Aku memandangi wajahnya yang bersimbah
keringat. Aku tak kuasa mengalihkan tatapanku yang menelusuri setiap jengkal
tubuhnya yang tercipta sempurna. Wajahnya setengah oval dengan bulu-bulu halus
yang tumbuh di sekitar bibir, memberikan kesan jantan. Rambutnya yang dipotong
rapi pada kedua sisi menjuntai tak mencapai leher. Tubuhnya jangkung kurus
dengan otot bisep yang menonjol. Aku menahan napas setiap kali keluwesan
tubuhnya menari-nari di depan mataku. Ingin rasanya aku menyentuh kulitnya yang
terkesan kasar. Dia tampak serius memeriksa pekerjaannya.
Asistenku
menyela khayalanku yang kian melambung tinggi. Aku sempat terkejut, cepat-cepat
aku menyembunyikan perasaan terlarang itu. Berkali-kali aku berhati-hati agar
tidak terekspos siapa pun. Aku membayangkan media akan berjingkrak kegirangan
bila berhasil mengendus kesalahanku. Aku sudah menjelma menjadi pengusaha
furnitur kualitas ekspor yang pernah diwawancarai majalah bisnis yang cukup
popular di kawasan metropolis Jakarta.
Aku
cepat-cepat membaca laporan yang diangsurkan asistenku. Order barang lumayan
sepi dari luar negeri. Mungkin aku masih harus bersabar dengan kondisi pasar
luar negeri yang lesu. Justru permintaan furnitur dari domestik meningkat
tajam. Aku menyunggingkan senyum puas.
“Maaf,
AC-nya sudah selesai direparasi. Saya sudah memastikan compressornya berfungsi
baik. Freonnya tidak mengalami kebocoran. Ada baiknya minimal tiga bulan sekali
AC-nya dicuci.”
Aku
manggut-manggut. Diam-diam mataku menjelajahi setiap keringat yang menetes di
wajah hingga dadanya. Dia telah melepas kemejanya, menyisakan kaus dalam yang
melekat erat dan membentuk tubuhnya. Tampak menyembul otot-otot perut yang
rata. Aku menelan ludah. Aku berusaha menepis kekagumanku yang menjelma menjadi
perasaan mendamba yang cukup menyiksa.
Aku
baru bertemu dengannya setengah tahun lalu saat para karyawanku kelabakan mencari
tukang servis yang ahli. Tukang servis AC yang lama tak terlalu memuaskan
pekerjaannya. AC di toko malah lebih sering rusak. Aku melampiaskan kemarahanku
karena terbebani untuk mengawasi tiga toko furnitur di kawasan yang berbeda di
Jakarta. Wajah para karyawanku memucat, tak seorang pun berani bersuara. Selama
ini aku tahu, mereka tak pernah menyaksikan letupan kemarahanku. Aku selalu bersikap
hangat, akrab dan ramah. Aku bahkan mampu mengingat nama mereka termasuk
keluarganya dan kebiasaan mereka yang terpatri di otakku. Sejak kecil aku
jenius dalam mengingat.
Orang
tuaku amat bangga saat aku menyodorkan raporku yang selalu berprestasi. Mereka
bahkan sering menangis terharu saat aku memenangkan sejumlah penghargaan. Aku
memiliki tiga kakak perempuan yang ceriwis dan galak. Mereka terkadang mem-bully-ku meski tak parah. Bagi mereka,
aku adalah sosok adik manis yang harus selalu menuruti keinginan mereka. Aku
bertumbuh menjadi anak yang peka dan sensitive perasaannya.
Diusiaku
yang menginjak 30 tahun, untuk pertama kalinya ada seseorang yang mampu
mengguncang hatiku. Aku tak pernah sehari pun melupakan saat pertemuan pertama
dengan lelaki itu. Dia tampak tergesa-gesa memasuki toko kami dengan seorang
pria. Dengan sorot meminta maaf, dia berbicara pada bawahanku, supervisor toko
yang tak sabaran menanti kehadirannya. Ketika itu aku sedang menjelaskan
furnitur model terbaru yang diukir pekerja kami pada calon konsumen yang rewel.
Aku melirik sekilas dan terkesiap saat tatapan kami beradu. Dia mengangguk
sopan. Harus kuakui, aku terkesan dengan aura yang menyelimuti lelaki itu.
Dia
bahkan lihai memperbaiki AC toko yang fatal kerusakannya. Di bulan ketiga, aku
mencoba mengorek kesehariannya. Dia berbicara sambil sesekali tersenyum meski tak
menghentikan kesibukan kerjanya.
“Saya
lulus sarjana Teknik Arsitektur tapi lebih tertarik mengutak-atik mesin dan
elektronik. Jadi selesai kuliah, saya tak mendengarkan orang tua saya untuk
mencari pekerjaan tetap. Saya malah membuka usaha reparasi elektronik dan AC
dengan modal yang saya kumpulkan selama setahun bekerja di perusahaan
konstruksi.”
Dia
mengulas senyum tipis, melirik sekilas lalu memusatkan perhatian pada komponen
AC yang telah dibongkarnya. Dia mengerjakannya di gudang belakang toko
furniturku. Tanpa sadar aku ikut tersenyum. Makin mengagumi keuletan dan sikap
optimisnya yang tak pernah pudar. Dia telah menjadi tukang reparasi AC
langganan kami. Bahkan aku terkadang memanggilnya bila ada alat elektronik yang
rusak di rumahku. Dia memuji penuh antusias saat muncul di depan rumahku untuk
memperbaiki TV LCD di kamar yang sengaja kurusakkan.
Kesuksesanku
makin menginspirasinya untuk menekuni usahanya. Dia memiliki cita-cita ingin
sukses membangun usaha reparasi alat elektronik terbesar di Jakarta. Aku
menyemangati impiannya. Dulu aku juga begitu bersemangat di masa muda.
Mengenyahkan perasaan buruk yang menekan saat orang tuaku akhirnya mengetahui
rahasia terbesarku. Ibu menangis terisak tanpa henti, sementara Ayah terdiam
membisu beberapa lama di kursinya.
“Maafkan
aku, Ayah, Ibu. Aku sudah berusaha melawan sisi hatiku sejak dulu. Aku juga tak
menginginkannya tapi sekeras apa pun aku menghindarinya, pada akhirnya aku
menjadi putus asa.” Aku berusaha meredam luapan perasaanku yang diliputi
keputusasaan.
Ayah
memandangku seolah menerawang jauh. Ibu makin menangis keras, tak mampu
menanggung kekecewaan yang menghantamnya. Setelah membisu dengan pikirannya,
Ayah pun menarik napas dan menghembuskannya panjang.
“Baiklah,
kalau memang itu keputusanmu, Nak. Tak ada lagi yang bias Ayah katakan. Ayah
akan berusaha memahami isi hatimu.”
Mau
tak mau aku menghela napas lega. Ayah begitu bijaksana, tak pernah menghakimi
kesalahanku di sepanjang memoriku. Aku merasa bersalah saat menatap gurat-gurat
kelelahan yang menghiasi wajahnya. Seketika wajahnya bertambah tua beberapa
tahun.
Kini,
aku tak lagi melarikan diri. Aku memutuskan untuk mengabaikan suara-suara
sumbang yang menyangsikan keberadaanku. Aku berusaha hidup normal seperti orang
lain. Sepuluh tahun bergulat dalam peperangan batin yang menyiksa cukup membuatku
lelah luar biasa. Ketiga kakak perempuanku yang telah menikah sempat kaget tak
percaya. Namun tak ada yang mencela atau mencemoohku. Sedikitnya aku masih bisa
bersyukur Tuhan menghadiahi keluarga yang tetap menerimaku apa adanya.
* * * * *
Aku
mematut-matut penampilanku di depan kaca. Kemeja semi formal dan celana skinny panjang berbahan katun. Sejak
tadi aku gelisah menanti pertemuan dengan si lelaki tukang servis. Namanya Mas Doni
Setyawan. Aku baru mengetahui namanya sebulan lalu. Biasanya aku hanya
memanggilnya “Mas”. Aku mengusulkan pertemuan di kafe untuk membahas rencana
ekspansi bisnis dari jasa reparasi alat elektronik dan AC miliknya. Aku bahkan
akan menginvestasikan modal untuk membuka toko yang menjual alat-alat
elektronik dan AC.
Tadinya
dia enggan mengungkapkan impian yang terus mengusik pikirannya. Setelah aku
membujuk setengah memaksa, dia akhirnya mengatakannya dalam satu tarikan napas.
Entah
mengapa, dadaku selalu berdetak dua kali normal saat berhadapan dengannya. Aku
canggung layaknya wanita yang jatuh cinta. Namun dia tak menyadari rona merah
di wajahku setiap kali dia tersenyum. Dia juga tak tahu bila aku diam-diam suka
memandangi wajahnya. Di luar pekerjaan, Doni tetap memancarkan kehangatan dan
keramahan yang menyejukkan hatiku. Dia tak memerhatikan kekikukan yang
menyergapku setiap kali dia menepuk pundak atau menyalami tanganku dengan
semangat.
Pertemuan
itu terus berlanjut. Perasaanku kian tumbuh bak bunga-bunga yang bermekaran.
Sia-sia saja aku menyingkirkannya. Akhirnya aku pun memasrahkan diri. Aku akan
menyimpan rapat-rapat perasaan asing yang menyenangkan ini. Tak seorang pun
boleh merampasnya atau mencela ketulusan hatiku.
Setelah
pertemuan-pertemuan yang intens, Doni mengajakku mengunjungi calon toko baru
yang akan mewujudkan cita-citanya. Di sana aku bertemu dengan dua orang
temannya. Seorang lelaki agak gempal dan seorang wanita manis yang mungil.
Sempat terbersit rasa cemburu saat menyaksikan Doni berinteraksi dengan akrab kepada
Reta, nama wanita itu. Katanya dia adalah teman kuliahnya dulu tapi berbeda
jurusan. Mereka bertemu saat keduanya bergabung di organisasi PA (Pecinta
Alam). Reta dan Doni saling tertawa-tawa dan bercanda. Aku berjuang keras
menekan kejengkelan yang menyusup.
Tak
hanya sekali dua kali, bahkan Reta juga menyeruak di antara kami berdua saat
pembicaraan strategi bisnis di kafe langganan kami. Dia melontarkan ide-ide dengan
wajah sumringah. Beberapa kali aku menangkap pancaran sinar mata Doni yang menatap
Reta lekat-lekat sambil menyunggingkan senyum geli. Dia bahkan sering
mengacak-acak rambut Reta hingga wanita itu mengomel. Padahal aku menangkap
basah senyum manis yang menghiasi wajahnya setelah diperlakukan begitu. Aku
mengerang dalam hati. Sampai kapan aku akan sanggup menahan gejolak hatiku yang
kacau.
Setiap
hari di kantor, aku melamun membayangkan hari-hari yang dilewati Doni dan Reta.
Sepertinya mereka terikat oleh masa lalu dan takdir pertemuan yang abadi. Sudah
sepuluh tahun kebersamaan mereka yang takkan dapat kutaklukkan. Mengapa bukan
aku yang bertemu Doni sepuluh tahun yang lalu?Suatu saat aku merasa jantungku
akan meledak bila terus memendam perasaan sakit dan cemburu ini.
Doni
tak pernah menyadari kegalauan hatiku yang dikacaukan oleh kehadirannya. Tak
seharusnya perasaanku menjadi sesensitif ini. Sisi kewanitaanku kian menguasai
jiwaku. Tak pernah aku begitu gelisah hingga tak mampu memejamkan mata di malam
hari. Aku masih terus berharap dapat memandangi Doni selamanya. Aku ingin sosok
Reta tak hadir di antara kami. Masih sisa dua bulan lagi sebelum aku kehabisan
alasan untuk bertemu Doni.
Percik-percik
bahagia membanjiri seluruh rongga hatiku saat Doni berhasil membeli toko yang
diidam-idamkannya dan mengisinya dengan berbagai merek barang elektronik. Aku
sibuk mengkomando para pekerja yang hilir mudik membawa masuk barang-barang.
Tak kutangkap sosok Doni di sekitar toko. Mungkin dia sibuk di belakang toko
yang menjadi gudang reparasinya. Mataku berseri-seri saat sosoknya tampak dari
kejauhan di sudut kiri gudang. Namun langkahku terhenti saat mendengar
perdebatan Doni dengan Aris, si lelaki gempal sahabatnya. Reta berdiri tak jauh
dari keduanya. Aku spontan menyembunyikan diri, menguping pembicaraan mereka.
“Don,
laki-laki yang membantumu itu pasti gay.
Aku sudah sejak lama memerhatikan gerak-geriknya. Sebaiknya kau menjauh darinya
sebelum keadaan lepas kendali. Bukannya aku ingin menjelek-jelekkannya. Dia
memang baik, tapi orientasi seksualnya akan membahayakanmu. Dia pasti suka
padamu.”
“Yang
benar saja, Ris. Jacky bukan gay.
Jangan menuduhnya.”
Aris
menghela napas putus asa. Dia mengacak-acak rambutnya yang keriting dengan
luapan frustasi.
“Reta,
coba katakan sesuatu. Katakan kalau bukan aku saja yang merasakannya. Laki-laki
itu pasti gay tulen. Sudah berapa
kali aku menangkap basah tatapannya yang tak biasa pada Doni. Kelelakian Doni
pasti menarik hatinya. Aku benar-benar gila.”
Reta
menghembuskan napas. Dia mendekati Doni, menjejerinya, menatapnya dengan jenis
tatapan yang pastinya akan meluluhkan hati Doni.
“Aku
juga merasakannya, Don. Dia menyukaimu. Aku tak kan menghakimi orientasi
seksualnya karena aku tidak berhak menghina harga diri seseorang. Aku hanya
ingin kau mengatakan perasaanmu padanya. Pasti sulit memendam perasaan sebesar
itu.”
Tiba-tiba
jemari-jemariku gemetaran. Aku takut kejujurannya akan menghancurkan hatiku.
Aku benar-benar ketakutan bila dia menyadari diriku yang abnormal. Aku sungguh
kalut hingga cepat-cepat pergi meninggalkan mereka.
* * * * *
“Maafkan
aku.” Ketakutanku menjelma nyata saat dia mengucapkannya. Seakan itu vonis
kematian yang menentukan napas kehidupanku.
Aku
dapat memahami sepenuhnya ketidaknyamanan dalam suaranya. Aku mencela diriku
yang tak berdaya dengan perasaan ini. Namun segumpal kelegaan menyusup tatkala
pikiran buruk yang sempat menghantuiku tak terjadi. Doni menghadapi kenyataan
itu dengan tenang dan damai.
“Aku
takkan meminta kau untuk membuang jauh-jauh perasaan itu. Aku tak berhak untuk
itu. Aku memikirkan ini cukup lama. Pada akhirnya aku harus berterima kasih
karena kau telah banyak membantuku. Aku tak dapat membalas kebaikanmu. Tapi aku
akan mengakui satu hal. Aku hanya mencintai Reta. Aku bahkan sudah melamarnya
untuk menikahiku.”
Doni
memandangku penuh simpati. “Tolong mengertilah. Aku berharap kau tidak membenci
hidup dan dirimu sendiri. Aku akan mencoba memahami apa yang anda alami selama
ini.”
Pertahananku
runtuh. Aku menangis, meminta maaf berulang-ulang. Belum pernah aku bertemu
dengan seseorang yang tak mencibir atau menghakimi anomali yang terjadi padaku
kecuali keluarga sendiri. Dia sungguh lelaki yang baik yang tak pernah akan
kutemukan lagi di dunia ini. Aku berharap akan ada lagi orang-orang yang
sepenuhnya memahami dan tak memandangku dengan tatapan aneh yang menuduh.
Bagaimana pun aku juga dilahirkan ke dunia dengan sempurna, seperti orang-orang
normal yang lain. Hanya saja jiwaku bertentangan dengan identitas fisikku
sehingga itu sungguh menyiksaku seumur hidup. Aku hanya butuh pengakuan tentang
eksistensiku di dunia. Itu sudah lebih dari cukup.
(Penggalan kisah untuk sahabatku, Februari 2016)
Copyright @ElfryantyNovita