Kemiskinan seringkali dikaitkan dengan ketidakmampuan
seseorang atau penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu kesehatan,
pendidikan, sandang, pangan dan papan yang layak. Kemiskinan secara harafiah berarti
kondisi dimana seorang tidak mampu menghidupi dirinya maupun keluarganya untuk memperoleh
pendapatan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurut
Sarasutha dan Noor dalam Supadi dan Achmad Rozany (2008 : 3 – 4) “kemiskinan secara
konseptual dapat dibedakan atas tiga pengertian, yaitu kemiskinan subyektif,
kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Sedangkan kemiskinan berdasarkan
konsep BPS adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Menurut BPS (2008), berbagai masalah kemiskinan dapat dikelompokkan
dalam empat terminologi, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif,
kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Pertanyaan mendasar sesungguhnya,
apakah tingkat kemiskinan yang menunjukkan trend penurunan ditunjukkan melalui persentase
penduduk miskin yang terus menurun telah sesuai dengan realitas yang terjadi?
Papua
Barat merupakan salah satu provinsi termuda di Indonesia (provinsi ke-32) yang
memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah, sama halnya dengan Provinsi Papua.
Namun justru provinsi ini memiliki tingkat kemiskinan,
persentase jumlah penduduk miskin dan distribusi pendapatan yang cukup timpang
selama lima tahun terakhir setelah Provinsi Papua. Hal ini dinilai wajar oleh
beberapa pihak karena beberapa alasan. Salah satunya adalah keterbatasan
infrastruktur dasar yang menghubungkan provinsi ini dengan wilayah lain di
Indonesia. Meski wilayah di Papua Barat cukup terpencil, namun transportasi
antar daerah masih tergolong cukup lancar dibandingkan Provinsi Papua. Tingkat
pertumbuhan ekonomi Papua Barat selama tahun 2010-2014 juga tumbuh positif
meski fluktuatif. Pengaruh keberadaan migas yang cukup signifikan hampir identik
dengan Provinsi Papua yang sangat bergantung sepenuhnya pada kecepatan dan arah
pertumbuhan sektor migas. Hakekatnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang membaik. Namun kondisi
riilnya, pendapatan per kapita yang merupakan turunan dari Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) yang menunjukkan gambaran kesejahteraan penduduk tidak sejalan
dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi. Apakah hal ini berarti bahwa angka
kedua indikator ini saling bertentangan?Atau salah satu indikator memiliki
keakuratan angka yang meragukan?
Selama
tahun 2007-2010, persentase penduduk miskin Papua Barat mengalami penurunan,
sedangkan secara absolut jumlah penduduk miskin relatif turun. Namun untuk
periode 2011-2015, tingkat kemiskinan dalam setahun dipantau sebanyak 2 kali,
yaitu pada bulan Maret dan September.
Dalam dua tahun terakhir, persentase penduduk miskin maupun jumlah penduduk
miskin cenderung menurun. Pada bulan Maret 2013 persentase penduduk miskin Papua
Barat sebesar 26,67 persen, selanjutnya pada bulan September 2015 persentasenya
menurun sekitar 0,94 persen menjadi 25,73 persen. Penurunan persentase penduduk
miskin mengindikasikan adanya peningkatan pendapatan penduduk sehingga mampu
melewati garis kemiskinan yang digunakan sebagai ukuran standar menentukan
kemiskinan. Namun perlu diperhatikan indeks kedalaman kemiskinan selama Maret
2011-2015 cenderung menurun dari 8,78 pada Maret 2011 menjadi 6,24 pada Maret
2015, berarti bahwa rata-rata pengeluaran penduduk mulai mendekati garis
kemiskinan. Bila mendekati garis kemiskinan maka penduduk akan berpeluang rentan
kemiskinan. Dengan kata lain, jumlah penduduk Papua Barat yang menjadi miskin
akan meningkat.
Ketimpangan
pendapatan Papua Barat selama 2010-2014 tergolong dalam status ketimpangan
rendah, namun terjadi kenaikan dari tahun ke tahun. Hal ini berarti bahwa
distribusi pendapatan antar penduduk cukup timpang. Ketimpangan ini akan
melahirkan “gap” pendapatan yang makin jauh antara penduduk kaya dan miskin.
Secara statistik maupun realitas terdapat kesamaan, yaitu terlihat perbedaan
yang mencolok antara si kaya dan si miskin. Sementara itu, meski terdapat
kecenderungan penurunan persentase penduduk miskin, banyak pihak menilai pada
kenyataannya jumlah penduduk miskin justru bertambah. Ini merupakan paradoks pembangunan
yang sulit terjawab bahkan oleh pakar ekonomi dan sosial budaya karena
kemiskinan adalah indikator yang kompleks. Perlu adanya kajian mendalam untuk
melihat hubungan sebab akibat antara kemiskinan dan indikator makro yang
terkait erat. Dengan demikian, kemiskinan tidak dipandang dari satu sisi saja.
(Kota Sorong, Februari 2016)
No comments:
Post a Comment