Dua bulan lalu …
Aku berlari tergesa-gesa
sambil memeluk buku-buku diktatku. Hari kuliah yang tak kunantikan. Semalam aku
menghabiskan waktu menyusun bahan pelajaran untuk Edi, anak tetanggaku yang
sudah tiga bulan kuajari Bahasa Inggris. Aku berusaha tak memikirkan keletihan
yang sering menyergapku. Kehampaan dalam hatiku yang lebih meracuniku.
Napasku
terengah-engah saat berhasil memasuki bus kampus yang cukup sesak dengan
beberapa mahasiswa. Aku berdiri, hampir menyenggol lengan seorang cowok yang
sibuk mendengarkan musik dari ponselnya.
“Maaf.”
Belum
sempat menemukan keseimbangan kakiku, bus kampus mengerem mendadak karena ada
motor yang mendadak melintas di depan. Aku terdorong ke depan hingga buku-buku
diktatku berhamburan jatuh. Aku menubruk lengan kiri cowok yang berdiri di
sebelahku. Sesaat dia spontan menahan tubuhku hingga aku tak perlu terkapar
sambil menahan malu.
Aku
tertunduk meminta maaf berkali-kali. Aku nyaris meluncurkan umpatan kasar. Tak
seharusnya pengendara motor ugal-ugalan tanpa peduli keselamatan orang lain.
Sementara dalam kamus kehidupanku, kesopanan dan kebaikan hati telah mengikat tubuh
dan jiwaku. Aku adalah Emi, si Putri Baik Hati. Tak ada yang istimewa dariku
dibandingkan Mae, si Putri Jenius dan Emma, si Putri Cantik.
Aku
memeluk diktatku sambil melamun sedih. Ingin rasanya aku menghilang dari
rutinitas membosankan yang melelahkan. Meski orangtuaku terkenal baik hati,
namun sikap keduanya seolah mengabaikan sosokku. Selama 19 tahun, rasanya
menyesakkan dibayangi sosok kedua kakak perempuanku yang sempurna. Aku berusaha
menahan luka yang terpendam. Berpura-pura tersenyum seakan tak satu pun beban
yang menghantuiku. Bagiku jam-jam yang kuhabiskan di perpustakaan kampus
berhasil menjauhkanku dari kekosongan yang menghantuiku hari demi hari.
Aku
meneriakkan suara sekencang mungkin saat bus kampus melewati ruang fakultas
Sastra Inggris. Jantungku berdetak kian cepat. Napasku memburu. Terasa risau
dan rasa takut saling berkejaran menekan otakku. Mengirimkan sinyal yang
semakin melumpuhkan hatiku.
Aku
menerobos sebuah ruangan yang senyap hingga bunyi napas pun terdengar tertahan.
Pak Indra, Dosen Pengantar Sastra berdiri di depan kelas sambil menatap dingin.
Aku cepat-cepat membungkuk sambil melontarkan maaf berkali-kali. Rasanya kata
“maaf” telah terukir dalam otakku dari kecil. Betapa melelahkannya terus
meminta maaf. Di rumah, aku paling sering meminta maaf bila Ayah atau Bunda terlihat
ingin menyalahkan seseorang untuk segala hal yang merisaukan hati keduanya. Hanya
Mae dan Emma yang selalu menuai pujian. Bila keduanya mengalami kekecewaan atau
kekalahan, Ayah atau Bunda akan berlomba-lomba menghibur dan menghadiahi macam-macam.
Sebaliknya, aku si Tak Terlihat harus berjuang meraih perhatian keduanya, meski
selalu berujung kecewa.
Entah
mengapa setiap kelulusanku, Ayah maupun Bunda seolah sibuk. Ayah adalah
Profesor Matematika yang kesohor, sedangkan Bunda bekerja di perusahaan percetakan
terbesar di Bandung. Mae mewarisi kepintaran yang tak terhingga dari Ayah,
sementara Emma dianugerahi kecantikan luar biasa dari Bunda. Aku, si bungsu tak
menuruni gen cerdas maupun cantik. Aku bahkan harus mati-matian belajar ilmu
eksakta meski membencinya seumur hidup. Hanya Lala, sahabatku sejak SMP yang
selalu menyemangatiku agar menekan rasa minder yang tak kunjung berhenti
mematikan harapanku. Meski berbeda jurusan, Lala sering menghabiskan waktunya
bersamaku.
Sebulan
lalu …
Usai kuliah, seperti
biasa, aku tergesa-gesa menyusuri lorong kampus. Dari kejauhan, Lala
melambaikan tangannya. Kami janjian bertemu di depan “markas” abadi kami,
perpustakaan kampus.
Di
dalam perpustakaan yang lengang, kami pun duduk di pojok ruangan dekat lemari
bertuliskan “Filsafat”. Lala, sambil menatap serius, setengah berbisik, “Em, si
Aldi barusan putus dengan pacarnya. Gimana
kalau kamu mendekati dia duluan sebelum orang lain merebutnya?Dia kan pengagum
rahasiamu.”
Aku
menghela napas panjang. Lalu memutar bola mataku dengan gaya dramatis. Seraya
membalas tatapan Lala, aku menggeleng tak percaya. Aldi, si Pangeran Kampus
begitu julukannya. Wajahnya ganteng dengan postur kurus tinggi dan senyuman
maut yang mampu melelehkan para cewek. Belum lagi orang tuanya Direktur bank
swasta dan pemilik butik terkenal. Tak dapat dibayangkan Aldi, si sosok
sempurna yang diidamkan siapa pun menghujaniku dengan puisi-puisi cinta.
“Jangan
bercanda dengan tampang serius begitu, La.”Kataku sambil tersenyum masam.
Lala terkikik geli.
Beberapa orang mendelik ke arahnya. Spontan Lala menutup mulutnya. “Bulan depan
kan UKM PA mau rapat tentang liburan akhir semester. Pokoknya kamu harus ikut
acara kemping.”
Lagi-lagi aku menghela
napas panjang. Honor mengajarku belum cair. Iuran acara kemping lumayan
menguras kantong. Tak mungkin aku memelas pada Ayah Bunda. Seperti biasa,
mereka pasti tampak enggan sambil melontarkan sejuta pertanyaan. Pada akhirnya
mereka akan beralasan kemping hanya membuang waktu. Sejak dulu Ayah Bunda tak
pernah tertarik dengan semua kegiatanku. Sikap keduanya berubah seratus delapan
puluh derajat bila Mae atau Emma yang membujuk. Terkadang kurasa akulah
Cinderella versi modern, meski tak memiliki Ibu tiri atau saudara tiri.
Sebenarnya Tante Devi pernah membocorkan rahasia saat aku menangis
memohon-mohon. Ketika aku lahir, Ayah Bunda merasakan kekecewaan yang pahit.
Mereka mengharapkan kehadiran anak laki-laki. Sejak umur 14 tahun, aku berhenti
memprotes Ayah Bunda. Aku mematikan jiwa pemberontak yang menggelora sejak
sosoknya seperti dianggap bayangan.
Lala menatap simpatik.
Dia membuang napas seirama denganku. “Oke, nanti aku pinjamkan uangnya. Tidak
mau tahu. Kamu harus ikut.”
Perasaan bersalah
seketika menyesakkan dadaku. Terbayang sosok memelas Lala yang kesekian kalinya
membujuk orangtuanya, terutama ibunya yang suka menceramahinya soal betapa
langkanya uang dan perlunya mewaspadai pemborosan uang. Meski berusaha menolak,
nyatanya Lala keras kepala. Pelototan mautnya membuatku menyerah kalah.
Image : Google |
* * * * *
Di
hari rapat UKM PA (Pecinta Alam), aku dan Lala memilih duduk paling pojok.
Menyepi dari hiruk pikuk anggota lain. Kami sibuk menyusun rencana. Saat ingin
mencatatnya dalam agenda harian, aku tiba-tiba tersadar. Agendaku sudah dua
bulan menghilang. Meski aku berusaha
mencarinya hingga putus asa, agenda itu tak terlihat dimana pun. Lala mengomeli
memoriku yang setara dengan Pentium Satu. Entah sudah berapa macam barang yang
hilang secara misterius dari kehidupanku. Ralat, sebenarnya jaringan memori di
otakku berkapasitas terbatas hingga tak ada memori yang awet tersimpan.
Saat
kami sedang berdebat dalam setengah bisikan, seseorang menepuk puncak kepala
kami dengan buku. Kami pun meringis kompak dan mengangkat kepala. Aku tertegun.
Sosok Davi, si Ketua PA sedang meluncurkan tatapan laser. Sejak pertama kali
bertemu, si senior itu bersikap dingin. Tak salah dia dijuluki Pangeran Es.
Meski tampan dan jangkung, dia jarang tersenyum. Tatapan matanya agak sinis dan
tajam membara.
Sialnya, aku pernah tidak
sengaja menyiram wajah dan seluruh tubuhnya saat acara Ospek UKM PA. Salahnya
sendiri, tiba-tiba melintas saat aku mengira tak ada orang dan langsung
membuang air beras yang kutampung. Sejak itu, aku jadi gugup ketakutan bila
bertemu muka. Tak kusalahkan bila dia dendam. Aku juga pernah menyodok
hidungnya dengan gagang sapu ijuk saat acara baksos kampus. Dia bahkan pernah terhantam
pintu saat aku membuka ruangan UKM PA.
Aku benar-benar menyesali
deretan “dosa” yang tak sengaja itu. Kalau bukan karena Aldi, sosok yang
membuatku jatuh cinta sejak pertama kali ikut Ospek kampus, aku akan mencoret
UKM PA dari daftarku. Aldi yang menyapaku saat aku kebingungan menyusuri kampus
untuk menemukan gedung auditorium. Senyumnya benar-benar menghipnotisku.
Menghancurkan gumpalan beban yang menghimpitku bertahun-tahun.
Lamunanku mendadak buyar
saat Lala menyikut lenganku. Memori manis saat bersama Aldi pun berhamburan.
Aku memandang Lala yang mengedipkan sebelah matanya ke arah depan. Kuikuti
tatapannya. Aku meneguk ludah. Si Mata Laser, Davi memanggil gemas namaku.
Seketika semua pasang mata menoleh ke arahku. Bahkan tatapan Aldi membuatku
sesak napas. Wajahku memerah. Aku pun meminta maaf sambil menunduk.
Kesedihanku perlahan
mencair saat memandang sepucuk surat yang tersimpan di dalam tasku. Sudah dua
bulan aku menerima surat misterius yang selalu menghiasi hari-hariku. Awalnya, surat
itu kutemukan di atas tasku saat ketiduran di ruang perpustakaan kampus. Aku
memandang Aldi, yang sejurus kemudian seakan sadar ditatap. Dia melirik ke
arahku sambil tersenyum. Aku jadi grogi. Buru-buru kumasukkan surat itu ke
dalam tas. Aku mencurigai dialah pengagum rahasiaku sejak tiga minggu lalu. Saat
di perpustakaan kampus, aku tak sengaja mengintip sosoknya yang serius menulis
sesuatu di atas secarik kertas. Setelah itu beranjak pergi ke arah lemari
perpustakaan. Penasaran, aku pun mengintip tulisannya. Syok campur tak percaya
saat membaca deretan puisi yang isinya persis dengan puisi yang dialamatkan
padaku.
Terbayang semua kejadian
yang menghadirkan sosoknya. Saat aku ketiduran dengan sepucuk surat yang
ditinggalkan, hanya dia yang membaca buku di perpustakaan. Ketika aku kelelahan
sehabis uji coba pendakian, kulihat dia berjalan ke arahku sambil tersenyum.
Setelah aku mengambil tasku yang tergeletak di ruang UKM, sepucuk surat
melayang jatuh. Baru-baru ini, Lala menangkap sosoknya yang menyelipkan surat
saat aku ketiduran dalam ruang kelas yang sepi.
“Em, acara kemping akhir
semester ini bisa jadi takdir. Jangan sampai kesempatan langka itu lolos. Sudah
dua bulan si Pangeran Aldi bersembunyi dalam label Pengagum Rahasia.”Bisik Lala
dengan semangat berapi-api.
Aku pun mengangguk
mantap. Dua minggu lagi acara kemping akhir semester. Pada puncak acara, akan
ada sesi “Pengakuan”. Semua anggota bebas menumpahkan unek-uneknya. Bahkan
rumor beredar, lima tahun berturut-turut, selalu ada pasangan yang tercipta
gara-gara pengakuan cinta. Aku bertekad akan mengukir sejarah. Akan kunyatakan
perasaanku pada si Pangeran Kampus. Aku tak ingin seperti “Putri Duyung” yang mengharapkan
si Pangeran datang atau Cinderella yang menunggu pangeran yang menjemputnya.
Di hari kemping, dua jam
sebelum sesi “Pengakuan”, aku berusaha menenangkan debaran jantungku yang
berloncatan kacau. Kami sedang menyantap makan malam. Lala sekali lagi berbisik
meyakinkanku. Aku bahkan sudah menghapal puisi yang semalaman kutulis. Tak
seorang pun yang akan menyangka kalau sosok yang mengetuk hatiku adalah si
Pangeran Aldi. Hanya dia yang akan tahu karena dialah yang menulis puisi
untukku. Aku hanya membalik kata-katanya.
Setelah satu per satu
mengungkapkan perasaan, aku meringis kesal saat sebagian besar cewek anggota
UKM PA menyatakan cinta pada Aldi. Si Aldi hanya melempar senyum sopan. Saat
tiba giliranku, jantungku makin bertalu-talu. Seakan-akan aku lari marathon
berkilo-kilo meter. Aku berdeham sejenak sebelum membacakan puisi.
“Untuk si Pujangga, yang mengukir
sejuta cinta di atas hati tak berjiwa. Dia adalah Cinderella, yang melukis horizon
di atas kanvas. Dia adalah si Putri Tak Terlihat, yang dibayangi jiwa perih tak
terperi. Dia tak kan ragu berlari, menyongsong si Pujangga meski hatinya
terkoyak. Hanya padamu wahai Pangeran Pujangga, serpihan hatinya menyatu utuh.
Dia tak lagi Cinderella yang malang, Dia adalah Cinderella yang penuh kemilau.
Saat Pangeran menyelimutinya dengan asa harapan yang berkilau.”
Sesaat sunyi senyap. Aku
membisu gugup. Tak seharusnya semua terdiam hening. Tiba-tiba sebuah tepukan
memecah keheningan malam. Akhirnya semua bertepuk tangan. Aku memandang
sekeliling dengan takjub. Belum pernah aku mendapatkan tepuk tangan massal yang
paling antusias. Terdengar teriakan penuh kekaguman. Rasanya aku seperti
menggenggam kemenangan.
“Puisi yang luar biasa,
Emi.”Sebuah suara lembut menyentakku disusul tepukan pelan di pundak.
Aku melongo tak percaya.
Davi, si Pangeran Es menyunggingkan senyum paling menawan. Dia bahkan terlihat
lebih tampan daripada si Pangeran Aldi. Seketika itu aku menunduk malu. Entah
mengapa aku merasakan sesuatu menggelitik perutku. Sensasinya membanjiriku
dengan kebahagiaan. Efeknya lebih dahsyat dari kekagumanku pada Aldi.
“Wahai, Cinderella yang
mengukir senyum tulus. Jangan pernah meragu, Pangeranmu menyambut sungguh. Jiwanya
hanya tertuju padamu.”
Aku menoleh kaget saat
bisikan itu mengalun merdu. Si senior Davi mengulum senyum jahil.
“Ada agenda warna kelam
tertinggal di bus. Kurasa agenda itu terlalu berat dengan curahan hati
seseorang selama bertahun-tahun.”
Aku membelalakkan mata
saat kepingan puzzle itu tersusun utuh. Sosoknya terlihat jelas. Astaga,
ternyata dialah si cowok bus. Aku memutar memoriku saat aku menoleh sekilas
padanya. Sebuah senyum terbentuk. Senyum yang sama dengan sosok tak terlihat
itu. Akhirnya aku menyadari, selama ini sosok yang mencairkan keresahan hatiku
bukanlah Aldi. Cinderella hanya terlalu sibuk tenggelam dalam kesedihannya dan
menyesali kemalangan hidupnya. Cinta tak selamanya seperti yang terlihat, hanya
perlu dirasakan keping demi keping agar mencairkan kesedihan.
@ElfryantyNovita, Dongeng Masa Kini, Mei 2016