Monday, October 31, 2016

Pulang

Image : Google

         Dirga terdiam membisu. Dia menatap lama ponsel yang tergeletak di atas mejanya. Bunda memohon sambil menahan tangis yang menyesakkan dadanya. Dirga menyesali kesedihan yang mengguncang wanita yang melahirkannya itu. Meski ingin menghapusnya, Dirga justru merasakan kegalauan yang mengusik. Hati dan otaknya saling berperang.
            “Kakek akan meninggalkan kita semua. Tolong pulanglah segera.” Kata-kata Bunda terngiang lagi memenuhi kepalanya.
        Seminggu lagi Kakek akan merayakan ulang tahun ke-71. Beliau lahir tepat proklamasi kemerdekaan berkumandang ke seluruh negeri. Betapa bangganya Kakek buyut saat Kakek mengeluarkan tangisan pertamanya. Tanpa pikir panjang nama “Nusantara” pun disematkan pada diri Kakek. Nama yang justru memicu jiwa nasionalisme yang berakar kuat dalam sosok Kakek. Kakek tumbuh dengan pribadi konservatif yang keras dan disiplin pada anak-anaknya. Tak seorang pun yang berani menentangnya.
         Dirga menghembuskan napas panjang yang perlahan. Seakan keputusasaan telah menguasainya. Dia tak pernah menyukai bila berdekatan dengan Kakek. Beliau terlalu sering mengkritik setiap sikap dan keputusannya. Seperti saat dia lebih memilih bermain band daripada bertanding pencak silat. Atau mendengarkan musik Barat dibandingkan lagu-lagu dari penyanyi nasional. Kakek sering mencibirnya tak memendam rasa nasionalisme. Padahal dia satu-satunya cucu laki-laki yang akan mewarisi kehormatan keluarga. Kebanggaan gen nenek moyang yang menggariskan kecintaan tanah air dan sikap pahlawan.
            Dia sungguh tak menginginkan beban yang terasa menghimpitnya selama bertahun-tahun.
* * * * *
            Ruang bandara itu seakan menggempur otaknya. Dirga tampak enggan melangkah meski dering ponsel terus menerornya sejak menginjakkan kaki di Sorong. Bayangan masa kecil berkelebat, makin meresahkan hatinya. Sosok Kakek kian terbias jelas. Sosok pahlawan kecil yang dulu dielukannya.
            Langkahnya terhenti tiba-tiba saat menatap Bunda yang menghampirinya. Sorot matanya cemas bercampur gelisah. Ayah mengikuti dari belakang dengan senyum simpatik, sementara Rahayu, adik perempuannya yang sebulan lagi diwisuda melempar senyum cerah dengan binar semangat yang tak pernah padam.
            “Dirga, Kakek… Kakekmu…” Bunda susah payah menelan kecemasannya yang membuncah.
            Ayah mengusap bahunya lembut, berusaha menenangkan kepanikan Bunda yang akan meluap. Lalu ditatapnya Dirga penuh pengertian. Dirga menghela napas. Wajahnya letih setelah menempuh ribuan kilometer, perjalanan melintasi waktu ke kampung halaman yang telah ditinggalkannya selama lima tahun.
            Dirga memaksakan diri menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang terasa panjang. Terlihat wajah-wajah suram yang melirik kehadirannya. Lima hari lagi menjelang perayaan ulang tahun Kakek.
            Dirga menahan napas saat menyaksikan wajah Kakek yang terbaring pucat dengan selang infus di pergelangan tangan dan hidungnya. Napasnya berirama teratur. Meski kerutan menghiasi hampir seluruh wajahnya. Seketika kesedihan menghantam Dirga. Seolah Kakek Nusa telah terhisap dalam lingkaran waktu.
            “Aku sudah datang, Kakek.” Bisik Dirga lirih.
            Untuk pertama kalinya perasaan bersalah menyelimutinya. Kakek dalam memorinya takkan terlihat lemah dan terbujur tanpa daya. Kakek yang sering memarahinya bila dia berbohong atau lalai. Kakek yang selalu memaksanya ikut menyanyikan lagu-lagu nasional yang baginya terasa membosankan hingga Kakek tak segan menyindir pudarnya nasionalisme dalam nadinya. Kakek yang selalu bercerita tentang perang meraih kemerdekaan hingga pembebasan negeri dari ketidakadilan penjajah. Dirga sungguh berharap, suatu hari dia akan meraih mimpi, jauh dari Kakek dengan rasa nasionalisme dan idealismenya. Semua mulai menggelisahkannya.
            Melintas dalam bayangannya, Kakek berdiri dengan raut kemarahan yang memancar dan terasa membakar sekujur tubuhnya. Dirga hanya tertunduk sambil meremas-remari jemari kecilnya yang berkeringat. Hanya sekali dia melewatkan upacara tujuh belasan selama 13 tahun tumbuh dalam didikan Kakek yang semi militer. Kakek adalah mantan panglima yang pernah berjuang melawan kematian dalam pembebasan Irian Barat dari kekuasaan Belanda. Kakek yang mewarisi darah pahlawan dari Kakek buyut yang mengabdikan seluruh jiwa raganya demi kehormatan dan medali TNI. Sayangnya Kakek tak dianugerahi putra yang akan meneruskan jejak itu karena Om Panca meninggal dunia dalam kecelakaan motor ketika umurnya 17 tahun.
            Obsesi Kakek pada kehormatan dan kebanggaan bangsa membuat Dirga tertekan. Dia bahkan menolak mati-matian saat Kakek menginginkannya menjadi tentara atau perwira angkatan laut. Bunda, putri sulung Kakek bahkan memohon Dirga untuk mengiyakannya. Pada akhirnya Dirga kabur dari latihan pertama setelah lulus tes masuk tentara dan memilih kuliah jurusan informatika di Jakarta. Betapa kecewanya Kakek hingga memutuskan mengabaikan sosoknya selama tiga tahun pertama.
            Hingga kini, Dirga tak menyesali keputusannya. Dia bahkan sukses mendirikan perusahaan indie untuk networking dan arsitektur komputer setelah lulus kuliah. Namun saat memandang sosok Kakek dengan segala guratan masa lalu, perlahan kebekuan hatinya mencair. Tak terlihat lagi sosok gagah Kakek yang penuh semangat saat mengenang masa perjuangannya. Kakek yang telah melewati masa-masa penantian kebebasan total yang menggerogoti masa mudanya. Kakek yang akan selalu menjadi sosok pahlawan yang dibanggakannya.
            Tiga hari menjelang ulangtahun Kakek, Dirga termangu diam memandangi seisi kamar Kakek. Di dinding kamarnya tergantung foto-foto hitam putih yang telah dipulihkan dari sisa-sisa usia. Tampak lambang burung garuda membentang gagah di atas tumpukan foto. Peta Indonesia ukuran spanduk yang memenuhi dinding tepat di atas kasur. Sementara bendera merah putih terikat tegak di sudut kamar. Kakek juga memajang barisan gambar pahlawan yang berderet di dinding dekat pintu.
Dirga seolah menelusuri lorong waktu saat menjelajahi kamar Kakek. Dia tertegun lama di depan sebuah foto usang yang tampak berdebu di atas meja. Foto tawa bangga Kakek saat merangkul dirinya yang terpilih menjadi salah satu petugas Paskibraka tingkat provinsi dalam upacara perayaan 17 Agustus tepat 15 tahun lalu. Saat itu dia hanya remaja 16 tahun yang mengagungkan sosok Kakek. Kini sosok itu seakan memudar seiring waktu.
Kakek selalu menyalahkan zaman yang seolah kejam hingga mengikis kesadaran generasi muda seperti Dirga. Kakek sungguh tak menyukai selera Dirga dalam bermusik maupun dalam memandang kebebasan. Terkadang perdebatan mereka terasa menegangkan hingga Dirga memilih diam dan pergi. Sudah lima tahun dia enggan menelepon Kakek meski Bunda telah membujuknya mati-matian.
“Kakek sudah tua, Dirga dan kamu satu-satunya cucu yang sangat dibanggakannya. Tolong maafkan Kakek dan maklumi semua pandangannya. Kakek sudah melalui saat-saat berat dalam zamannya.”
Lagi-lagi helaan napas berat. Dirga merenungkan kata-kata Bunda. Sebuah tepukan halus menyentak kesadarannya. Ayah berdiri sambil menyunggingkan senyum lembut. Dirga membalas senyumnya.
“Kakek luar biasa, kan?” Ayah melipat tangan di dada. Tatapannya lurus.
“Dirga, Kakek lahir di masa-masa negara ini berusaha mempertahankan kemerdekaannya. Sisa-sisa ambisi Belanda, pemberontakan kaum separatis sampai pengkhianatan terhadap undang-undang. Bagi Ayah, Kakek adalah sosok yang luar biasa. Tak terhitung betapa banyak tangisan atau kesedihan yang telah disaksikannya. Mungkin itu yang membuat Kakek membenci zaman yang berubah drastis.”
“Ayah yakin, Kakek hanya tak ingin kamu kehilangan jati dirimu sebagai anak bangsa. Dia pasti berharap kamu akan mewarisi kecintaan dan kebanggaan akan tanah air kita. Kamu harus bangga dan itu tidak akan lekang oleh waktu. Generasi kalian seharusnya tetap mempertahankan kebanggaan itu. Bagaimana pun, nasionalisme adalah jati diri sejati. Itulah gambaran dirimu bagi Kakek.”
Dirga terdiam membisu. Berusaha meresapi setiap kata-kata Ayah. Di belakang Ayah, seolah-olah Kakek berdiri sambil menatapnya dalam. Dirga merasakan dirinya tersedot dalam sinar mata Kakek yang tajam dan menusuk. Tatapan yang selalu membuatnya seolah tertuduh. Perasaan bersalah membanjiri pikirannya.
Namun sejurus kemudian, perlahan-lahan senyum Kakek mengembang. Sinar tajam itu menghilang, berganti cahaya kebanggaan yang seketika membuat dadanya sesak oleh keharuan yang memuncak.
“Selamat pulang ke rumah. Kakek bangga padamu.”

Dirga susah payah membendung rasa haru yang melandanya. Dia terkenang tatapan Kakek yang bangga dan tawanya yang lebar bertahun-tahun lalu. Bila Kakek sudah bangun dari tidur panjangnya, dia akan meminta maaf akan keegoisannya dan berjanji akan membanggakan Kakek dengan caranya sendiri. Kakek yang amat mencintai dan bangga akan negeri dan tanah airnya.

No comments:

Post a Comment