Batinku
berkecamuk. Dua suara berlawanan terus mengacaukan sistem otakku yang sedang
berpikir keras. Aku pun meluapkan kekesalan, tak memedulikan tatapan kaget
orang-orang yang sedang menunggu di halte bus.
Satu,
dua, tiga aku terus menghitung detik demi detik sebelum lima menit berlalu.
Detik kesepuluh, sosok yang kunanti sejak jam sepuluh akhirnya muncul dari
seberang sambil berlari-lari panik. Dia jangkung kurus, bermata sipit segaris,
kulit yang putih pucat dengan rambut jabrik karena kelebihan gel rambut. Kadang
aku aku mengejek rambutnya sampai wajahnya cemberut total.
Aku
melipat tangan di dada. Rio berdiri di depan sambil mengatur napasnya, persis
ikan mas koki yang minum air.
“Maaf,
Em. Tadi si Geng Berat minta tolong memeriksa kerusakan PC. Mereka mau main PS
seharian tapi tiba-tiba PC troubleshooting.”
“Jabrik,
sudah berapa kali sih kamu
dimanfaatkan mereka di hari Sabtu?Ini yang ke-49 kali sepanjang tahun ini, kamu
hampir membatalkan rencana kita.” Pekikku histeris.
Rio
menatap memelas. Dia sampai menyatukan tangannya, meminta maaf sambil menundukkan
kepala. Aku menghela napas kesal. Maklum, hari ini kami janjian mengunjungi
Kakek Rustam di Panti Jompo. Sudah setahun terakhir, kami berteman dengan
Beliau saat masih kerja sebagai sukarelawan. Aku ingin menumpahkan amarah,
namun tampang memelas Rio selalu sukses membuatku goyah.
Sebenarnya Rio dihukum
Tante Ira, mamanya menjadi sukarelawan gara-gara membohonginya. Aku menemaninya
sebagai bentuk solidaritas sejati. Semua berawal dari sekitar setahun lalu, Rio
berjanji akan mengunjungi Oma Sandra, neneknya di Cibubur dan menginap di sana
selama libur semester. Ternyata dia justru berkelana ke Gunung Rakutak bersama
teman Klub PA di hari kelima. Dia membohongi Oma. Naas, seminggu kemudian Oma
terserang stroke dan meninggal dunia. Betapa terpukulnya Rio dan keluarganya.
Padahal Tante Inggrid yang tinggal bersama Oma sedang dinas ke luar kota.
Aku
takkan pernah melupakan wajah Rio yang syok. Seharian dia hanya menatap kosong
dan linglung, persis pasien Demensia yang dirawat Ayah. Selesai pemakaman, dia
tak beranjak dari peristirahatan terakhir Oma. Bahkan saat aku menepuk-nepuk
bahunya, dia tetap menahan tangis yang kuyakin nyaris melumpuhkan dadanya.
* * * * *
Lagi-lagi aku menunggu
kehadiran Rio. Hari ini kami janjian akan ke peluncuran novel baru karya
novelis favoritku. Tadi dia menelepon sedang berkutat dengan persiapan Pentas
Seni Tahunan. Kebetulan Rio dipilih sebagai sekretaris BEM. Aku benar-benar
kasihan padanya. Sejak SMP, Rio adalah orang paling populer sejagat. Tampangnya
tergolong pas-pasan, pendapatku yang memang hanya tertarik bersahabat
dengannya. Kami sudah bertetangga sejak kecil. Dari TK sampai kuliah,
kebersamaan kami seolah abadi. Aku selalu melewati hari-hari penuh warna
bersamanya hingga aku seakan mampu membaca perasaan yang terukir di hatinya.
Rio adalah sosok teman
yang menyenangkan, humoris dan pintar bergaul. Berbeda denganku yang santai dan
cuek, Rio tak pernah mengabaikan siapapun yang membutuhkannya. Dari Senin
hingga Minggu, dia selalu memiliki jadwal padat. Aku bahkan harus memaksanya
untuk menemaniku. Tante Ira saja sering mengeluhkan kesibukan Rio yang
segudang. Tak hanya itu, entah sudah berapa banyak temannya yang berkunjung ke
rumah. Dari teman main PS sampai kenalan dunia maya.
Sejujurnya, aku sedih
sekaligus iba pada Rio. Hingga kini, aku lebih suka sosok Rio yang tumbuh dengan
dua kakak perempuannya yang paling suka mengusilinya. Sementara aku tertekan
dengan perlakuan protektif dua kakak laki-lakiku. Cuma Rio satu-satunya sahabat
yang kuandalkan. Namun memasuki kuliah, Rio perlahan-lahan disibukkan dengan
aktivitasnya yang seabrek. Pada akhirnya aku merasa ditinggalkan. Bunda sering
berkelakar kalau aku adalah Wallpaper
dan Rio sebagai Desktop-nya. Maklum,
Bunda adalah pakar IT di kantornya sekaligus Master IT si Rio.
Dering ponsel membuyarkan
lamunanku yang mengembara. Di layar terpampang nama “Jabrik Tulen”. Seperti
dugaanku, janjian kami batal. Persiapan seni menguras waktunya seharian. Meski
aku mengomelinya, dia hanya tertawa meminta maaf. Aku tak mampu membencinya
tapi aku sangat tak menyukai kepopulerannya yang memuncak.
Sejurus kemudian, aku
tergelak geli. Posisi kami telah tertukar. Dulu saat SD, akulah si Populer yang
super aktif dalam semua kegiatan sekolah. Sedangkan Rio adalah si Penyendiri
yang terhimpit dalam rubik ciptaannya. Dia tak pernah nyaman berteman dekat
dengan siapa pun selain aku. Maklum, dia tumbuh kesepian saat orangtuanya sibuk
bekerja. Akulah yang susah payah menyeretnya keluar dari dinding penjara
imajinasinya. Aku juga menyemangatinya untuk aktif bergaul. Kini, siapa yang
akan percaya, Rio si Introvert telah
bertransformasi total menjadi si Populer Tulen.
Dua minggu kemudian, aku
harus menelan keenggananku, menyambut perayaan ke-20 tahun aku dilahirkan ke
dunia. Bunda tak menggubris pintaku untuk membatalkan acara ultah. Bahkan aku
juga terpaksa ikut membantu Bunda memasak. Tante Ira amat antusias membantu
kami seharian.
Aku menelan ludah saat
bolu labu kukus, kesukaanku dan Rio menebar harum menggoda. Saat aku ingin
mencolek kelembutannya, Bunda spontan melancarkan pelototan mautnya.
“Emi, kuenya baru bisa
dimakan tiga jam lagi. Kamu sudah telepon Rio?Dia bisa datang nanti, kan?”
Aku cemberut. Ini sudah
ketiga kalinya Bunda menanyakan Rio.
“Katanya dia masih rapat
SEMA. Mereka mau membahas acara Perpisahan Alumni.”
Alis Bunda terangkat. Tante
Ira muncul dari arah dapur.
“Jangan tanya lagi, Lia.
Si Rio itu sudah lebih sibuk daripada pejabat daerah. Aku saja jarang ketemu
dia. Setiap hari dia pergi pagi dan pulang malam.”
Aku mendesah resah.
Kesibukan Rio sudah kelewat batas. Apa menjadi populer lebih bermakna daripada kebersamaan
dengan keluarga dan sahabatnya?
Aku tersentak kaget saat
dering ponsel memporak-porandakan lamunanku yang terajut. Bunda cepat
mengangkat ponselnya dan bergegas ke arah depan. Aku menoleh ke arah Tante Ira
yang sibuk menuang sup ke dalam mangkuk besar. Rona wajahnya membiaskan
kesedihan.
Aku pun menekan nomor
Rio. Berharap meski sia-sia, dia akan menjawab ponselnya.
“Ya, halo?”Suara seorang
gadis. Aku mengernyit heran. Keraguan menyelimutiku.
“Ini bukannya ponsel Rio
Dericko?”
“Ya, ini dengan Juni,
temannya di SEMA. Tadi si Rio minta ijin pulang. Dia buru-buru sampai lupa
ponselnya ketinggalan di atas meja ketua. Katanya hari ini ada acara spesial
sahabatnya yang tidak boleh dilewatkan.”
Keharuan tiba-tiba
menyeruak. Aku menahan perasaan bahagia bercampur bangga. Ternyata aku tak
terlupakan sama sekali. Saking terharunya, tanpa sadar aku menyenggol piring
kue yang tergeletak di ujung meja. Piring itu pun pecah berkeping-keping
menghantam lantai. Bukan aku saja yang kaget, Tante Ira dan Bunda buru-buru
masuk ke dapur disusul Bibi Inem yang latah melontarkan suara.
Bunda mengomeli pikiranku
yang mengembara tak jelas. Tante Ira menatap prihatin sambil bergegas
menyelamatkanku yang masih tak pulih dari kaget. Entah mengapa kecemasan
menyerangku bertubi-tubi. Jantungku berdetak kencang seolah ingin berlompatan.
Aku masih linglung dengan tatapan mata yang kian kabur. Bunda dan Tante Ira
sampai cemas dan mengguncang badanku. Mendadak yang terlintas di benakku adalah
sosok Rio.
Firasat aneh itu akhirnya
melumpuhkan duniaku seketika. Telepon seseorang mengabarkan sosok Rio yang
berpulang ke haribaan setelah menghembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan
ke rumah sakit. Motornya bertabrakan dengan truk yang melaju kencang dari arah
berlawanan. Supir truk itu mengantuk hingga truknya menghantam motor Rio. Kami
bahkan kehilangan dirinya sebelum sempat mengucapkan kata-kata.
* * * * *
Aku terhenyak saat
memandang wajah-wajah asing yang membanjiri pemakaman Rio. Kesedihan mereka
nyata terpancar hingga membuat dadaku sesak. Aku telah kehilangan sahabat
terbaik yang selalu menghiasi hari-hariku. Aku seakan tak mampu menopang
sekujur tubuhku yang lunglai. Tak ada kata-kata terucap yang mampu melukiskan
kesedihan yang melandaku.
Tangisku pecah saat
seorang teman Rio mengucapkan kata-kata belasungkawa yang paling menyentuh.
Kuakui, ternyata kehidupan super sibuk Rio membuahkan hasil. Rumah besar Rio
bahkan penuh sesak orang-orang hingga ke halaman dan luar pagar rumahnya. Tak
hanya aku yang sangat kehilangan dia. Benar kata Bunda, Rio adalah “pusat
dunia”, Desktop yang terus memenuhi
layar. Sementara aku si wallpaper
yang dapat diganti kapan pun. Aku tak peduli. Aku tahu, Rio meraih kepopulerannya
susah payah dan ketulusan tanpa henti.
Sayup-sayup aku meresapi
elegi yang menenggelamkan kesedihanku. Kesedihan ini takkan sirna dalam
beberapa hari. Aku akan mengenang si “Jabrik Tulen” yang mewarnai duniaku
dengan kebaikan hatinya. Aku bahkan menyesali perdebatan kami yang memanas
dalam tiga bulan terakhir hanya gara-gara kepopulerannya yang mengganggu.
Sebulan lamanya aku
berkubang dalam kesedihan. Hari-hariku terasa sepi tanpa tawa dan keusilan Rio.
Aku seakan-akan membayangkan siulan dan teriakannya dari pintu pagar rumahku.
Di kampus, aku menemukan beberapa orang yang masih mengenang sosok Rio. Bahkan
Geng Berat, anak SEMA dan anggota BEM sering menyapa bila berpapasan denganku.
Mendadak aku terkenal gara-gara Rio selalu membanggakan semua kelebihanku.
Sedikit demi sedikit aku dapat berbagi kesedihan tentang Rio pada teman-temannya.
Tante Ira dan Om Budi
akhirnya memutuskan pindah ke Jogja. Sehari sebelum pergi, Tante Ira
menyerahkan sebuah diari. Diari itu ditemukan saat Tante Ira membereskan semua
peninggalan Rio. Aku berjuang menahan air mata saat beradu tatap dengan sinar
kesedihan yang terpancar di wajah Tante Ira yang tak bercahaya. Pelukan darinya
terasa meremukkan hatiku.
Akhirnya aku menyepi di
kamar untuk membaca diari coklat milik sahabatku. Untuk pertama kalinya,
ketegaran yang kuperjuangkan selama beberapa hari runtuh oleh seuntaian
ungkapan Rio sehari sebelum hari ultahku. Dia ternyata tak benar-benar
mengabaikan aku, sahabatnya. Meski teman-teman yang tak terhitung banyaknya
mengitari dan menyenangkan harinya, bagi Rio aku adalah sosok sahabatnya yang
tak tergantikan.
“Dear diari, besok adalah ultah si Emi yang Baik Hati. Aku sudah
diam-diam menyiapkan kado untuknya. Aku juga ingin meminta maaf padanya. Kurasa
aku terlalu sibuk padahal dulu aku berjanji akan menjadi sahabat terbaiknya. Tiga
bulan ini terasa tidak nyaman karena kami berdebat terus. Dia pasti tidak tahu,
kalau gara-gara dialah aku mau bergaul dengan orang-orang dan menjadi populer.
Kurasa dia lupa kejadian saat kelas 6 SD. Dia yang memaksaku ikut Pramuka, klub
bulutangkis, kelompok belajar dan entah apa lagi. Menurutnya, suatu hari nanti
semua orang di dunia akan menyukai kehadiranku bila aku mau berteman dengan
dunia.”
“Dear diari, mungkin menyenangkan bila dunia menyukaiku dan aku
menjadi orang tenar. Tapi mengapa aku masih merasakan kesepian yang hampa. Cuma
Emi yang sepenuhnya memupuskan kekosongan itu dan menerimaku tanpa kepalsuan.
Dia sahabat terbaik, bukan?Semoga dia akan tersenyum menyambut kadonya besok.
Aku juga akan memikirkan prioritas hidupku, bukan lagi mengejar ketenaran yang
sia-sia. Seperti kata-katanya waktu itu.”
Aku menggigit bibir. Tak
mampu membendung air mataku yang mengalir lembut. Aku membiarkan kesedihan itu bergulir
seakan tanpa batas. Untukku, Rio-lah si wallpaper
yang memancarkan keindahan tiada akhir. Bahkan dia bak senja yang selalu membiaskan
garis-garis cahaya yang memancar dan memesona siapa pun yang memandangnya hingga
kegelapan malam perlahan-lahan menelannya. Akhirnya aku berdamai dengan
kesedihan yang menyiksaku selama ini.
Terbayang wajah Rio yang
mengedip jahil. Elegi dengan melodi indah mengalun.
@copyright 2016, Memori di Bulan Agustus, ElfryantyNLT