Wednesday, February 24, 2016

Kemiskinan Papua Barat : Antara Angka dan Realitas



             Kemiskinan seringkali dikaitkan dengan ketidakmampuan seseorang atau penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu kesehatan, pendidikan, sandang, pangan dan papan yang layak. Kemiskinan secara harafiah berarti kondisi dimana seorang tidak mampu menghidupi dirinya maupun keluarganya untuk memperoleh pendapatan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurut Sarasutha dan Noor dalam Supadi dan Achmad Rozany (2008 : 3 – 4) “kemiskinan secara konseptual dapat dibedakan atas tiga pengertian, yaitu kemiskinan subyektif, kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Sedangkan kemiskinan berdasarkan konsep BPS adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Menurut BPS (2008), berbagai masalah kemiskinan dapat dikelompokkan dalam empat terminologi, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Pertanyaan mendasar sesungguhnya, apakah tingkat kemiskinan yang menunjukkan trend penurunan ditunjukkan melalui persentase penduduk miskin yang terus menurun telah sesuai dengan realitas yang terjadi?


            Papua Barat merupakan salah satu provinsi termuda di Indonesia (provinsi ke-32) yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah, sama halnya dengan Provinsi Papua. Namun justru provinsi ini memiliki tingkat kemiskinan, persentase jumlah penduduk miskin dan distribusi pendapatan yang cukup timpang selama lima tahun terakhir setelah Provinsi Papua. Hal ini dinilai wajar oleh beberapa pihak karena beberapa alasan. Salah satunya adalah keterbatasan infrastruktur dasar yang menghubungkan provinsi ini dengan wilayah lain di Indonesia. Meski wilayah di Papua Barat cukup terpencil, namun transportasi antar daerah masih tergolong cukup lancar dibandingkan Provinsi Papua. Tingkat pertumbuhan ekonomi Papua Barat selama tahun 2010-2014 juga tumbuh positif meski fluktuatif. Pengaruh keberadaan migas yang cukup signifikan hampir identik dengan Provinsi Papua yang sangat bergantung sepenuhnya pada kecepatan dan arah pertumbuhan sektor migas. Hakekatnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang membaik. Namun kondisi riilnya, pendapatan per kapita yang merupakan turunan dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang menunjukkan gambaran kesejahteraan penduduk tidak sejalan dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi. Apakah hal ini berarti bahwa angka kedua indikator ini saling bertentangan?Atau salah satu indikator memiliki keakuratan angka yang meragukan?



            Selama tahun 2007-2010, persentase penduduk miskin Papua Barat mengalami penurunan, sedangkan secara absolut jumlah penduduk miskin relatif turun. Namun untuk periode 2011-2015, tingkat kemiskinan dalam setahun dipantau sebanyak 2 kali, yaitu pada bulan  Maret dan September. Dalam dua tahun terakhir, persentase penduduk miskin maupun jumlah penduduk miskin cenderung menurun. Pada bulan Maret 2013 persentase penduduk miskin Papua Barat sebesar 26,67 persen, selanjutnya pada bulan September 2015 persentasenya menurun sekitar 0,94 persen menjadi 25,73 persen. Penurunan persentase penduduk miskin mengindikasikan adanya peningkatan pendapatan penduduk sehingga mampu melewati garis kemiskinan yang digunakan sebagai ukuran standar menentukan kemiskinan. Namun perlu diperhatikan indeks kedalaman kemiskinan selama Maret 2011-2015 cenderung menurun dari 8,78 pada Maret 2011 menjadi 6,24 pada Maret 2015, berarti bahwa rata-rata pengeluaran penduduk mulai mendekati garis kemiskinan. Bila mendekati garis kemiskinan maka penduduk akan berpeluang rentan kemiskinan. Dengan kata lain, jumlah penduduk Papua Barat yang menjadi miskin akan meningkat.   

Sumber : BPS Provinsi Papua Barat, Indikator Kesejahteraan Rakyat, 2014
            Ketimpangan pendapatan Papua Barat selama 2010-2014 tergolong dalam status ketimpangan rendah, namun terjadi kenaikan dari tahun ke tahun. Hal ini berarti bahwa distribusi pendapatan antar penduduk cukup timpang. Ketimpangan ini akan melahirkan “gap” pendapatan yang makin jauh antara penduduk kaya dan miskin. Secara statistik maupun realitas terdapat kesamaan, yaitu terlihat perbedaan yang mencolok antara si kaya dan si miskin. Sementara itu, meski terdapat kecenderungan penurunan persentase penduduk miskin, banyak pihak menilai pada kenyataannya jumlah penduduk miskin justru bertambah. Ini merupakan paradoks pembangunan yang sulit terjawab bahkan oleh pakar ekonomi dan sosial budaya karena kemiskinan adalah indikator yang kompleks. Perlu adanya kajian mendalam untuk melihat hubungan sebab akibat antara kemiskinan dan indikator makro yang terkait erat. Dengan demikian, kemiskinan tidak dipandang dari satu sisi saja.    

(Kota Sorong, Februari 2016)

No comments:

Post a Comment