur itu. Gempa bumi, wabah malaria, epidemik AIDS,
bahkan perang antar suku. Namun apa daya. Aku terlanjur jatuh cinta dan terlalu
ingin mencurahkan hatiku ke sana. Dan kesempatan sekali seumur hidup itu ditawarkan
dosen pembimbingku, Dr. Rahardi Baskoro, spesialis penyakit dalam. Beliau
sangat memuji skripsiku berjudul “Penanganan Malaria Epidemik di Daerah Tropis
Indonesia yang Minim dan Potensial Wabah-Studi Empirik Lima Kabupaten di
Provinsi Papua dan Papua Barat”. Bahkan Dr. Reinaldi Hariawan, dosen pengujiku
yang terkenal pelit nilai di kampus memberi aplaus kelewat heboh. Beliau
menawarkan posisi ko-as di Papua Barat. Koleganya, dokter spesialis malaria
sudah 3 tahun menghabiskan hari-hari di sana.
Sejak
mengerjakan proyek skripsiku, aku pernah sambil lalu mengutarakan kemungkinan
aku ingin mengabdi ke Papua Barat. Namun Papa hanya tergelak, candaanku
benar-benar lucu baginya. Sementara Mama terbelalak sejenak, lalu beliau
menganggapku main-main. Aku jadi tak tega berkata jujur. Bisa-bisa sakit
jantung Papa kumat.
Aku
pun memendamnya dalam hati. Menyimpan rapat di suatu sudut terdalam. Berharap
mampu meluapkannya suatu hari. Maka aku pun memilih hari itu. Tepat seminggu
setelah euforia kelulusanku usai.
* * *
* *
“Kakak sudah dengar,
Re. Yang benar saja!Kau cuma bercanda, kan. Kau cuma emosi sesaat, kan.” Suara
Kak Rado tajam menusuk. Sinar matanya menyelidik.
Aku diserang keletihan
luar biasa. Kakak sulungku sengaja pulang sehari dari pamerannya di Jakarta.
Sudah 2 tahun dia menenggelamkan diri di dunia melukis. Dia juga suka mendesain
interior. Usia kami terpaut 5 tahun.
“Sudahlah, Kak. Apa
kakak juga akan menentang Rena?Rena capek kalau terus dibombardir dengan
protes.”
Pasti Papa menelepon
dan memohon Kak Rado untuk membujukku. Dasar Papa licik!Aku tahu Beliau takkan
menyakitiku. Namun Papa terlalu cerdik, tahu kelemahan terbesarku. Aku mampu
menolak argumen siapa pun. Cuma Kak Rado yang kucemaskan.
Kak Rado menatapku iba.
Di sinar matanya memancar sayang. Aku meringis dalam hati. Keterlaluan benar
Papa!Kak Rado itu logis, cerdas dan anehnya berbakat menaklukkan hati siapa
pun, termasuk sedingin es sekali pun.
“Re, kamu tahu banget
kalau Papa dan Mama sangat mencemaskanmu. Sejak kecil mereka selalu
melindungimu. Kamu pun tak pernah jauh dari mereka. Kamu tahu, mereka
mencintaimu karena kamu anak perempuan satu-satunya. Mereka pasti nggak mau
sesuatu apa pun menimpamu. Kakak pun begitu.”
“Sejak awal, kamu sudah
memilih fakultas kedokteran dan menjalaninya selama 5 tahun sampai akhirnya
tahun ini kamu lulus. Mereka memintamu jadi dokter seperti mereka. Kamu pun
menurut dengan senang hati. Prestasimu bagus dan yakinlah, Papa Mama sangat
bangga. Mereka sudah berharap kau akan mengikuti jejak mereka. Bekerja di
tempat bagus, gaji tinggi, penuh pengabdian dan karir sukses. Mengapa tiba-tiba
kau tidak bertanggung jawab sampai akhir?Kau malah ingin menjauh. Ke Papua Barat
lagi.”
Aku menggigit bibir.
Gugup. Tatapan Kak Rado tepat menghujam jantungku. Aku kian gusar berdiri di
sebelahnya. Angin sepoi membelai lembut pipiku. Perlahan aku menarik napas.
Gazebo itu, pemandangan indah taman belakang dan rumah dari sudut belakang
mematri memoriku. Kak Rado benar. Sejak kecil ortuku mendekap erat dan
menjagaku ketat. Tidak seprotektif itu pada Kak Rado dan Kak Rangga. Aku amat
dimanja, disayang dengan berlebihan. Di antara kami bertiga, cuma aku yang setuju
jadi dokter. Kak Rado memberontak, gigih memperjuangkan impiannya jadi pelukis.
Kak Rangga berkeras kuliah jurusan bisnis dan setahun ini bekerja di Singapura.
“Maafkan aku, Kak. Rena
tak mau mundur. Sekali ini Rena ingin bersikap egois.”
“Astaga!Coba pikirkan
perasaan Mama Papa. Mereka sangat mencemaskanmu. Terlalu beresiko ke sana.
Pikirkan dulu, Re.”
“Sudah kupikirkan
selama setahun.”Timpalku ketus. Maaf saja Kak Rado. Aku takkan goyah. Tekadku
sekuat baja dan sedingin es.
Kak Rado memicingkan
mata, seakan belum pernah menatapku. Sekelebat syok melintas di wajahnya. Meski
begitu dia tersenyum kalem.
“Re, please. Tolong
pikirkan kembali. Jangan kecewakan Mama Papa. Suatu hari kamu akan
menyesalinya.”
“Dan apa Kak Rado
pernah menyesali keputusan kakak?Saat menentang keinginan Mama Papa. Aku pun
begitu. Untuk sekali ini aku memutuskan sesuatu. Bukan orang yang memilihkannya
untuk hidupku.”
Kak Rado membisu lama.
Dia tertegun tadi. Kata-kataku menembus dinding pertahanannya. Tampak sinar
mata mengalah. Aku pun menyunggingkan senyum. Aku menang.
* * *
* *
Ternyata
Papa Mama masih berjuang keras. Kali ini Kak Rangga membujukku, disusul Nenekku
dari Mama, Om dan Tante Wiryawan yang kusukai, Paman dan Bibi Jonar yang
jauh-jauh dari Siantar (aku amat sayang mereka), bahkan keluarga besar kami,
siapa pun yang bersedia, mengepung dan memojokkanku. Awalnya aku mampu
meladeninya. Namun sebulan berlalu tanpa persetujuan ortuku. Kesabaranku kehilangan
batas. Dr. Baskoro bolak balik bertanya. Bulan depan akan ada perjalanan tim
medisnya ke Manokwari. Beliau tak memaksa bila aku masih ragu. Rupanya Papa
sudah campur tangan hingga Beliau tak enak hati menjerumuskanku dalam bahaya.
Ya ampun, Papa!Beliau memang salah seorang dokter bedah terkenal Indonesia dan
Mama adalah dokter spesialis anak yang top. Namun ini sudah kelewatan!
Aku
memilih mengkonfrontasi ortuku. Terbuka, aku memprotes mereka di ruang
keluarga, empat hari menjelang tenggat waktu keberangkatan tim dokter Baskoro.
Bermenit-menit
aku menumpahkan unek-unek. Aku benar-benar frustasi.“Pa, berapa kali kukatakan.
Bukankah kita sudah sepakat sebelumnya?Waktu itu aku sudah bilang pada Papa.
Papa berkata, “terserah kau mau kemana, Na. Yang penting kau lulus dan jadi
dokter”. Apa Papa mau melanggarnya?Bukankah Papa sendiri yang mengajar kami
agar taat pada peraturan, disiplin pada aturan dan memegang teguh janji serta
bertanggung jawab?Dimana Papa yang selalu memegang prinsip itu?!”
“Jangan
sekali-kali menguliahi Papa, Re!”Kata Kak Rado menahan geram. Wajahnya gusar.
Papa mengangkat tangan. Kak Rado mendesah putus asa. Masa bodoh!
“Na,
Papa mohon. Ini demi kebaikanmu. Lupakanlah Papua Barat. Papa bisa membantu.
Papa punya banyak kolega. Tak ada hal bagus yang bisa kamu dapatkan di sana.
Pokoknya kamu tidak boleh pergi!Kamu mengerti?!”
Rahang
Papa mendadak mengeras. Sikapnya berubah berwibawa. Tegas dan mematikan. Mama
duduk di sebelah dengan sikap serupa. Tekadnya meruntuhkan sikap kerasku
terpancar. Kak Rangga lebih lunak. Dia tersenyum menyemangati. Dari dulu selalu
begitu. Mendukung dan memberiku kebebasan secara tepat.
Aku
menghela napas panjang. “Baik, apa pendapat Papa kalau aku punya mimpi?Dari
dulu aku selalu menuruti apa pun kemauan dan kata-kata Papa Mama. Tak pernah
sekali pun aku membantah. Tak pernah. Papa Mama mengaturku sekolah dimana, les
apa, bahkan akan jadi apa. Kak Rado dan Kak Rangga bisa memilih hidup mereka
sendiri. Tapi aku tidak. Lalu apa bedanya aku dengan mereka?Untuk pertama
kalinya, aku benar-benar punya keinginan. Hanya sekali saja, Pa, Ma. Lebih baik
aku memilih hidupku untuk sekali ini dan kalau menyesalinya, itu salahku
sendiri. Daripada orang lain yang memilihnya, lalu saat menyesalinya, aku jadi
menyalahkan orang lain.”
Lalu
tiba-tiba, tanpa peringatan, tanpa tanda-tanda, di tengah usaha Papa membalasku
berapi-api, serangan itu memukul jantungnya. Beliau kehabisan napas dan
tersungkur kesakitan menghujam lantai. Mama kaget, berteriak histeris. Kak
Rangga dan lainnya menghampiri Papa. Untung Kak Rado tanggap menelepon
ambulans. Sementara aku terpaku ngeri. Membeku hingga sekujur tubuh. Oh,
Tuhan!Tuhan!Tuhan!
Ketegangan
itu berlanjut di rumah sakit. Papa dilarikan ke ruang UGD dan hampir berjam-jam
di sana tanpa irama kehidupan. Mama terisak, tubuhnya berguncang hebat. Kak
Rangga merangkul lembut, menenangkannya. Sejak dulu dia ahli dalam hal itu.
Tangis Mama agak reda, menyisakan wajah letih. Paman, Bibi, Om, Tante,
sepupu-sepupuku menyusul kemudian. Ruang tunggu itu jadi sesak. Aku menangis
kencang, menyesali semuanya. Apalagi Kak Rado sempat murka. Membuat rasa
bersalahku menjadi-jadi. Namun Kak Rangga menengahi. Sedikit membelaku
tepatnya. Padahal aku layak ditampar keras.
Untunglah
Papa sempat diselamatkan. Untuk sementara Beliau harus istirahat total di rumah
sakit. Aku sengaja menghindar, tak mendekati Beliau. Takut memompa jantungnya
lagi. Susah payah, aku bertahan mengintip Papa yang dibaringkan selama seminggu
ini. Yang mengejutkanku, Papa sendiri yang ingin berbicara dan mendengar
suaraku. Aku teramat merindukan Beliau. Ternyata Papa juga kelewat sayang dan
kangen padaku.
Kata-katanya
membuat kegembiraanku meluap. “Na, Papa pikir … Ternyata Papa begitu egois
padamu dan kakak-kakakmu. Papa dan Mama selalu menuntut kalian seperti kami.
Kami hanya ingin melindungi kalian dari kerasnya hidup. Tidak aneh kalau Kak
Rado dan Kak Rangga memberontak. Sungguh tak bijaksana. Bagaimana pun kuatnya,
kerasnya perlindungan ortu, tak berarti anak akan aman. Hidup anak bukan
ditentukan oleh ortu. Ortu seharusnya mendukung apa pun keputusan anak, karena
yang akan menjalaninya bukan mereka. Sampai kapan pun anak takkan bertumbuh
dewasa bila ortu selalu protektif dan mengatur anak. Jadi, Na. Pergilah,
Sayang. Bertumbuh dewasalah, raihlah cita-citamu. Dan ingatlah, kami, Papa
Mama, akan selalu menunggumu kembali.”
Airmataku
meleleh tak henti. Aku memeluk lembut Papa, lalu mendekap hangat Mama. Aku
benar-benar bahagia, dicintai begitu hebat oleh Papa dan Mama. Aku pun sangat
mencintai mereka.
* * *
* *
Sebulan
lamanya aku tenggelam dalam merawat orang-orang yang terserang malaria. Wabah
malaria sedemikian hebat hingga aku dan tim dokter Baskoro berjuang keras.
Perlahan-lahan aku menganggap Manokwari itu sebagai rumah keduaku. Orang-orang
di sini begitu hangat dan luar biasa. Seperti keluargaku di Bandung. Aku mulai
fasih berbahasa setempat. Mereka menyambut kami dengan keramahan indah. Agak
sulit menelepon atau mengirim surat di sini. Daerahnya cukup terisolir dan sepi
dari dunia luar. Namun perjuangan dan kegigihan mereka membuatku meneteskan air
mata haru tiap hari.
Aku
menuliskan surat pada Papa dan Mama sebelum mereka sangat rindu dan berpikir
aku lenyap. Aku tersenyum membacanya terakhir kali, sebelum menyerahkannya pada
Dr. Baskoro yang akan kembali ke Jakarta.
“Untuk
Papa dan Mama, Rena baik-baik saja di sini. Orang-orangnya benar-benar hangat
dan baik hati seperti Papa Mama. Ini bagai rumah keduaku. Terima kasih sudah
mengijinkanku ke sini. Aku sayang kalian.”
(Catatan Harian, 2 Juni 2009)
No comments:
Post a Comment