Sunday, February 28, 2016

My Dream

Aku berusaha mengumpulkan keberanian sementara menanti vonis yang meluncur dari bibir ortuku. Kesunyian total menyelimuti kami. Aku mengawasi ekspresi Papa dan Mama. Wajah Mama masih menyisakan perasaan seakan ditampar bercampur putus asa. Sementara Papa tampak berpikir keras. Keningnya berkerut luar biasa. Rupanya Papa benar-benar serius.Aku tegang setengah mati. Kubulatkan tekad agar tak satu pun kata-kata Papa nanti yang mengoyahkanku. Aku makin gelisah dalam duduk. Tanganku dingin. Keringat mengalir setes demi setetes.
Akhirnya seolah seabad telah berlalu, Papa berdeham. Menarik napas perlahan-lahan, sebelum menatapku tajam.
“Sayang, kenapa harus Papua Barat?”
Aku menelan ludah. Bukannya aku sudah mengatakan alasannya?Mengapa Papa perlu bertanya lagi?Sia-sia usahaku berceloteh panjang lebar.
“Papa, tadi kan aku sudah menjelaskannya. Apa Papa mau aku mengulang kembali semuanya dari awal?”
“Oh, lupakan saja.”Papa tampak gelisah. Membisu lagi. Oh, aku benar-benar tersiksa.
Kualihkan tatapanku ke arah Mama. Mama lebih parah. Airmata seakan siap jebol kapan saja. Aku mendesah lega saat Beliau berusaha menahan diri. Hatiku seketika akan luluh menyaksikan Mama meneteskan airmata.
“Pa, maafkan Rena. Rena …”
Aku ikut diam. Sepertinya ketularan diamnya Papa. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam. Aku memandang taplak meja berukir bunga. Hening sejenak.
“Pa …”
“Papa tahu, sayang. Tolong beri waktu Papa dan Mama memikirkannya dulu. Rasanya … sulit. Kamu tahu. Papua Barat … hmm …tempat yang cukup jauh. Terlalu jauh malah. Seperti di ujung bumi. Jadi … ya … Papa bukannya melarang. Hanya … Papa rasa Mama juga perlu waktu.”
Oh, rasa bersalah menghujam dadaku keras. Belum pernah Papa segugup itu. Papa yang kukenal selalu tenang, bijak dan bisa diandalkan.
“Oke, Pa. Rena mengerti kalau Papa dan Mama butuh waktu mempertimbangkannya. Tapi Rena mohon. Rena amat menginginkannya.” Aku menatap Papa pasrah.
Papa tersenyum menenangkan. Sinar matanya tampak suram. Mama masih terisak. Aku pun pamit pergi. Bagaimana pun percuma membujuk ortuku saat ini. Mereka terlihat lelah dan shock.
Mungkin kalian akan mencelaku habis-habisan. Aku telah mengecewakan ortuku. Lebih dari sekedar kecewa malah. Bahkan teman-teman dekatku ikut heboh. Mereka kompak menyuarakan protes. Mengapa harus ke Papua Barat?Kan masih ada tempat lain yang lebih baik!Demikian alasan mereka. Astaga!Kayak itu tempat terkutuk saja. Seolah-olah kau akan mati pada kesempatan pertama saat menginjakkan kaki di sana.
Aku tahu siapa pun akan menentang. Aku tahu, banyak cerita mengerikan tentang provinsi paling ujung timur itu. Gempa bumi, wabah malaria, epidemik AIDS, bahkan perang antar suku. Namun apa daya. Aku terlanjur jatuh cinta dan terlalu ingin mencurahkan hatiku ke sana. Dan kesempatan sekali seumur hidup itu ditawarkan dosen pembimbingku, Dr. Rahardi Baskoro, spesialis penyakit dalam. Beliau sangat memuji skripsiku berjudul “Penanganan Malaria Epidemik di Daerah Tropis Indonesia yang Minim dan Potensial Wabah-Studi Empirik Lima Kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat”. Bahkan Dr. Reinaldi Hariawan, dosen pengujiku yang terkenal pelit nilai di kampus memberi aplaus kelewat heboh. Beliau menawarkan posisi ko-as di Papua Barat. Koleganya, dokter spesialis malaria sudah 3 tahun menghabiskan hari-hari di sana.
Sejak mengerjakan proyek skripsiku, aku pernah sambil lalu mengutarakan kemungkinan aku ingin mengabdi ke Papua Barat. Namun Papa hanya tergelak, candaanku benar-benar lucu baginya. Sementara Mama terbelalak sejenak, lalu beliau menganggapku main-main. Aku jadi tak tega berkata jujur. Bisa-bisa sakit jantung Papa kumat.
Aku pun memendamnya dalam hati. Menyimpan rapat di suatu sudut terdalam. Berharap mampu meluapkannya suatu hari. Maka aku pun memilih hari itu. Tepat seminggu setelah euforia kelulusanku usai.
* * * * *
“Kakak sudah dengar, Re. Yang benar saja!Kau cuma bercanda, kan. Kau cuma emosi sesaat, kan.” Suara Kak Rado tajam menusuk. Sinar matanya menyelidik.
Aku diserang keletihan luar biasa. Kakak sulungku sengaja pulang sehari dari pamerannya di Jakarta. Sudah 2 tahun dia menenggelamkan diri di dunia melukis. Dia juga suka mendesain interior. Usia kami terpaut 5 tahun.
“Sudahlah, Kak. Apa kakak juga akan menentang Rena?Rena capek kalau terus dibombardir dengan protes.”
Pasti Papa menelepon dan memohon Kak Rado untuk membujukku. Dasar Papa licik!Aku tahu Beliau takkan menyakitiku. Namun Papa terlalu cerdik, tahu kelemahan terbesarku. Aku mampu menolak argumen siapa pun. Cuma Kak Rado yang kucemaskan.
Kak Rado menatapku iba. Di sinar matanya memancar sayang. Aku meringis dalam hati. Keterlaluan benar Papa!Kak Rado itu logis, cerdas dan anehnya berbakat menaklukkan hati siapa pun, termasuk sedingin es sekali pun.
“Re, kamu tahu banget kalau Papa dan Mama sangat mencemaskanmu. Sejak kecil mereka selalu melindungimu. Kamu pun tak pernah jauh dari mereka. Kamu tahu, mereka mencintaimu karena kamu anak perempuan satu-satunya. Mereka pasti nggak mau sesuatu apa pun menimpamu. Kakak pun begitu.”
“Sejak awal, kamu sudah memilih fakultas kedokteran dan menjalaninya selama 5 tahun sampai akhirnya tahun ini kamu lulus. Mereka memintamu jadi dokter seperti mereka. Kamu pun menurut dengan senang hati. Prestasimu bagus dan yakinlah, Papa Mama sangat bangga. Mereka sudah berharap kau akan mengikuti jejak mereka. Bekerja di tempat bagus, gaji tinggi, penuh pengabdian dan karir sukses. Mengapa tiba-tiba kau tidak bertanggung jawab sampai akhir?Kau malah ingin menjauh. Ke Papua Barat lagi.”
Aku menggigit bibir. Gugup. Tatapan Kak Rado tepat menghujam jantungku. Aku kian gusar berdiri di sebelahnya. Angin sepoi membelai lembut pipiku. Perlahan aku menarik napas. Gazebo itu, pemandangan indah taman belakang dan rumah dari sudut belakang mematri memoriku. Kak Rado benar. Sejak kecil ortuku mendekap erat dan menjagaku ketat. Tidak seprotektif itu pada Kak Rado dan Kak Rangga. Aku amat dimanja, disayang dengan berlebihan. Di antara kami bertiga, cuma aku yang setuju jadi dokter. Kak Rado memberontak, gigih memperjuangkan impiannya jadi pelukis. Kak Rangga berkeras kuliah jurusan bisnis dan setahun ini bekerja di Singapura.
“Maafkan aku, Kak. Rena tak mau mundur. Sekali ini Rena ingin bersikap egois.”
“Astaga!Coba pikirkan perasaan Mama Papa. Mereka sangat mencemaskanmu. Terlalu beresiko ke sana. Pikirkan dulu, Re.”
“Sudah kupikirkan selama setahun.”Timpalku ketus. Maaf saja Kak Rado. Aku takkan goyah. Tekadku sekuat baja dan sedingin es.
Kak Rado memicingkan mata, seakan belum pernah menatapku. Sekelebat syok melintas di wajahnya. Meski begitu dia tersenyum kalem.
“Re, please. Tolong pikirkan kembali. Jangan kecewakan Mama Papa. Suatu hari kamu akan menyesalinya.”
“Dan apa Kak Rado pernah menyesali keputusan kakak?Saat menentang keinginan Mama Papa. Aku pun begitu. Untuk sekali ini aku memutuskan sesuatu. Bukan orang yang memilihkannya untuk hidupku.”
Kak Rado membisu lama. Dia tertegun tadi. Kata-kataku menembus dinding pertahanannya. Tampak sinar mata mengalah. Aku pun menyunggingkan senyum. Aku menang.
* * * * *
Ternyata Papa Mama masih berjuang keras. Kali ini Kak Rangga membujukku, disusul Nenekku dari Mama, Om dan Tante Wiryawan yang kusukai, Paman dan Bibi Jonar yang jauh-jauh dari Siantar (aku amat sayang mereka), bahkan keluarga besar kami, siapa pun yang bersedia, mengepung dan memojokkanku. Awalnya aku mampu meladeninya. Namun sebulan berlalu tanpa persetujuan ortuku. Kesabaranku kehilangan batas. Dr. Baskoro bolak balik bertanya. Bulan depan akan ada perjalanan tim medisnya ke Manokwari. Beliau tak memaksa bila aku masih ragu. Rupanya Papa sudah campur tangan hingga Beliau tak enak hati menjerumuskanku dalam bahaya. Ya ampun, Papa!Beliau memang salah seorang dokter bedah terkenal Indonesia dan Mama adalah dokter spesialis anak yang top. Namun ini sudah kelewatan!
Aku memilih mengkonfrontasi ortuku. Terbuka, aku memprotes mereka di ruang keluarga, empat hari menjelang tenggat waktu keberangkatan tim dokter Baskoro.
Bermenit-menit aku menumpahkan unek-unek. Aku benar-benar frustasi.“Pa, berapa kali kukatakan. Bukankah kita sudah sepakat sebelumnya?Waktu itu aku sudah bilang pada Papa. Papa berkata, “terserah kau mau kemana, Na. Yang penting kau lulus dan jadi dokter”. Apa Papa mau melanggarnya?Bukankah Papa sendiri yang mengajar kami agar taat pada peraturan, disiplin pada aturan dan memegang teguh janji serta bertanggung jawab?Dimana Papa yang selalu memegang prinsip itu?!”
“Jangan sekali-kali menguliahi Papa, Re!”Kata Kak Rado menahan geram. Wajahnya gusar. Papa mengangkat tangan. Kak Rado mendesah putus asa. Masa bodoh!
“Na, Papa mohon. Ini demi kebaikanmu. Lupakanlah Papua Barat. Papa bisa membantu. Papa punya banyak kolega. Tak ada hal bagus yang bisa kamu dapatkan di sana. Pokoknya kamu tidak boleh pergi!Kamu mengerti?!”
Rahang Papa mendadak mengeras. Sikapnya berubah berwibawa. Tegas dan mematikan. Mama duduk di sebelah dengan sikap serupa. Tekadnya meruntuhkan sikap kerasku terpancar. Kak Rangga lebih lunak. Dia tersenyum menyemangati. Dari dulu selalu begitu. Mendukung dan memberiku kebebasan secara tepat.
Aku menghela napas panjang. “Baik, apa pendapat Papa kalau aku punya mimpi?Dari dulu aku selalu menuruti apa pun kemauan dan kata-kata Papa Mama. Tak pernah sekali pun aku membantah. Tak pernah. Papa Mama mengaturku sekolah dimana, les apa, bahkan akan jadi apa. Kak Rado dan Kak Rangga bisa memilih hidup mereka sendiri. Tapi aku tidak. Lalu apa bedanya aku dengan mereka?Untuk pertama kalinya, aku benar-benar punya keinginan. Hanya sekali saja, Pa, Ma. Lebih baik aku memilih hidupku untuk sekali ini dan kalau menyesalinya, itu salahku sendiri. Daripada orang lain yang memilihnya, lalu saat menyesalinya, aku jadi menyalahkan orang lain.”
Lalu tiba-tiba, tanpa peringatan, tanpa tanda-tanda, di tengah usaha Papa membalasku berapi-api, serangan itu memukul jantungnya. Beliau kehabisan napas dan tersungkur kesakitan menghujam lantai. Mama kaget, berteriak histeris. Kak Rangga dan lainnya menghampiri Papa. Untung Kak Rado tanggap menelepon ambulans. Sementara aku terpaku ngeri. Membeku hingga sekujur tubuh. Oh, Tuhan!Tuhan!Tuhan!
Ketegangan itu berlanjut di rumah sakit. Papa dilarikan ke ruang UGD dan hampir berjam-jam di sana tanpa irama kehidupan. Mama terisak, tubuhnya berguncang hebat. Kak Rangga merangkul lembut, menenangkannya. Sejak dulu dia ahli dalam hal itu. Tangis Mama agak reda, menyisakan wajah letih. Paman, Bibi, Om, Tante, sepupu-sepupuku menyusul kemudian. Ruang tunggu itu jadi sesak. Aku menangis kencang, menyesali semuanya. Apalagi Kak Rado sempat murka. Membuat rasa bersalahku menjadi-jadi. Namun Kak Rangga menengahi. Sedikit membelaku tepatnya. Padahal aku layak ditampar keras.
Untunglah Papa sempat diselamatkan. Untuk sementara Beliau harus istirahat total di rumah sakit. Aku sengaja menghindar, tak mendekati Beliau. Takut memompa jantungnya lagi. Susah payah, aku bertahan mengintip Papa yang dibaringkan selama seminggu ini. Yang mengejutkanku, Papa sendiri yang ingin berbicara dan mendengar suaraku. Aku teramat merindukan Beliau. Ternyata Papa juga kelewat sayang dan kangen padaku.
Kata-katanya membuat kegembiraanku meluap. “Na, Papa pikir … Ternyata Papa begitu egois padamu dan kakak-kakakmu. Papa dan Mama selalu menuntut kalian seperti kami. Kami hanya ingin melindungi kalian dari kerasnya hidup. Tidak aneh kalau Kak Rado dan Kak Rangga memberontak. Sungguh tak bijaksana. Bagaimana pun kuatnya, kerasnya perlindungan ortu, tak berarti anak akan aman. Hidup anak bukan ditentukan oleh ortu. Ortu seharusnya mendukung apa pun keputusan anak, karena yang akan menjalaninya bukan mereka. Sampai kapan pun anak takkan bertumbuh dewasa bila ortu selalu protektif dan mengatur anak. Jadi, Na. Pergilah, Sayang. Bertumbuh dewasalah, raihlah cita-citamu. Dan ingatlah, kami, Papa Mama, akan selalu menunggumu kembali.”
Airmataku meleleh tak henti. Aku memeluk lembut Papa, lalu mendekap hangat Mama. Aku benar-benar bahagia, dicintai begitu hebat oleh Papa dan Mama. Aku pun sangat mencintai mereka.
* * * * *
Sebulan lamanya aku tenggelam dalam merawat orang-orang yang terserang malaria. Wabah malaria sedemikian hebat hingga aku dan tim dokter Baskoro berjuang keras. Perlahan-lahan aku menganggap Manokwari itu sebagai rumah keduaku. Orang-orang di sini begitu hangat dan luar biasa. Seperti keluargaku di Bandung. Aku mulai fasih berbahasa setempat. Mereka menyambut kami dengan keramahan indah. Agak sulit menelepon atau mengirim surat di sini. Daerahnya cukup terisolir dan sepi dari dunia luar. Namun perjuangan dan kegigihan mereka membuatku meneteskan air mata haru tiap hari.
Aku menuliskan surat pada Papa dan Mama sebelum mereka sangat rindu dan berpikir aku lenyap. Aku tersenyum membacanya terakhir kali, sebelum menyerahkannya pada Dr. Baskoro yang akan kembali ke Jakarta.

“Untuk Papa dan Mama, Rena baik-baik saja di sini. Orang-orangnya benar-benar hangat dan baik hati seperti Papa Mama. Ini bagai rumah keduaku. Terima kasih sudah mengijinkanku ke sini. Aku sayang kalian.”
(Catatan Harian, 2 Juni 2009)

No comments:

Post a Comment