Image : Google |
Dirga terdiam membisu. Dia menatap lama
ponsel yang tergeletak di atas mejanya. Bunda memohon sambil menahan tangis
yang menyesakkan dadanya. Dirga menyesali kesedihan yang mengguncang wanita
yang melahirkannya itu. Meski ingin menghapusnya, Dirga justru merasakan
kegalauan yang mengusik. Hati dan otaknya saling berperang.
“Kakek
akan meninggalkan kita semua. Tolong pulanglah segera.” Kata-kata Bunda
terngiang lagi memenuhi kepalanya.
Seminggu
lagi Kakek akan merayakan ulang tahun ke-71. Beliau lahir tepat proklamasi
kemerdekaan berkumandang ke seluruh negeri. Betapa bangganya Kakek buyut saat
Kakek mengeluarkan tangisan pertamanya. Tanpa pikir panjang nama “Nusantara”
pun disematkan pada diri Kakek. Nama yang justru memicu jiwa nasionalisme yang berakar
kuat dalam sosok Kakek. Kakek tumbuh dengan pribadi konservatif yang keras dan
disiplin pada anak-anaknya. Tak seorang pun yang berani menentangnya.
Dirga
menghembuskan napas panjang yang perlahan. Seakan keputusasaan telah
menguasainya. Dia tak pernah menyukai bila berdekatan dengan Kakek. Beliau
terlalu sering mengkritik setiap sikap dan keputusannya. Seperti saat dia lebih
memilih bermain band daripada bertanding pencak silat. Atau mendengarkan musik
Barat dibandingkan lagu-lagu dari penyanyi nasional. Kakek sering mencibirnya
tak memendam rasa nasionalisme. Padahal dia satu-satunya cucu laki-laki yang
akan mewarisi kehormatan keluarga. Kebanggaan gen nenek moyang yang
menggariskan kecintaan tanah air dan sikap pahlawan.
Dia
sungguh tak menginginkan beban yang terasa menghimpitnya selama bertahun-tahun.
* * * * *
Ruang
bandara itu seakan menggempur otaknya. Dirga tampak enggan melangkah meski
dering ponsel terus menerornya sejak menginjakkan kaki di Sorong. Bayangan masa
kecil berkelebat, makin meresahkan hatinya. Sosok Kakek kian terbias jelas.
Sosok pahlawan kecil yang dulu dielukannya.
Langkahnya
terhenti tiba-tiba saat menatap Bunda yang menghampirinya. Sorot matanya cemas
bercampur gelisah. Ayah mengikuti dari belakang dengan senyum simpatik,
sementara Rahayu, adik perempuannya yang sebulan lagi diwisuda melempar senyum
cerah dengan binar semangat yang tak pernah padam.
“Dirga,
Kakek… Kakekmu…” Bunda susah payah menelan kecemasannya yang membuncah.
Ayah
mengusap bahunya lembut, berusaha menenangkan kepanikan Bunda yang akan meluap.
Lalu ditatapnya Dirga penuh pengertian. Dirga menghela napas. Wajahnya letih
setelah menempuh ribuan kilometer, perjalanan melintasi waktu ke kampung
halaman yang telah ditinggalkannya selama lima tahun.
Dirga
memaksakan diri menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang terasa panjang.
Terlihat wajah-wajah suram yang melirik kehadirannya. Lima hari lagi menjelang
perayaan ulang tahun Kakek.
Dirga
menahan napas saat menyaksikan wajah Kakek yang terbaring pucat dengan selang
infus di pergelangan tangan dan hidungnya. Napasnya berirama teratur. Meski
kerutan menghiasi hampir seluruh wajahnya. Seketika kesedihan menghantam Dirga.
Seolah Kakek Nusa telah terhisap dalam lingkaran waktu.
“Aku
sudah datang, Kakek.” Bisik Dirga lirih.
Untuk pertama kalinya perasaan
bersalah menyelimutinya. Kakek dalam memorinya takkan terlihat lemah dan
terbujur tanpa daya. Kakek yang sering memarahinya bila dia berbohong atau
lalai. Kakek yang selalu memaksanya ikut menyanyikan lagu-lagu nasional yang
baginya terasa membosankan hingga Kakek tak segan menyindir pudarnya
nasionalisme dalam nadinya. Kakek yang selalu bercerita tentang perang meraih
kemerdekaan hingga pembebasan negeri dari ketidakadilan penjajah. Dirga sungguh
berharap, suatu hari dia akan meraih mimpi, jauh dari Kakek dengan rasa
nasionalisme dan idealismenya. Semua mulai menggelisahkannya.
Melintas
dalam bayangannya, Kakek berdiri dengan raut kemarahan yang memancar dan terasa
membakar sekujur tubuhnya. Dirga hanya tertunduk sambil meremas-remari jemari
kecilnya yang berkeringat. Hanya sekali dia melewatkan upacara tujuh belasan
selama 13 tahun tumbuh dalam didikan Kakek yang semi militer. Kakek adalah
mantan panglima yang pernah berjuang melawan kematian dalam pembebasan Irian
Barat dari kekuasaan Belanda. Kakek yang mewarisi darah pahlawan dari Kakek
buyut yang mengabdikan seluruh jiwa raganya demi kehormatan dan medali TNI.
Sayangnya Kakek tak dianugerahi putra yang akan meneruskan jejak itu karena Om
Panca meninggal dunia dalam kecelakaan motor ketika umurnya 17 tahun.
Obsesi
Kakek pada kehormatan dan kebanggaan bangsa membuat Dirga tertekan. Dia bahkan
menolak mati-matian saat Kakek menginginkannya menjadi tentara atau perwira
angkatan laut. Bunda, putri sulung Kakek bahkan memohon Dirga untuk
mengiyakannya. Pada akhirnya Dirga kabur dari latihan pertama setelah lulus tes
masuk tentara dan memilih kuliah jurusan informatika di Jakarta. Betapa
kecewanya Kakek hingga memutuskan mengabaikan sosoknya selama tiga tahun pertama.
Hingga
kini, Dirga tak menyesali keputusannya. Dia bahkan sukses mendirikan perusahaan
indie untuk networking dan arsitektur
komputer setelah lulus kuliah. Namun saat memandang sosok Kakek dengan segala
guratan masa lalu, perlahan kebekuan hatinya mencair. Tak terlihat lagi sosok
gagah Kakek yang penuh semangat saat mengenang masa perjuangannya. Kakek yang
telah melewati masa-masa penantian kebebasan total yang menggerogoti masa
mudanya. Kakek yang akan selalu menjadi sosok pahlawan yang dibanggakannya.
Tiga
hari menjelang ulangtahun Kakek, Dirga termangu diam memandangi seisi kamar
Kakek. Di dinding kamarnya tergantung foto-foto hitam putih yang telah
dipulihkan dari sisa-sisa usia. Tampak lambang burung garuda membentang gagah
di atas tumpukan foto. Peta Indonesia ukuran spanduk yang memenuhi dinding
tepat di atas kasur. Sementara bendera merah putih terikat tegak di sudut
kamar. Kakek juga memajang barisan gambar pahlawan yang berderet di dinding
dekat pintu.
Dirga seolah menelusuri
lorong waktu saat menjelajahi kamar Kakek. Dia tertegun lama di depan sebuah
foto usang yang tampak berdebu di atas meja. Foto tawa bangga Kakek saat
merangkul dirinya yang terpilih menjadi salah satu petugas Paskibraka tingkat
provinsi dalam upacara perayaan 17 Agustus tepat 15 tahun lalu. Saat itu dia
hanya remaja 16 tahun yang mengagungkan sosok Kakek. Kini sosok itu seakan
memudar seiring waktu.
Kakek selalu menyalahkan
zaman yang seolah kejam hingga mengikis kesadaran generasi muda seperti Dirga.
Kakek sungguh tak menyukai selera Dirga dalam bermusik maupun dalam memandang
kebebasan. Terkadang perdebatan mereka terasa menegangkan hingga Dirga memilih diam
dan pergi. Sudah lima tahun dia enggan menelepon Kakek meski Bunda telah
membujuknya mati-matian.
“Kakek sudah tua, Dirga
dan kamu satu-satunya cucu yang sangat dibanggakannya. Tolong maafkan Kakek dan
maklumi semua pandangannya. Kakek sudah melalui saat-saat berat dalam
zamannya.”
Lagi-lagi helaan napas
berat. Dirga merenungkan kata-kata Bunda. Sebuah tepukan halus menyentak
kesadarannya. Ayah berdiri sambil menyunggingkan senyum lembut. Dirga membalas
senyumnya.
“Kakek luar biasa, kan?”
Ayah melipat tangan di dada. Tatapannya lurus.
“Dirga, Kakek lahir di
masa-masa negara ini berusaha mempertahankan kemerdekaannya. Sisa-sisa ambisi
Belanda, pemberontakan kaum separatis sampai pengkhianatan terhadap
undang-undang. Bagi Ayah, Kakek adalah sosok yang luar biasa. Tak terhitung
betapa banyak tangisan atau kesedihan yang telah disaksikannya. Mungkin itu
yang membuat Kakek membenci zaman yang berubah drastis.”
“Ayah yakin, Kakek hanya
tak ingin kamu kehilangan jati dirimu sebagai anak bangsa. Dia pasti berharap kamu
akan mewarisi kecintaan dan kebanggaan akan tanah air kita. Kamu harus bangga
dan itu tidak akan lekang oleh waktu. Generasi kalian seharusnya tetap
mempertahankan kebanggaan itu. Bagaimana pun, nasionalisme adalah jati diri
sejati. Itulah gambaran dirimu bagi Kakek.”
Dirga terdiam membisu. Berusaha
meresapi setiap kata-kata Ayah. Di belakang Ayah, seolah-olah Kakek berdiri
sambil menatapnya dalam. Dirga merasakan dirinya tersedot dalam sinar mata
Kakek yang tajam dan menusuk. Tatapan yang selalu membuatnya seolah tertuduh.
Perasaan bersalah membanjiri pikirannya.
Namun sejurus kemudian,
perlahan-lahan senyum Kakek mengembang. Sinar tajam itu menghilang, berganti
cahaya kebanggaan yang seketika membuat dadanya sesak oleh keharuan yang
memuncak.
“Selamat pulang ke rumah.
Kakek bangga padamu.”
Dirga susah payah
membendung rasa haru yang melandanya. Dia terkenang tatapan Kakek yang bangga
dan tawanya yang lebar bertahun-tahun lalu. Bila Kakek sudah bangun dari tidur
panjangnya, dia akan meminta maaf akan keegoisannya dan berjanji akan
membanggakan Kakek dengan caranya sendiri. Kakek yang amat mencintai dan bangga
akan negeri dan tanah airnya.
No comments:
Post a Comment